Berada di ujung terdepan penerapan kebijakan luar negeri Republik Indonesia menjadi sebuah tantangan bagi Soemadi Brotodiningrat, apalagi menjadi ujung terdepan diplomasi pada beberapa pemerintahan RI.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
Soemadi DM Brotodiningrat, mantan diplomat pada Kementerian Luar Negeri Kemenlu RI, di sela-sela diskusi terkait buku otobiografinya di Pusdiklat Kemenlu di Jakarta, Rabu (12/2/2020), mengatakan, setiap pemerintahan punya karakter sendiri-sendiri yang akhirnya melingkupi penerapan politik luar negerinya.
”Yang paling berbeda adalah ketika pergantian dari Orde Lama ke Orde Baru. Banyak pilar politik semasa Bung Karno memimpin yang berubah,” kata Soemadi sambil menambahkan, jika tidak diubah, pilar-pilar itu akan hilang dengan sendirinya karena perubahan peta politik dunia saat itu.
Soemadi, atau yang akrab disapa Pak Dubes Soemadi atau Madi, mulai aktif di dunia diplomasi ketika mulai bekerja di Departemen Luar Negeri tahun 1965. Sebelum menjadi Direktur Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri pada 1995-1998, dia mendapat penugasan di luar negeri di Perwakilan Tetap RI di PBB, New York, pada 1991-1995. Dia menjadi Dubes RI untuk Jepang serta untuk Amerika Serikat sebelum akhirnya pensiun tahun 2005.
Dalam buku Retrospeksi: Langkah Kehidupan dan Perjalanan Karir Seorang Diplomat Indonesia yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas, Soemadi menuliskan bahwa sepanjang kariernya sebagai seorang diplomat, perubahan yang cukup radikal memang terjadi ketika pergantian kepemimpinan nasional, yaitu dari Soekarno kepada Soeharto.
Perubahan rezim turut mengubah visi, orientasi, ataupun kebijakan luar negeri RI, sebagai penafsiran ulang politik bebas aktif Indonesia.
Perubahan rezim tersebut juga, disebutkan Soemadi dalam bukunya, turut mengubah visi, orientasi, ataupun kebijakan luar negeri RI, sebagai penafsiran ulang politik bebas aktif Indonesia. Dari semula mengayuh di antara dua karang menjadi hoogereoptrekking (yang bersumber dari Declaration of Independence dan Manifesto Komunis) dan kemudian berubah lagi menjadi konsep New Emerging Forces vs Old Established Forces (Oldefo) semasa rezim Orde Lama.
Rezim Orde baru, menurut buku tersebut, menginstruksikan untuk menghapuskan segala bentuk proyek mercusuar dan menghindari pelaksanaan politik dan diplomasi gagah-gagahan. Politik dan kebijakan luar negeri rezim Orde Baru saat itu, menurut Soemadi, sangat pragmatis dan realis.
”Paling tidak awalnya difokuskan pada perbaikan ekonomi dalam negeri yang diambang kolaps,” papar dia dalam bukunya.
Slogan go to hell with your aid yang didengungkan Soekarno pun berganti dengan kebijakan yang lebih ramah bantuan asing dan investasi asing oleh Soeharto.
Politik dan kebijakan luar negeri pemerintah pascareformasi juga menjadi catatan tersendiri bagi Soemadi. Yang paling diingatnya adalah pada saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Lekat dalam ingatan karena dua pemerintahan sebelumnya, yaitu pada saat BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid memimpin negeri ini, tidak ada perubahan berarti dalam kebijakan luar negeri.
Toleransi beragama di Indonesia menjadi salah satu aset politik luar negeri dalam berhubungan dengan negara lain. Ini yang harus ditonjolkan.
”Poin-poin dalam tuntutan reformasi menjadi landasan kebijakan luar negeri kita. Contohnya adalah hak asasi manusia. Pemerintahan Pak SBY juga mendorong agar toleransi beragama di Indonesia menjadi salah satu aset politik luar negeri dalam berhubungan dengan negara lain. Ini yang harus ditonjolkan,” katanya.
Sebagai diplomat, dia dinilai Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Mayerfas sebagai orang yang cair dan pandai bergaul. Tidak mengherankan jika jaringannya luas di berbagai belahan dunia, khususnya dalam bidang diplomatik.
Meski sudah pensiun, Soemadi masih menularkan ilmu-ilmu diplomasinya kepada anak-anak muda, calon diplomat milenial. Dia, yang sudah menyaksikan perubah sejarah politik global sejak tahun 1960-an hingga saat ini, menilai, sejarah sebagai sebuah hal yang berulang dan akan terus berulang. Diplomat-diplomat muda yang tengah digodok Kemlu RI harus mampu mengarunginya.
Soemadi memiliki resep untuk bisa mengarungi era-era perubahan tersebut, yaitu kerja lintas kultural dan kemampuan beradaptasi. Dua itu adalah kata kunci bagi Soemadi untuk mengarungi berbagai perubahan rezim yang telah dijalaninya selama hampir empat dekade sebagai diplomat.