Indonesia meminta Malaysia lebih serius menjaga keamanan perairannya. Sebab, 44 warga negara Indonesia diculik kelompok bersenjata Filipina di sekitar perairan Malaysia sejak tahun 2016.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia meminta Malaysia lebih serius menjaga keamanan perairannya. Sebab, 44 warga negara Indonesia diculik kelompok bersenjata Filipina di sekitar perairan Malaysia sejak 2016. Sejumlah kelompok bersenjata di Filipina diduga menjadikan penculikan sebagai sumber penghasilan.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, Malaysia harus terus menjaga dan mengawasi perairan. "Jika tidak, korban akan terus ada dan tidak bisa dibiarkan," ujarnya, Kamis (23/1/2020), di Jakarta.
Korban terakhir adalah Arsyad bin Dahlan (42) selaku juragan, Arizal Kastamiran (29), La Baa (32), Riswanto bin Hayono (27), dan Edi bin Lawalopo (53). Mereka diculik pada 16 Januari 2020 malam saat mencari ikan di lepas pantai Sabah. Penculikan terhadap mereka terjadi sehari setelah korban terakhir dari penculikan sebelumnya, Mohammad Farhan, dibebaskan. Kemarin, Kemlu RI menyerahkan Farhan kepada perwakilan keluarga.
Permintaan Indonesia soal keamanan itu disampaikan Retno kepada Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Zainal Abidin Bakar. Pada pertemuan itu, Indonesia mengingatkan kembali kesepakatan patroli terkoordinasi Indonesia-Malaysia-Filipina di sekitar Kalimantan, Sulawesi, dan Laut Sulu.
Permintaan Kemlu RI soal keamanan juga disampaikan kepada para pemilik kapal. Para korban penculikan adalah awak kapal ikan yang dimiliki perusahaan-perusahaan di Sabah, Malaysia.
Zainal mengatakan, korban terakhir melaut pada malam hari. Malaysia telah melarang nelayan berlayar malam karena alasan keamanan. "Mereka menjadi sasaran," ujarnya.
Ia tidak menampik telah dipanggil Kemlu RI. Dalam pertemuan itu, ia membahas lagi patroli terkoordinasi Indonesia-Malaysia-Filipina agar lebih mangkus. "Mungkin untuk meninjau mekanisme antara otoritas tiga negara," ujarnya.
Kuala Lumpur dinyatakan telah mengeluarkan banyak biaya dan sumber daya untuk patroli di Sabah. Perairan Sabah yang luas diakui menjadi tantangan kemangkusan pengamanan.
Dalam pernyataan resminya, militer Malaysia memperhatikan secara serius kasus penculikan lima WNI pekan lalu. Tentara Malaysia menyatakan telah menerapkan kesepakatan patroli terkoordinasi.
Selain dengan mitra luar negeri, tentara Malaysia juga berkoordinasi dengan lembaga keamanan dalam negeri. Mereka, antara lain, terus bekerja sama dengan Pusat Komando Keamanan Sabah Timur (ESSCOM), polisi perairan (PGM-PDRM), dan Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) untuk menjaga keamanan perairan Sabah.
Retno dan Zainal sepakat, para nelayan dan pemilik kapal harus menghindari melaut malam hari. Sebab, hampir seluruh kasus penculikan terjadi pada malam hari.
Sumber pendapatan
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fitri Bintang Timur mengatakan, penculikan menjadi salah satu sumber pendapatan oleh sejumlah oknum di Filipina selatan. Sasarannya bukan hanya warga Indonesia. "Mereka sebenarnya lebih banyak beroperasi di darat dan menyasar warga negara-negara lain," ujar peneliti isu keamanan itu.
Di Filipina selatan ada banyak kelompok bersenjata dan nyaris tidak ada komando tunggal sejak kematian Isnilon Hapilon. Kelompok-kelompok bersenjata itu beranggotakan anak-anak muda yang tidak punya pekerjaan dan sumber pendapatan alternatif.
Temuan berbagai pihak mengungkap, aktivitas perekonomian di Filipina selatan memang belum semaju wilayah lain di negara itu. Akibatnya, pengangguran di sana menjadi salah satu pekerjaan rumah Manila. Pemerintah Filipina berkomitmen lebih mengaktifkan perekonomian di sana lewat berbagai proyek dan program.
Penculikan menjadi salah satu sumber pendapatan oleh sejumlah oknum di Filipina selatan.
Sejumlah diplomat Indonesia mengakui, para penculik berasal dari kelompok berbeda. Kematian Isnilon Hapilon membuat banyak faksi bersenjata berjalan sendiri dan tidak terkoordinasi satu sama lain. Kelompok yang terlibat penculikan terakhir pun belum teridentifikasi. Mereka diduga telah membawa para korban ke salah satu pulau di Laut Sulu. Sampai sekarang belum ada kontak penculik dengan majikan dan keluarga korban.
Penculikan WNI sebenarnya menjadi alternatif paling terakhir. Sebab, harga tebusannya tergolong rendah dibandingkan warga negara lain. Tebusan WNI rata-rata di kisaran 5.000 dollar AS. Sementara untuk warga negara lain, permintaan tebusan setara puluhan ribu dollar AS per orang.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Abdi Suhufan mengatakan, Indonesia perlu membentuk pusat komunitas nelayan di Sabah dan kampung halaman nelayan. Pusat nelayan itu akan menjadi titik pengaduan pertama untuk masalah yang dihadapi nelayan. Dengan demikian, pemerintah bisa lebih cepat bertindak.
Ia mengingatkan, para nelayan terpaksa bekerja ke luar negeri karena potensi penghasilan lebih besar. Karena itu, sulit meminta nelayan Indonesia di Sabah pulang jika tidak ada sumber penghasilan lebih baik di dalam negeri.
Sejumlah inisiatif pemerintah terkait relokasi nelayan dalam negeri juga sulit dipakai. Sebab, regulasi dan sarana pendukungnya belum tersedia. Di Natuna, rencana transmigrasi nelayan belum didukung ketersediaan perumahan. Sementara soal kapal-kapal besar yang bisa melaut jauh pun tidak bisa dilakukan walau di Indonesia ada banyak kapal besar yang belum bisa melaut.
Kapal berbendera nasional masih terkendala larangan operasi dari Kementerian Kelautan. Sementara kapal sitaan dari nelayan asing belum bisa dihibahkan. Sebab, harus ada keputusan pengadilan atas barang yang berstatus sitaan. Hibah juga hanya bisa dilakukan kepada kelompok nelayan terdaftar.
"Mereka harus membentuk kelompok dulu, mendaftar, baru bisa menerima. Prosesnya panjang. Sementara kebutuhan harus dipenuhi setiap hari," kata Abdi.
Selain itu, ada persoalan budaya karena sebagian nelayan Indonesia sudah lama tinggal di Sabah. Mereka menikah dan keluarga mereka terbiasa dengan kehidupan di Sabah.
Tidak mudah pula meminta mereka pulang ke Indonesia dengan alasan tidak aman. Dalam kondisi itu, hal yang bisa dilakukan pemerintah adalah melindungi mereka yang bekerja di luar negeri.