Warga negara asing yang telah dievakuasi dari China, menyusul merebaknya penyakit pernapasan akut akibat virus korona tipe baru, menjalani karantina untuk memastikan mereka tidak membawa penyakit itu ke negaranya.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
SEOUL, JUMAT—Sejumlah negara telah mengevakuasi warganya dari China, khususnya kota Wuhan di Provinsi Hubei, yang menjadi pusat penyebaran penyakit pernapasan akut akibat virus korona. Setiap negara yang berhasil mengevakuasi warganya dari China mengarantina semua warganya yang kembali dari negara itu.
Tindakan itu dilakukan untuk mengantisipasi masuknya penyakit akibat virus korona tipe baru yang—untuk sementara oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)—dinamai penyakit pernapasan akut 2019-nCoV.
Paul Tambyah, pakar penyakit menular di National University of Singapore (NUS), berpendapat bahwa ”evakuasi ada risikonya. Namun, di sisi lain, risiko membiarkan mereka berada di pusat wabah lebih tinggi”.
Sebanyak 368 warga Korea Selatan yang dievakuasi menggunakan pesawat carter pertama dari Wuhan tiba di Seoul, Jumat (31/1/2020). Mereka lalu langsung dibawa ke dua fasilitas karantina di Asan dan Jincheon, yang berjarak sekitar 80 kilometer dari Seoul. Sebanyak 18 dari 368 orang yang dievakuasi itu langsung dibawa ke rumah sakit karena menunjukkan gejala penyakit pernapasan akut 2019-nCoV.
Jumat malam, pesawat kedua terbang dari Seoul menuju Wuhan untuk mengevakuasi 350 warga Korsel lainnya. Pesawat ini dijadwalkan kembali ke Korsel Sabtu ini.
Sementara itu, warga Perancis, Inggris, Jerman, dan Bangladesh yang telah dievakuasi dari China harus menjalani karantina 14 hari. Selama dikarantina, aktivitas mereka dibatasi dan tidak boleh dikunjungi. Sementara warga Amerika Serikat yang dievakuasi akan diisolasi secara sukarela selama tiga hari di pangkalan udara AS.
Adapun kebijakan ”karantina mandiri” Jepang telah mendapat kecaman keras. Publik Jepang mengkritik pemerintahnya terkait adanya dua warga yang dievakuasi dari China menolak menjalani pemeriksaan dan diizinkan kembali ke rumahnya.
Kebijakan Jepang
Pejabat Pemerintah Jepang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki dasar hukum untuk memaksa mengisolasi seseorang yang belum diketahui positif terinfeksi virus korona baru. Kebijakan ini tidak akan berubah.
Pemerintah Jepang juga menyatakan bahwa mereka tidak bisa memaksa seseorang untuk menjalani pemeriksaan. Seorang pejabat Kementerian Kesehatan Jepang mengungkapkan bahwa dua orang yang semula menolak menjalani tes akhirnya bersedia diperiksa.
Saat ini, Jepang menetapkan virus korona sebagai ”penyakit menular tertentu tingkat dua”. Penyakit lain, seperti ebola, menempati level tiga. Semakin tinggi level kategorinya, tindakan yang bisa diambil oleh pemerintah pun semakin tegas.
Dari 206 warga Jepang yang dievakuasi dari China dalam pesawat carter pertama, Rabu (29/1), sebanyak 12 orang di antaranya dirawat di rumah sakit. Sisanya ditempatkan di sebuah hotel di Chiba untuk terus dipantau kesehatan mereka, kecuali dua orang yang menolak diperiksa.
Menurut Wang Linfa, Direktur Program Penyakit Menular Baru Duke-NUS Medical School, masa inkubasi virus korona tipe baru, yaitu waktu seseorang terinfeksi tetapi belum menunjukkan gejala, adalah 2-17 hari. Artinya, karantina selama lebih kurang dua pekan akan bisa menangkap 99 persen kasus positif.
”Ini semua soal penilaian risiko. Tidak ada karantina tunggal yang berlaku di semua negara di dunia,” katanya.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, ketakutan terbesar para ahli kesehatan adalah penyebaran virus antarmanusia yang bisa membuka jalan ”penyebaran penyakit ke negara- negara dengan sistem kesehatan yang lemah”.
Itu sebabnya WHO menyatakan wabah penyakit pernapasan akut 2019-nCoV ini sebagai darurat kesehatan global. Dengan begitu, mobilisasi segala sumber daya untuk menghentikan penyebaran penyakit secara internasional bisa dilakukan lebih intensif. ”Kita harus bertindak bersama-sama saat ini juga untuk membatasi penyebaran,” kata Tedros.
Prosedur evakuasi
Maskapai penerbangan internasional biasanya telah memiliki prosedur evakuasi, termasuk menyisakan kursi kosong antarpenumpang, memastikan kualitas dan aliran udara yang baik. Maskapai penerbangan Singapura, Scoot, yang membawa 92 orang warga Singapura dari China, Kamis (30/1), menyediakan masker bedah untuk semua penumpang. Semua awak pesawat menggunakan masker N95 dan sarung tangan bedah.
Untuk membatasi kontak fisik makanan disimpan di setiap kursi sebelum lepas landas. Tidak ada makanan atau minuman yang disajikan selama penerbangan. Scoot juga menyatakan, pemeriksaan suhu tubuh penumpang dilakukan saat check in dan sesaat sebelum naik pesawat. Mereka yang demam tidak diperbolehkan terbang.
Air India pun melakukan hal yang serupa ketika mengevakuasi warga India, Jumat.
Wang Linfa menekankan bahwa otoritas harus ”benar- benar membersihkan bandar udara dan mencegah penularan di setiap tahapan. Risikonya sangat besar”.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) menyatakan, risiko tertular penyakit selama di dalam pesawat tidak jauh beda dengan potensi tertular ketika menggunakan bus atau kereta yang padat.