132 Orang Meninggal akibat Virus Korona, China Perkuat Kerja Sama Internasional
China dan WHO sepakat mengirim para pakar internasional ke China sebagai upaya menghentikan penyebaran virus korona. Sementara itu, peneliti di sejumlah negara berlomba-lomba mencari vaksin untuk virus korona.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
BEIJING, RABU — Komisi Kesehatan Nasional China mencatat, jumlah kematian akibat virus korona tipe baru meningkat drastis menjadi 132 orang hingga Rabu (29/1/2020) pagi. Berkejaran dengan waktu, China memperkuat kolaborasi dengan dunia internasional untuk menemukan vaksin korona.
Meskipun virus baru itu telah menyebar ke lebih dari 15 negara, sejauh ini, semua kematian akibat virus korona berlokasi di China. Selain jumlah kematian yang terus bertambah, otoritas berwenang menemukan 1.459 kasus baru sehingga jumlah total kasus yang terkonfirmasi menjadi 5.974 kasus.
”Virus itu adalah iblis dan kami tidak bisa membiarkan iblis bersembunyi. China akan memperkuat kerja sama internasional dan menyambut partisipasi WHO dalam pencegahan virus. China yakin akan memenangi pertempuran melawan virus itu,” kata Presiden China Xi Jinping di Beijing, Selasa (28/1/2020), dikutip dari televisi pemerintah.
Xi menyampaikan hal tersebut dalam pertemuan dengan Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus. Beberapa ahli memuji Beijing karena lebih reaktif dan terbuka tentang virus baru tersebut dibandingkan dengan penanganan epidemi SARS 2002-2003 yang tertutup.
Virus korona tipe baru (2019 novel coronavirus/2019-nCoV) menyebabkan pneumonia atau radang paru-paru dan dapat menular lewat kontak antar-manusia dengan cepat. Virus ini pertama kali muncul pada akhir 2019 di Wuhan, Hubei, sebuah kota dengan populasi sebesar 11 juta orang.
Sumber dan tingkat penyebaran virus korona tipe baru belum diketahui. Otoritas kesehatan menduga virus ini berasal dari hewan yang ada di pasar pangan laut Wuhan, tempat berbagai hewan eksotis dijual secara ilegal.
”Kedua pihak (China dan WHO) telah sepakat untuk mengirim para pakar internasional ke China sesegera mungkin untuk memimpin upaya respons global. Menghentikan penyebaran virus ini, baik di China maupun global, adalah prioritas utama WHO,” kata Ghebreyesus setelah bertemu Xi.
Pada hari yang sama dengan pertemuan Xi dan Ghebreyesus, Amerika Serikat (AS) meminta China untuk meningkatkan kerja sama dengan otoritas kesehatan internasional. Menurut Menteri Kesehatan dan Layanan Masyarakat AS Alex Azar, Washington telah tiga kali menawarkan bantuan kepada China, tetapi belum ada yang direspons.
”Kami mendesak China. Lebih banyak kerja sama dan transparansi adalah langkah paling penting yang dapat diambil menuju tanggapan yang lebih efektif,” kata Azar.
Kasus terkait virus korona tipe baru telah ditemukan di sejumlah negara lainnya, seperti Jepang, Taiwan, Thailand, Perancis, Amerika Serikat, dan Kanada. Warga yang terinfeksi sebelumnya berkunjung ke China.
Namun, kasus baru di Jerman menunjukkan virus menyebar tanpa harus berada di China. Empat orang dari perusahaan yang sama di Bavarian terinfeksi virus setelah dikunjungi seorang rekan kerja asal China. Kasus ini meningkatkan kekhawatiran penyebaran virus antarmanusia dapat terjadi melalui batuk dan bersin serta memiliki masa inkubasi hingga 14 hari.
Sebuah tim ilmuwan di Australia, Rabu (29/1/2020), mengatakan telah mengembangkan virus korona versi laboratorium dari tubuh pasien yang terinfeksi. Virus yang pertama kali diciptakan kembali di luar China ini dapat menjadi terobosan dalam memerangi penyebaran virus.
”Memiliki virus asli berarti kami sekarang memiliki kemampuan untuk benar-benar memvalidasi dan memverifikasi semua metode pengujian serta membandingkan sensitivitas dan kekhususan mereka,” kata Kepala Laboratorium Identifikasi Virus dari Institut Peter Doherty untuk Infeksi dan Kekebalan, Melbourne, Julian Druce.
Para peneliti di Peter Doherty Institute berencana untuk membagikan sampel tersebut dengan WHO dan laboratorium di seluruh dunia.
Secara terpisah, otoritas kesehatan AS menyatakan sedang mengerjakan vaksin untuk mengatasi virus korona tipe baru. Namun, vaksin tersebut membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk berkembang.
Ketakutan terhadap penyebaran virus telah membuat China melakukan karantina di Wuhan dan sekitarnya sehingga membuat lebih dari 50 juta orang terperangkap. Beberapa negara kini mencoba mengevakuasi warganya dari Wuhan, Hubei, pusat epidemi.
Jepang berhasil membawa pulang 206 orang untuk rombongan pertama kembali ke Tokyo pada Rabu (29/1/2020). Pada hari yang sama, pesawat sewaan AS mengangkut 220 penumpang, termasuk di dalamnya pegawai konsulat AS, keluar dari Wuhan.
Di luar kedua negara itu, Australia mengumumkan akan membantu warganya meninggalkan Hubei. Namun, mereka akan dikarantina terlebih dulu di Pulau Christmas, sebuah pulau terpencil untuk menampung para pencari suaka.
Adapun Komisi Eropa menyatakan akan membantu mendanai dua pesawat untuk menerbangkan warga negara anggota UE pulang. Sebanyak 250 warga negara Perancis direncanakan berangkat pada penerbangan pertama. Korea Selatan juga berencana melakukan hal yang sama. (Reuters/AFP)