Sejumlah negara membatasi perjalanan ke dan dari China serta menutup pintu masuk warga dengan paspor China meski sekadar untuk transit. Industri penerbangan juga ramai-ramai mengurangi jadwal penerbangannya ke China.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Dalam waktu kurang dari dua bulan, wabah penyakit Covid-19 telah menebar ketakutan di seluruh dunia. Berawal dari sebuah pasar ikan di kota Wuhan, China, kini SARS-CoV-2, virus penyebab penyakit ini, telah terdeteksi di 26 negara di seluruh benua, termasuk China. Tidak cuma mengancam jiwa, wabah ini juga diperkirakan mengganggu ekonomi global.
Hingga Rabu (19/2/2020) pukul 18.00 WIB, wabah Covid-19 telah menjangkiti 75.201 orang dengan korban meninggal mencapai 2.012 jiwa. Para pakar kedokteran dan kesehatan di dunia kini berlomba dengan waktu untuk mengembangkan vaksin, obat, dan alat diagnostik guna melawan wabah Covid-19.
Minimnya informasi tentang virus SARS-CoV-2 yang diketahui sejauh ini telah menimbulkan ketakutan publik yang tidak terelakkan. Apalagi, penyakit ini menyebar dengan sangat cepat.
Industri penerbangan juga ramai-ramai mengurangi jadwal penerbangannya ke China.
Sejumlah negara pun akhirnya membatasi perjalanan ke dan dari China serta menutup pintu bagi masuknya warga dengan paspor China meski sekadar untuk transit. Industri penerbangan juga ramai-ramai mengurangi jadwal penerbangannya ke China.
Bahkan, kapal pesiar MS Westerdam harus terombang-ambing di lautan selama dua minggu karena ditolak berlabuh di Guam, Filipina, Thailand, Jepang, dan Taiwan. Negara-negara itu khawatir Westerdam menyebarkan virus korona tipe baru.
Pembatasan perjalanan
Berdasarkan pemantauan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terhadap laporan resmi, pernyataan resmi, dan berita media massa pada 7 Februari 2020, sebanyak 72 negara telah memberlakukan pembatasan perjalanan.
Pembatasan perjalanan yang tidak sejalan dengan kebebasan untuk bepergian sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) itu bertujuan untuk menekan penyebaran wabah Covid-19.
Tindakan tersebut bisa dimengerti karena pemerintah setiap negara berkewajiban melindungi warganya. Namun, di tengah kondisi dunia yang kian terhubung dan mobilisasi manusia yang sangat masif, langkah itu tidak relevan.
Apakah terbatasnya ruang gerak warga akibat pembatasan perjalanan bisa dengan efektif menghentikan penyebaran penyakit?
Pakar epidemiologi dari Center for Health Security Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Jennifer B Nuzzo, seperti dikutip oleh situs
Globalhealthnow.org, Selasa (4/2/2020), menjawabnya: tidak. Larangan perjalanan tidak bisa mencegah virus keluar dari suatu negara. Yang perlu dilakukan justru memitigasi dampaknya dengan mempercepat pengembangan alat diagnosis, obat, dan vaksin.
Larangan perjalanan justru bisa membuat negara menjadi tertutup dan tidak transparan akan terjadinya wabah. Belum lagi larangan perjalanan bisa menghambat distribusi perbekalan yang diperlukan dalam menanggulangi wabah.
Sebanyak 16 cendekiawan kesehatan global di seluruh dunia, seperti dipublikasikan di jurnal kesehatan The Lancet, 13 Februari 2020, menyatakan, pembatasan atau bahkan larangan perjalanan dari dan ke China selama wabah Covid-19 terjadi sebenarnya telah melanggar Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) 2005 dari WHO.
Berdasarkan IHR, negara hanya boleh membatasi perjalanan dan perdagangan selama wabah jika memenuhi tiga syarat, yaitu didukung bukti ilmiah, sepadan dengan risikonya, dan tetap menghormati HAM. Tiga syarat ini tidak hanya bertujuan melindungi orang dan ekonomi, tetapi juga negara ketika melaporkan adanya kasus positif kepada dunia.
Dalam opininya di Theglobeandmail.com, 13 Februari 2020, guru besar kesehatan global dari York University, Steven J Hoffman, mengatakan, larangan atau pembatasan perjalanan, juga perdagangan, selama wabah Covid-19 tidak memenuhi tiga syarat itu.
Bukti ilmiah larangan perjalanan selama wabah tidak kuat. Tindakan ini hanya akan memperlambat penyebaran penyakit beberapa hari. Larangan perjalanan juga tidak sepadan dengan risiko yang ada karena masih terdapat pilihan intervensi lain untuk mengendalikan wabah. Misalnya, penapisan di bandara, surveilans komunitas, dan komunikasi publik yang baik, seperti direkomendasikan WHO.
Pelanggaran
Dari sisi HAM, larangan perjalanan juga merupakan pelanggaran kebebasan untuk bepergian dan mendiskriminasi warga Asia Timur. Larangan ini lebih terlihat sebagai bentuk rasisme dan sinofobia.
Menurut Steven, banyak respons terhadap wabah Covid-19 sekarang didorong oleh ketakutan, misinformasi, rasisme, dan sinofobia ketimbang bukti ilmiah atau hukum internasional.
Dalam tatanan dunia yang berbasis peraturan, sebenarnya IHR merupakan sistem berbasis ilmu pengetahuan yang menjadi cetak biru untuk bekerja sama dalam menghadapi wabah dan menghindari intervensi yang tidak perlu. Secara hukum pun, IHR mengikat 196 negara yang menandatanganinya.
Saat terjadi wabah yang mengancam umat manusia, akan lebih baik jika setiap negara membuka tangannya lebar-lebar untuk bersatu, saling bekerja sama menghentikan wabah itu. Sebab, tidak ada satu negara pun di dunia yang aman dari ancaman wabah penyakit.
Karena virus atau bakteri penyebab wabah tidak mengenal visa, kolaborasi antarnegara menjadi sebuah keniscayaan. Dalam situasi wabah, membantu negara lain menanggulangi wabah sama artinya dengan melindungi warga negara sendiri di dalam negeri.