Ilmuwan Berkejaran dengan Waktu demi Vaksin Korona Baru
Ilmuwan di beberapa negara berlomba-lomba untuk menciptakan vaksin, tidak hanya untuk virus korona baru, tetapi semua keluarga virus korona.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
AFP/NOEL CELIS
Seorang wanita mengenakan masker untuk mencegah terjangkit virus korona baru di Taman Yu di Shanghai, China, pada 6 Februari 2020. Pekan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan status darurat kesehatan global menyusul wabah virus korona baru.
WASHINGTON DC, JUMAT — Ilmuwan di berbagai belahan dunia berkejaran dengan waktu untuk menciptakan vaksin guna mengatasi virus korona jenis baru. Ini terutama karena kematian akibat virus korona yang terus bertambah dan penyebaran virus yang kian meluas.
Pada Jumat (7/2/2020), Komisi Kesehatan Nasional China mencatat, jumlah kematian akibat virus korona baru telah mencapai 636 kasus, sedangkan jumlah warga yang terinfeksi menjadi 31.161 kasus. Kasus terbanyak terjadi di Hubei, China, tempat virus pertama muncul. Selain di China, virus itu kini telah menyebar ke lebih dari 25 negara.
Para ilmuwan bekerja dalam kecepatan penuh untuk menemukan vaksin bagi virus korona baru atau penyakit pernapasan akut 2019-nCoV. Sebagai pusat epidemi, ilmuwan China berupaya menemukan vaksin bagi virus itu. Perkembangan terbaru adalah mereka menciptakan peta genetik virus.
Amerika Serikat, yang juga terkena wabah, ikut mencari vaksin. Ilmuwan di Texas sebelumnya membekukan vaksin eksperimental yang dikembangkan untuk melawan virus korona lainnya, yaitu SARS atau sindrom pernapasan akut. Mereka mendorong agar Pemerintah AS dan China untuk mencobanya.
REUTERS/UNIVERSITY OF SASKATCHEWAN/VIDO-INTERVAC/DAVID STOBBE
Para ilmuwan bekerja di laboratorium VIDO-InterVac (Vaksin dan Penyakit Menular-Pusat Vaksin Internasional) tingkat 3. Foto diambil pada 18 Oktober 2019. Saat ini laboratorium yang berada di Universitas Saskatchewan di Saskatoon, Saskatchewan, Kanada, itu tengah meneliti vaksin untuk mengatasi virus korona tipe baru.
”Karena virus korona baru adalah sepupu dekat SARS, itu (vaksin eksperimental) mungkin saja akan melindungi. Vaksin kami sudah diproduksi dan bisa digunakan dalam waktu cepat,” kata Dr Peter Hotez dari Baylor College of Medicine dan Texas Children’s Hospital.
Hotez ikut menciptakan vaksin SARS. Meskipun begitu, menurut dia, hal lain yang perlu diperhatikan adalah belum ada peta jalan mengenai apa yang harus dilakukan bagi ilmuwan untuk membuat vaksin di tengah-tengah penyebaran wabah di masyarakat yang mematikan.
Ilmuwan dari Australia, Kanada, hingga Perancis ikut menciptakan berbagai jenis inokulasi bersama sejumlah perusahaan biotek dan vaksin. Beberapa waktu lalu, Kepala Laboratorium Identifikasi Virus dari Institut Peter Doherty untuk Infeksi dan Kekebalan, Melbourne, Julian Druce menyatakan mengembangkan virus korona versi laboratorium dari tubuh pasien yang terinfeksi untuk uji coba.
Di Perancis, ilmuwan di Institut Pasteur tengah membuat vaksin dengan formula vaksin untuk campak. Sebelumnya, mereka mencampur bahan genetik dari virus lain ke vaksin campak yang telah ada.
”Pekerjaan yang kami lakukan sekarang melibatkan pembuatan vaksin untuk campak, tetapi direkayasa ulang sehingga vaksin itu akan memiliki antigen (zat yang merangsang pembentukan antibodi) dari virus korona baru,” kata Frederic Tangy, Kepala Departemen Inovasi Vaksin Institut Pasteur.
