Secara faktual, Jerman menjadi pemimpin Eropa karena stabilitas politik dan ekonominya selama bertahun-tahun. Namun, kini Jerman tengah di ambang ketidakpastian.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
Setelah Inggris keluar dan Perancis tidak berhenti dilanda unjuk rasa, hanya Jerman bisa menjadi jangkar Uni Eropa. Sayangnya, negara yang oleh para ahli itu dijuluki soko guru stabilitas dunia itu kini tengah di ambang ketidakpastian.
Meski pernah menjadi sumber mimpi buruk Eropa lewat Nazi itu, Jerman dijuluki sebagai soko guru stabilitas di dunia oleh ekonom David Folkerts-Landau dan Stefan Schneider. Secara faktual, Jerman menjadi pemimpin Eropa karena stabilitas politik dan ekonominya selama bertahun-tahun.
Namun, ”soko guru stabilitas di dunia” itu kini sedang di ambang ketidakpastian. ”Jerman seperti gajah dalam ruangan,” kata Kepala Kantor Dana Marshall Jerman Cabang Berlin Jan Techau kepada The New York Times.
Di bawah Angela Merkel yang menjadi kanselir sejak 2005, Jerman membimbing Eropa melewati krisis 2008. Berlin juga membawa Eropa mengelola krisis pengungsi dan menghadapi Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
”Bagi Eropa, Merkel sangat penting. Pengalaman dan pikirannya yang terbuka sangat penting bagi Eropa saat ini,” kata Perdana Menteri Portugal Antonio Costa.
Tidak mudah bagi Costa memuji Merkel sebab Lisabon pernah merasakan tekanan Berlin, lewat UE, soal kedisiplinan anggaran agar Eropa selamat dari krisis 2008.
Eropa begitu terkejut saat Merkel mengumumkan akan pensiun pada 2021. Ia juga memutuskan mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Persatuan Kristen Demokratik (CDU).
”Tidak ada yang membayangkan Jerman tanpa Merkel dan sepertinya tidak ada yang cocok (menggantikan dia). Semua cemas,” kata peneliti Center for European Reform, Sophia Besch.
Kecemasan agak mereda kala Annegret Kramp-Karrenbauer ditunjuk menjadi Ketua Umum CDU. Penunjukan Menteri Pertahanan Jerman itu menempatkan perempuan tersebut menjadi calon kuat Kanselir Jerman sebab CDU adalah partai politik terbesar di Jerman.
Di negara penerap parlementarian seperti Jerman, kepala pemerintahan adalah politisi yang disokong partai pemilik kursi terbanyak. Sejak Perang Dunia II berakhir, hanya 19 tahun Jerman tanpa kanselir dari CDU.
Gejolak Thuringia
Masalahnya, Kramp-Karrenbauer mengumumkan pengunduran diri dari kursi Ketua Umum CDU. Pengumuman itu sama saja memicu ketidakjelasan tentang calon kanselir Jerman setelah Merkel. Keputusan Kramp-Karrenbauer manuver pengurus CDU di Thuringia, salah satu negara bagian di Jerman.
Demi menjegal Bodo Ramelow—politisi partai sosialis Die Linke—kembali menjadi Gubernur Thuringia, CDU berkoalisi dengan Partai Alternatif untuk Jerman (AFD). Koalisi itu memang sukses mengusung politisi pendukung bisnis dari Demokrat Bebas (FDP), Thomas Kemmerich, menjadi Gubernur Thuringia. Kemmerich unggul satu suara dalam pemilihan di parlemen daerah atau Landtag Thuringia pada 5 Februari 2020.
”Untuk pertama kalinya kita melihat di Thuringia, gubernur dipilih dengan suara dari ekstremis. Seharusnya ini tidak pernah terjadi. Ekstremis tidak pernah boleh punya kesempatan memengaruhi pembentukan pemerintahan,” kata politisi CDU yang juga Gubernur North Rhine-Westphalia Armin Laschet soal sokongan AFD kepada Kemmerich, sebagaimana dikutip media Jerman, Deutsche Welle.
AFD mengakui dan menunjukkan haluan politik ekstrem kanan. Meski partai-partai sejenis semakin menguat di Eropa, Jerman masih mencoba menjaga jarak dari partai sejenis. Itu karena partai dengan haluan tersebut pernah membawa mimpi buruk bagi dunia, Nazi. Apalagi, Thuringia adalah negara bagian pertama yang dipimpin politisi Nazi selepas pemilu 1932.
Sokongan AFD atas kemenangan Kemmerich memicu kegusaran secara nasional. Mitra CDU mengancam keluar dari koalisi. Ancaman itu sama saja membuat CDU kehilangan posisi mayoritas di Bundestag, parlemen Jerman, dan akibatnya pemerintahan Jerman bisa bubar.
Pimpinan nasional CDU menenangkan mitra koalisinya dengan menyatakan manuver di Thuringia tidak termaafkan. CDU dan koalisinya mendesak Kemmerich mundur meski belum sepekan menjabat. Kemmerich setuju mundur dan Thuringia menggelar pemilu ulang.
Meski bukan lagi Ketua Umum CDU, Merkel turun tangan mengatasi krisis akibat manuver CDU di Thuringia. Bukannnya selesai, langkah Merkel menghasilkan krisis baru berupa ketidakjelasan calon penggantinya tahun depan. Krisis itu terjadi menjelang Jerman jadi ketua UE pada Juni 2020.
”Kegagalan Merkel mengurus transisi akan membuat program-program UE tidak jelas arahnya, setidaknya sampai musim panas nanti,” kata Guntram Wolff yang menjadi Direktur Bruegel—lembaga kajian ekonomi yang berpusat di Brussels, Belgia.
Krisis politik terjadi kala Jerman, seperti banyak negara lain, mengalami perlambatan ekonomi. Perlambatan ekonomi ditambah krisis politik kerap menjadi resep kekacauan suatu negara. Dengan statusnya sebagai jangkar Eropa, kekacauan Jerman bisa merambat ke mana-mana.