G-20 Serukan Persatuan untuk Bidik Pajak Digital Senilai Rp 1.300 Triliun Per Tahun
Aturan global sedang dikembangkan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi untuk membuat perusahaan digital membayar pajak di tempat mereka melakukan bisnis, bukan tempat mereka mendaftarkan anak perusahaan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
RIYADH, MINGGU — Sejumlah perwakilan negara-negara anggota G-20 mendorong para anggotanya dan negara-negara secara global untuk bersatu padu dalam upaya mengoptimalkan pajak dari sejumlah perusahaan raksasa, seperti Google, Amazon, dan Facebook. Potensi pajak digital sebagai sumber pendapatan nasional negara-negara secara menyeluruh diperkirakan 100 miliar dollar AS (sekitar Rp 1.378 triliun) per tahun.
Seruan untuk bersatu itu terutama diarahkan ke Amerika Serikat, negara asal perusahaan-perusahaan teknologi terbesar. Seruan itu mengemuka di tengah upaya negara tersebut menghadang segala aturan terkait dengan perpajakan digital perusahaan-perusahaan teknologi di negara itu hingga setelah pemilihan presiden AS pada November mendatang.
”Tidak ada waktu untuk menunggu pemilihan umum,” kata Menteri Keuangan Jerman Olaf Scholz pada seminar pajak di sela-sela pertemuan para menteri keuangan G-20 dan gubernur bank sentral di Riyadh, Arab Saudi, Sabtu (22/2/2020).
”Hal ini membutuhkan kepemimpinan di negara-negara tertentu,” ucap Scholz sambil menatap langsung ke Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, yang duduk di sebelahnya dalam seminar itu.
Aturan global sedang dikembangkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk membuat perusahaan digital membayar pajak di tempat mereka melakukan bisnis, bukan di tempat mereka mendaftarkan anak perusahaan mereka. OECD mengatakan, pajak digital diharapkan dapat mendongkrak nilai pendapatan pajak nasional secara global total senilai 100 miliar dollar AS (sekitar Rp 1.378 triliun) per tahun.
Perpajakan perusahaan digital dan efek wabah virus korona tipe baru terhadap ekonomi global adalah salah satu topik hangat yang diperdebatkan oleh para pemimpin keuangan G20—yang beranggotakan 20 negara dengan perekonomian terbesar dunia—selama pertemuan mereka di Riyadh, akhir pekan ini.
Pajak digital diharapkan dapat mendongkrak nilai pendapatan pajak nasional secara global total senilai 100 miliar dollar AS (sekitar Rp 1.378 triliun) per tahun.
OECD ingin menetapkan tingkat efektif minimum patokan perusahaan-perusahaan itu bakal dikenai pajak dan diupayakan dapat disetujui pada awal Juli, dengan pengesahan oleh G-20 pada akhir tahun. ”Sebuah jawaban yang terkoordinasi bukanlah jalan yang lebih baik ke depan, melinkan mengingat alternatifnya, hal itu adalah satu-satunya jalan selanjutnya,” kata Kepala OECD Angel Gurria dalam seminar itu.
Upaya OECD terhenti akhir tahun lalu akibat adanya perubahan pada menit-menit terakhir yang diminta oleh Washington. Kondisi itu menimbulkan kegerahan dan keengganan dari sejumlah negara anggota G-20.
Mnuchin mengatakan, negara-negara OECD hampir mencapai kesepakatan tentang tingkat pajak minimum, yang katanya juga akan sangat membantu untuk menyelesaikan masalah di mana sebuah pajak bakal dibayarkan. ”Saya pikir kita semua ingin menyelesaikan ini pada akhir tahun, dan itulah tujuannya,” kata Mnuchin dalam seminar tersebut.
Mnuchin berusaha meyakinkan delegasi G-20 bahwa proposal AS terkait dengan reformasi pajak tidak akan membiarkan perusahaan memilih mangkir dari pembayaran pajak. Proposal itu sendiri mendapat kecaman dari sejumlah negara dimotori oleh Perancis. ”Ini bukan pajak opsional,” katanya.
Salah satu pejabat AS mengatakan, proposal mereka akan memungkinkan perusahaan multinasional untuk memilih membayar lebih banyak pajak asing dengan imbalan manfaat penyelesaian sengketa pajak dan bantuan administrasi.
Menunggu proposal
Menteri Keuangan Perancis Bruno Le Maire mengatakan kepada wartawan bahwa masih belum jelas secara persis apa yang akan diajukan AS dalam proposalnya. ”Kami masih dalam proses menilai apa artinya sebenarnya,” katanya. ”Ini bukan permulaan bagi Pemerintah Perancis. Adalah adil dan bermanfaat untuk memberikan semua perhatian pada proposal baru ini.”
Komisaris Ekonomi Uni Eropa Paolo Gentiloni mengatakan, masih banyak kerja keras yang harus dilakukan selanjutnya. ”Bagus bahwa ada komitmen untuk menemukan solusi, tetapi hal itu belum ada di sana,” katanya.
Scholz mengatakan kepada wartawan bahwa Jerman tetap skeptis. ”Saya pikir kita tidak boleh mulai dengan membiarkan perusahaan memilih pajak mana yang ingin mereka bayar. Ini mengarah ke mana-mana,” katanya.
Beberapa negara Eropa, termasuk Perancis, Spanyol, Austria, Italia, Inggris, dan Hongaria, sudah memiliki rencana terkait pajak digital. ”Anda tidak dapat memiliki sistem perpajakan nasional berbeda dalam sebuah ekonomi global yang saling bertentangan,” kata Mnuchin. (REUTERS)