Para ilmuwan bekerja lebih cepat dibandingkan dengan penanganan wabah pada masa lalu. Namun, banyak ahli setuju penemuan vaksin baru untuk digunakan secara luas baru bisa dalam waktu satu tahun. Itu pun jika semua berjalan lancar.
Kita sedang bertinju dengan bayangan. Kita harus membawa ’bayangan’ ini ke cahaya sehingga bisa menyerangnya dengan benar.
Kandidat obat
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan bertemu pekan depan untuk mengidentifikasi kandidat obat dan vaksin yang menjanjikan untuk virus korona baru. Mereka juga akan membahas cara cepat menemukan obat dan vaksin itu. ”Terus terang, kita sedang bertinju dengan bayangan. Kita harus membawa ’bayangan’ ini ke cahaya sehingga bisa menyerangnya dengan benar,” ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Untuk saat ini, pejabat kesehatan mengisolasi orang sakit untuk melawan penyebaran virus. Virus korona baru menyebabkan demam, batuk, dan terkadang pneumonia yang parah.
Peta Kota Wuhan, China, tempat pertama virus korona baru ditemukan.
Vaksin untuk semua
Dr Mark Denison, seorang ahli virus di Vanderbilt University Medical Center, mengatakan, pengembangan vaksin untuk semua keluarga virus korona sangat penting karena tiga wabah serupa muncul kurang dari 20 tahun terakhir. Wabah SARS muncul di China pada 2002 dan MERS muncul di Timur Tengah pada 2012.
”(Virus korona baru) bukan yang terakhir. Penting untuk menemukan vaksin yang dapat mengikuti karakter unik dari setiap virus korona,” ujar Denison.
Ilmuwan di Institut Kesehatan Nasional (NIH) AS memilih untuk fokus mendesain prototipe vaksin yang efektif terhadap semua keluarga virus korona ketimbang mengendalikan wabah. NIH telah merekayasa sebuah unsur yang mungkin bisa digunakan untuk vaksin. Vaksin itu akan mulai diuji pada April ini.
”Kami memiliki teknologinya sekarang. Ini bisa dikerjakan dari sudut pandang teknik dan biologi. Jika tidak, kita akan menghadapi risiko pandemi baru,” kata Dr Barney Graham, Wakil Direktur Pusat Penelitian Vaksin, Institut Alergi, dan Penyakit Menular Nasional.
Sejumlah petugas mengenakan pakaian pelindung menyemprotkan disinfektan pada area perumahan di Ruichang, Provinsi Jiangxi, China, 25 Januari 2020. Upaya ini dilakukan di tengah merebaknya wabah virus korona tipe baru.
Secara tradisional, pembuatan vaksin adalah menumbuhkan banyak virus di laboratorium. Namun, tim NIH sedang mengejar metode yang lebih baru dan cepat, yaitu cukup dengan menggunakan sepotong kode genetik virus korona yang disebut RNA pembawa pesan (messenger RNA/mRNA).
RNA memerintahkan sel untuk membuat protein tertentu. Satu jenis protein yang diincar adalah spike yang memungkinkan virus mengikat sel.
”Kami menganggap RNA sebagai perangkat lunak kehidupan. Suntik pada bagian yang tepat dan tubuh akan membuat obat-obatan sendiri. Ketika sel hanya menghasilkan protein itu, sistem kekebalan tubuh belajar mengenalinya sehingga siap menyerang jika semua virus datang,” ucap Dr Tal Zaks, Kepala Medis di Moderna Inc, yang sedang mengembangkan vaksin korona dengan NIH.
Moderna Inc tengah memproduksi sampel vaksin mRNA sintetis untuk NIH. Sampel itu akan digunakan untuk uji coba pada hewan dan kemudian manusia. Jika berhasil, para ilmuwan dapat dengan mudah menukar kode genetik yang menghasilkan protein spike ketika virus korona jenis lain muncul.
Sementara itu, Graham dan timnya memusatkan perhatian pada RNA yang bertanggung jawab atas produksi spike. Penelitian sebelumnya menunjukkan protein itu dapat berubah bentuk sehingga mereka perlu merekayasa versi yang lebih stabil. (AFP/AP/Reuters)