Indonesia Bekerja Sama dengan UE Melawan Perdagangan Kayu Ilegal
Sejak November 2016, berkat kerja sama Indonesia-EU Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT), Voluntary Partnership Agreement (VPA). Indonesia berhak mengeluarkan izin sertifikasi kayu yang diekspor ke UE.
Oleh
ELOK DYAH MESSWATI
·3 menit baca
BRUSSELS, SELASA — Indonesia merupakan negara pertama yang menjalin kerja sama dengan Uni Eropa untuk memerangi perdagangan kayu ilegal. Kerja sama tersebut menjadi contoh mengelola perbedaan antara negara penghasil kayu dan negara pengimpor kayu.
Hal itu disampaikan Duta Besar RI untuk Belgia, UE, dan Luksemburg, Yuri O Thamrin, dalam Sidang Tahunan Komite Penegak Hukum Organisasi Cukai Dunia (WCO Enforcement Committee) di Brussel, Belgia, Senin (24/2/2020), seperti dirilis dalam siaran pers Kedutaan Besar RI (KBRI) Brussels.
”Inisiatif ini dapat menjadi model yang efektif bagi negara-negara dalam upaya memerangi perdagangan kayu ilegal secara global,” kata Yuri.
Sejak November 2016, Indonesia dan UE telah menerapkan kerja sama yang disebut Indonesia-EU Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT), Voluntary Partnership Agreement (VPA). Kerja sama Indonesia dan Uni Eropa terkait FLEGT disepakati pada tahun 2014, dan pada 15 November 2016 telah dikeluarkan sertifikasi pertama.
Melalui kerja sama ini, Indonesia memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) terhadap kayu-kayu yang akan diekspor ke wilayah UE. Hanya kayu-kayu yang lolos SVLK yang dapat dibeli negara-negara UE dari Indonesia. Berkat kerja sama ini, ekspor kayu dari Indonesia ke UE menikmati fasilitas green lane atau tanpa pemeriksaan fisik.
Sekretaris Jenderal WCO Kunio Mikuriya memandang pengalaman Indonesia memerangi perdagangan kayu ilegal penting untuk dibagi dengan para penegak hukum bidang cukai dari seluruh dunia yang berkumpul di Brussels untuk mengikuti pertemuan tahunan pada 24-28 Februari 2020.
Untuk alasan ini, Mikuriya mengundang Dubes Yuri untuk berbagi pengalaman Indonesia yang telah memulai kerja sama FLEGT dengan UE. Selain dipaparkan oleh Yuri, isu FLEGT ini juga dibahas secara detail oleh empat pembicara lainnya, yakni perwakilan CITES, pejabat bagian lingkungan UE, pejabat cukai dari India, dan pejabat cukai dari Indonesia.
Mengingatkan UE
Yuri juga menggunakan kesempatan tersebut untuk mengingatkan UE agar berupaya menutup berbagai kekurangan dan memperbaiki sikap mereka terhadap negara-negara yang sudah memenuhi kriteria UE, seperti Indonesia, sehingga negara-negara itu tidak dirugikan. Ia menyampaikan, proses lisensi FLEGT di Indonesia memerlukan biaya yang tidak sedikit dan cukup membebani usaha-usaha kecil dan menengah (UKM).
Karena itu, upaya negara-negara tersebut untuk patuh terhadap persyaratan yang diatur dalam lisensi perlu diapresiasi. Ditegaskan pula, penting bagi UE memastikan perlakuan yang adil bagi produk kayu Indonesia yang telah memiliki lisensi FLEGT. Beberapa importir UE lebih memilih produk kayu dengan harga murah dan tidak menguji asal muasalnya.
Yuri menambahkan, hambatan lainnya adalah masih adanya penafsiran dan praktik penegakan hukum yang berbeda di antara negara-negara anggota UE dalam implementasi regulasi kayu UE (European Union Timber Regulation/ EUTR). Praktik penegakan hukum yang berbeda ini banyak dimanfaatkan penyelundup. Oleh karena itu, penegakan hukum terkait regulasi kayu UE harus lebih diperkuat.
Sambil menegaskan kembali komitmen kuat Indonesia dalam memerangi perdagangan kayu ilegal dan kerja sama dengan UE, Yuri menyampaikan harapan agar ke depannya kerja sama ini dapat ditingkatkan lebih baik lagi. Ia juga berharap importir di UE tidak lagi membeli kayu-kayu yang ilegal dari negara-negara yang belum melakukan kerja sama FLEGT. (*)