Anjing dikenal sebagai salah satu hewan yang paling setia dengan tuannya. Sebuah penelitian terbaru di Jepang memperlihatkan ikatan emosional manusia dan anjing menyerupai kedekatan emosional ibu dan bayinya.
Oleh
Elok Dyah Messwati
·4 menit baca
Jika Anda pergi ke Jepang, mampirlah ke tiga tempat ini: depan Stasiun Shibuya di Tokyo, halaman Universitas Tokyo, dan depan stasiun Odate di Perfektur Akita. Di tempat-tempat itu, Anda akan melihat patung seekor anjing. Patung itu bukan sekadar patung rekaan, melainkan ada sosok aslinya: anjing bernama Hachiko.
Hachiko adalah anjing jantan jenis akita inu. Anjing yang lahir di kota Odate, 10 November 1923, ini sangat istimewa. Setelah dipelihara oleh Profesor Ueno, Hachiko dibawa ke Tokyo dan menjelma menjadi anjing yang sangat setia pada tuannya. Setiap hari dia menanti di Stasiun Shibuya, menunggu Profesor Ueno pulang bekerja.
Saat Profesor Ueno meninggal pada 1925, Hachiko masih terus menantinya di Stasiun Shibuya setiap hari hingga 10 tahun kemudian. Dia tak tahu bahwa tuannya, Profesor Ueno, telah tiada. Yang dia lakukan adalah menjalani rutinitas menanti dan menjemput Profesor Ueno hingga akhirnya Hachiko meninggal tahun 1935.
Setelah Hachiko tiada, kisah anjing yang setia ini menjadi inspirasi dunia pariwisata. Patungnya tidak hanya dibangun di dua stasiun, tetapi juga dibangun di halaman Universitas Tokyo, tempat Profesor Ueno mengajar. Banyak pengunjung lokal dan wisatawan asing datang ke tiga lokasi itu untuk mengenang kesetiaan Hachiko.
Selain kisah Hachiko, masih banyak video di YouTube yang bisa dilihat betapa anjing bisa sangat setia kepada tuannya. Ada juga anjing yang pandai melakukan perintah tuannya. Ini yang menjadikan anjing sangat dekat dengan manusia.
Kadang anjing menjadi penjaga rumah, menemani tuannya berjalan-jalan di sekitar rumah, serta menjadi kawan bagi anak-anak dan orang dewasa di dalam rumah.
Sebuah buku baru berjudul Dog is Love: Why and How Your Dog Loves You menceritakan bagaimana cinta itu diperlukan untuk memahami hubungan tak hanya antarmanusia saja, tetapi juga untuk mengerti hubungan kemitraan antarspesies, seperti anjing dan manusia.
Clive Wynne (59), psikolog hewan dan pendiri Canine Science Collaboratory di Arizona State University, Amerika Serikat, mulai mempelajari soal anjing awal tahun 2000-an. Ia meyakini bahwa emosi yang kompleks dalam diri manusia dan hubungannya dengan anjing tidak bisa diabaikan.
Ilmu pengetahuan tentang anjing telah berkembang dalam dua dekade terakhir. Sebagian besar penelitian memuji kecerdasan yang dimiliki oleh seekor anjing. Judul-judul buku, seperti Genius of Dogs karya Brian Hare, menguraikan gagasan bahwa anjing memiliki kecerdasan bawaan dan sangat luar biasa.
Burung merpati dapat mengidentifikasi berbagai jenis obyek dalam gambar 2D, lumba-lumba bisa memahami tata bahasa, dan lebah madu mengisyaratkan lokasi sumber makanan satu sama lain melalui tarian. Anjing tak kalah dari mereka. Serigala, spesies nenek moyang anjing yang dikenal karena keganasannya, justru telah menunjukkan kemampuan mengikuti petunjuk manusia.
Cinta itu diperlukan untuk memahami hubungan tak hanya antarmanusia saja, tetapi juga untuk mengerti hubungan kemitraan antarspesies, seperti anjing dan manusia.
Wynne mengusulkan perubahan paradigma, yakni menyintesiskan penelitian lintasdisiplin untuk menempatkan naluri ”rasa senang berteman” yang dimiliki anjing. Ini membedakan anjing dengan spesies-spesies lainnya.
Ikatan emosional
Salah satu kemajuan paling mencolok datang dari penelitian tentang oksitosin (oxytocin), zat kimia otak yang memperkuat ikatan emosional antar manusia. Menurut bukti terbaru, oksitosin juga ada dalam hubungan antarspesies antara anjing dan manusia.
Penelitian terbaru yang dipimpin oleh Takefumi Kikusui di Universitas Azabu, Jepang, menunjukkan bahwa tingkat lonjakan kimiawi oksitosin ketika manusia dan anjing saling menatap mata mencerminkan efek yang diamati terjadi antara ibu dan bayi.
Ahli genetika UCLA, Bridgett vonHoldt, membuat penemuan mengejutkan pada 2009 bahwa anjing memiliki mutasi pada gen yang sama, seperti sindrom Williams pada manusia, yakni kondisi yang ditandai oleh keterbatasan intelektual dan kegembiraan luar biasa. ”Hal penting tentang anjing, seperti halnya orang dengan sindrom Williams, adalah keinginan untuk membentuk hubungan yang dekat, untuk memiliki hubungan pribadi yang hangat, untuk mencintai dan dicintai,” tulis Wynne.
Banyak wawasan juga telah diperoleh melalui tes perilaku baru. Banyak tes yang dibuat oleh Wynne dan mudah ditiru di rumah, yakni dengan memberikan perhatian dan makanan atau minuman.
Salah satu peneliti, yang terlibat dalam penelitian, menggunakan tali untuk membuka pintu depan rumah anjing dan meletakkan semangkuk makanan pada jarak yang sama dengan tuannya. Ternyata anjing-anjing itu lebih memilih mendekati tuannya terlebih dahulu daripada makanan yang disodorkan.
Resonansi magnetik pada ilmu saraf juga menunjukkan bahwa otak anjing merespons pujian lebih banyak daripada makanan. Namun, meski memiliki kecenderungan bawaan sifat berkasih sayang, anjing tetap membutuhkan pengasuhan di awal kehidupannya.
Wynne adalah seorang pembela teori tumpukan kotoran. Menurut teori itu, dahulu anjing-anjing purba senang berkumpul di sekitar tempat pembuangan manusia. Perlahan-lahan mereka pun bermitra dengan manusia dengan ikut melakukan ekspedisi perburuan bersama-sama.
”Semua yang diinginkan anjing Anda adalah agar Anda menunjukkan jalan kepada mereka,” kata Wynne.
Semua itu bisa diperoleh melalui perhatian yang penuh welas asih dan penguatan hubungan secara positif dengan anjing. ”Anjing-anjing kita memberi kita begitu banyak dan sebagai balasannya mereka tidak meminta banyak. Anda tidak perlu membeli semua mainan dan makanan yang mahal. Mereka hanya perlu kita temani. Mereka harus bersama manusia, tidak diisolasi,” kata Wynne. (AFP)