Persaingan AS-China makin nyata di Asia Tenggara setelah China masuk kawasan itu dengan Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI), dan AS menyusul dengan kebijakan Indo-Pasifik Bebas dan Terbuka (Free and Open Indo-Pacific, FOIP).
Oleh
Kris Mada
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Indonesia menjadi pusat persaingan Amerika Serikat dan China di Asia Tenggara. Kedudukan strategis itu bisa dimanfaatkan untuk keuntungan Indonesia.
"Sebagai negara terbesar (di kawasan), Indonesia bisa menjadi pembatas," ujar Ann Marie Murphy, peneliti Asia Tenggara pada Seton Hall University, Amerika Serikat, dalam seri kuliah dinamika regional bertajuk "US Free and Open Indo-Pacific, Implication for Southeast Asia and Indonesia" yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Senin (10/2/2020), di Jakarta.
Murphy menyebut persaingan AS-China semakin nyata di Asia Tenggara. Setelah China masuk kawasan itu dengan Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI), AS menyusul dan memaknai ulang doktrin "Penyeimbangan Ulang Pasifik" di masa Presiden Barack Obama menjadi Indo-Pasifik Bebas dan Terbuka (Free and Open Indo-Pacific atau FOIP).
Washington juga meluncurkan US International Development Finance Corporation (DFC), akhir 2019. Sebagian dari 60 miliar AS modal awal DFC telah ditawarkan untuk ditanamkan di Indonesia dan sejumlah negara ASEAN. "Indonesia bisa diuntungkan oleh BRI dan DFC," ujar Murphy.
Sejauh ini, Indonesia memang menjaga keseimbangan dalam menyikapi persaingan AS-China di kawasan. Jakarta mempersilahkan DFC terlibat dalam proyek-proyek di Indonesia. Kesempatan sejenis telah lebih dulu ditawarkan ke BRI. "Berbeda dengan BRI, DFC tidak didukung bank negara. Bukan hibah, bentuknya investasi," kata Murphy.
Secara terbuka, ia menyebut FOIP adalah tantangan AS atas langkah China di kawasan. Asia Tenggara menjadi salah satu titik persaingan AS-China. Persaingan itu menantang kekompakan ASEAN. Bagi Indonesia, yang secara tradisional menjadi pemimpin ASEAN, persaingan itu juga menjadi salah satu sumber masalah.
Bahkan, konsep FOIP AS pun tidak selaras dengan Pandangan ASEAN soal Indo-Pasifik (ASEAN Outlook on the Indo-Pacific). AS menekankan pada kebebasan manuver laut dan darat, sedangkan pandangan ASEAN menekankan pada kedaulatan dan hak berdaulat.
Jaga keseimbangan
Murphy menyebut, perkembangan mutakhir terus mendorong ASEAN untuk memilih pihak dalam persaingan AS-China. Sejauh ini, ASEAN relatif bisa menjaga keseimbangan.
Memang, tidak bisa ditampik ada sejumlah negara menunjukkan sikap keras. Hal itu, antara lain, dilakukan Vietnam dan Indonesia terkait zona ekonomi eksklusif (ZEE) di utara Natuna.
Sementara Malaysia mengancam membatalkan proyek kereta di semenanjung timur. Sebaliknya, sejumlah negara di Indochina cenderung lebih ramah pada Beijing.
Namun, sikap itu tidak berarti ASEAN akan condong ke AS. Sebab, ASEAN merasa Washington tidak serius. Hal itu ditandai keputusan Presiden AS Donald Trump untuk tidak hadir di beberapa konferensi tingkat tinggi (KTT) ASEAN. Trump mencoba meredakan masalah itu dengan mengundang para kepala negara ASEAN ke pertemuan khusus ASEAN-AS, yang akan digelar, Maret 2020, di Florida, AS.