Belanda ingin ada langkah maju pada persoalan sawit. Indonesia-Uni Eropa tengah bersengketa gara-gara sawit.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
DEN HAAG, KOMPAS — Belanda meyakini perkebunan sawit berkelanjutan menjadi solusi untuk semua. Belanda tidak mendukung pelarangan impor minyak sawit Indonesia ke Uni Eropa.
Menteri Luar Negeri Belanda Stefanus Abraham Blok mengatakan, Belanda ingin ada langkah maju pada persoalan sawit. ”Belanda tidak mendukung pelarangan,” ujarnya, Selasa (18/2/2020), di Den Haag, Belanda.
Komisi Eropa mengadopsi aturan pelaksanaan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Dokumen RED II, antara lain, berisi tidak direkomendasikannya minyak sawit mentah sebagai bahan bakar nabati di wilayah UE. Resolusi sawit itu merupakan hasil kesepakatan Parlemen Uni Eropa (UE) untuk menghapus penggunaan produk kelapa sawit pada 2021 dan bahan bakar alami dengan bahan dasar tanaman bagi semua negara anggota, termasuk Belanda.
Bagi Belanda, persoalan sawit harus dicarikan solusinya. Karena itu, Indonesia-Belanda menandatangani nota kesepahaman tentang sawit lestari dan berkelanjutan. Belanda akan membantu petani kecil Indonesia mendapat sertifikasi lestari dan berkelanjutan. ”Kami tidak ke pengusaha besar karena mereka sudah punya kemampuan untuk mendapat sertifikasi,” ujarnya.
Sertifikasi itu penting untuk menunjukkan bahwa sawit dari Indonesia telah memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan. Konsumen Eropa dan dunia perlu diyakinkan bahwa sawit menerapkan prinsip berkelanjutan dalam rantai proses produksinya. Selama ini, sebagian konsumen Eropa khawatir sawit telah menyebabkan kerusakan lahan.
Perwakilan Tetap UE untuk ASEAN pernah memaparkan alasan kekhawatiran konsumen soal sawit. Konsumen dinyatakan semakin menginginkan pola konsumsi yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih berkelanjutan. Kekhawatiran akan hal-hal seperti risiko deforestasi, ancaman terhadap keanekaragaman hayati atau dampak terhadap perubahan iklim, menjadi faktor yang memengaruhi keputusan konsumen untuk membeli.
Pencantuman label ”bebas minyak sawit” pada aneka produk mencerminkan preferensi dari para konsumen. Preferensi konsumen juga tecermin dengan adanya pencantuman label lainnya pada produk-produk Uni Eropa, seperti label organik, bebas gula, atau yang mengandung GMO.
Sebaliknya, Indonesia menuding Eropa secara sistematis terus menjelekkan sawit. Serangan terhadap minyak sawit dilancarkan sejak 1980. Kala itu, minyak sawit Indonesia memasuki pasar internasional dan menjadi pesaing komoditas minyak nabati, seperti minyak bunga matahari dan minyak kedelai. Serangan makin besar ketika ekspor Indonesia mulai melonjak sejak 2006 dan menjadi eksportir nomor satu.
Sengketa sawit Indonesia-UE mencapai puncaknya setelah Indonesia, bersama Malaysia, memutuskan membawa persoalan itu ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Tidak lama setelah itu, ganti UE menggugat Indonesia karena larangan ekspor mineral mentah. Hal itu berlaku juga untuk nikel yang dibutuhkan industri baterai di Eropa.
Blok mengatakan, Belanda tidak akan berkomentar soal posisi UE dan sengketa yang tengah berlangsung di WTO. Belanda akan fokus membantu petani kecil Indonesia bisa menembus pasar lewat sertifikasi lestari dan berkelanjutan. Sebab, mereka menggantungkan hidup dari perkebunan sawit.
Perjanjian dagang
Blok juga menyinggung perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Terpadu (CEPA) Indonesia-UE. Belanda berharap perundingan itu segera rampung dan disahkan. ”Perjanjian itu akan membawa manfaat untuk semua. Kami berharap (cakupan) perjanjian itu seluas-luasnya,” katanya.
Indonesia-UE menargetkan perundingan CEPA rampung pada 2020. Maret ini, perunding Indonesia-UE akan kembali bertemu. Sebagai anggota UE, Belanda akan menjadi salah satu pihak yang terikat dengan CEPA Indonesia-UE jika perjanjian itu disahkan.
Presiden VNO-NCW Hans de Boer mengatakan, Belanda sangat berharap perdagangan Indonesia-Eropa meningkat. Belanda akan diuntungkan melalui kenaikan arus barang di pelabuhannya dan arus orang di bandaranya. ”Kami mendukung setiap peluang peningkatkan aktivitas perdagangan Eropa,” kata pimpinan lembaga setara Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di Indonesia itu.
Kini, Pelabuhan Rotterdam di Belanda menjadi pintu bagi ekspor-impor negara-negara Eropa, seperti Jerman, Swiss, dan Luksemburg. Sementara Bandara Schipol di Amsterdam menjadi salah satu gerbang Eropa dengan banyak kawasan lain.