Penggiat HAM Desak Pembebasan Tokoh Oposisi Kamboja dari Dakwaan
Pemimpin oposisi Kamboja, Kem Sokha, menolak video yang diputar hakim dalam persidangan dirinya pada hari pertama itu sebagai bukti. Ia menyebut tayangan video itu tidak lengkap, ditayangkan di luar konteks, dan diedit.
Oleh
ELOK DYAH MESSWATI
·4 menit baca
PHNOM PENH, KAMIS -- Pemimpin partai oposisi, Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP), Kem Sokha, mulai menjalani persidangan dalam kasus dakwaan pengkhianatan terhadap pemerintah Kamboja di Phnom Penh, Kamboja. Persidangan kasus Sokha telah dimulai pada hari Rabu (15/1/2020) dan berlanjut pada hari Kamis (16/1) ini.
Seperti pada saat penangkapannya, persidangan Sokha mendapat kecaman dari kelompok-kelompok penggiat hak asasi manusia (HAM). Langkah hukum itu dinilai sebagai upaya Perdana Menteri Kamboja Hun Sen untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya. Para penggiat HAM itu mendesak agar Sokha dibebaskan dari dakwaan yang diajukan dalam persidangan tersebut.
"Setelah dua tahun ditahan secara sewenang-wenang, pihak berwenang belum memberikan sedikit pun bukti yang dapat dipercaya untuk mendukung tuduhan pengkhianatan," kata Nicholas Bequelin, Direktur Regional Amnesty International.
Dalam persidangan hari pertama, Rabu, para diplomat memadati Pengadilan Kota Phnom Penh yang diperketat keamanannya. Wartawan tidak diizinkan meliput persidangan itu.
Hakim Pengadilan Kota Phnom Penh, Koy Sao, membacakan dakwaan kepada Sokha. Dalam dakwaan itu, disebutkan bahwa antara tahun 1993 hingga sekarang, Sokha dituduh telah merencanakan dan melaksanakan rencana rahasia serta berkolusi dengan orang asing untuk menggulingkan pemerintah Kamboja.
Hakim mengatakan, Sokha telah berkonspirasi dengan penasihat Amerika Serikat (AS) dan Kanada terkait perubahan rezim, seperti yang dilakukan Yugoslavia dan Serbia. Hal itu disampaikan hakim sebelum memutar video tahun 2013 yang menunjukkan Sokha menghadiri sebuah seminar dan menyatakan bahwa dia menerima saran politik dari kelompok pro-demokrasi AS.
Sokha menolak video itu sebagai bukti. "Video ini tidak lengkap, kontennya di luar konteks, telah diedit. Saya punya video sendiri, akankah pengadilan memutarnya? Apakah pengadilan memverifikasi video ini?" kata Sokha.
Pengacara Sokha menyebutkan, persidangan kasus ini bisa memakan waktu berbulan-bulan. Jika terbukti bersalah, Sokha bisa dipenjara hingga 30 tahun.
Video ini tidak lengkap, kontennya di luar konteks, telah diedit. Saya punya video sendiri, akankah pengadilan memutarnya?
Menurut Ketua Pengadilan Kota Phnom Penh, Taing Sunlay, persidangan Kem Sokha diperkirakan akan memakan waktu hingga tiga bulan. Persidangan akan dilakukan dua kali seminggu.
Pendukung oposisi diperingatkan agar tidak melakukan kegiatan provokatif selama persidangan. Puluhan pendukung Kem Sokha dan CNRP berkumpul di luar pengadilan yang dijaga oleh polisi saat persidangan berlangsung.
Tahanan rumah
Sokha ditangkap pada bulan September 2017 berdasarkan video lama itu. Menjelang akhir tahun 2019, ia menjadi tahanan rumah. Dia terancam hukuman penjara hingga 30 tahun jika terbukti bersalah.
Partai CNRP dibubarkan oleh Mahkamah Agung Kamboja pada November 2017 dengan dasar yang sama. Penangkapan Sokha dan pembubaran CNRP itu dipandang sebagai upaya untuk mengamankan suara Partai Rakyat Kamboja (CPP) yang mendukung Hun Sen dalam pemilihan umum 2018.
Dengan membubarkan CNRP, satu-satunya kekuatan oposisi yang kredibel, CPP dengan mudah memenangi semua kursi di Majelis Nasional dalam pemilihan umum 2018. Hal tersebut mendapat kecaman dari kelompok-kelompok penggiat HAM dan negara-negara Barat yang menuduh bahwa pemilihan itu tidak bebas atau adil.
"Saya tahu betul bahwa saya sama sekali tidak bersalah, sehingga saya harus pergi ke pengadilan dan menantang tuduhan terhadap saya. Saya juga menuntut agar mereka membatalkan kasus ini. Saya tidak pernah melakukan kesalahan apa pun sehingga pengadilan harus membatalkan tuduhan," kata Sokha.
Chan Chan, salah satu pengacara Sokha, mengatakan kepada wartawan setelah sesi pengadilan pagi bahwa sifat politik kasus tersebut mengharuskan penyelesaiannya harus melalui pembicaraan antar-politisi daripada di pengadilan.
"Rekan-rekan saya dan saya tahu bahwa kasus Kem Sokha adalah tentang perbedaan sudut pandang politisi, dan perlu diselesaikan melalui cara-cara politik," kata Chan Chan, merujuk pada penyelesaian politik masa lalu yang mengakhiri perang saudara dengan komunis Khmer Merah.
Sementara itu, kelompok penggiat HAM Amnesty International menyerukan agar tuduhan terhadap Sokha dibatalkan. "Kejahatan yang tidak ada secara politis dibuat untuk melanjutkan penindasan partai oposisi. Pengadilan Phnom Penh harus membebaskan Kem Sokha untuk mengakhiri olok-olok terhadap keadilan ini," kata Nicholas Bequelin, Direktur Regional Amnesty International.
Pengadilan Phnom Penh harus membebaskan Kem Sokha untuk mengakhiri olok-olok terhadap keadilan ini.
Persidangan terhadap Kem Sokha itu dimulai pada saat situasi politik makin sulit bagi Hun Sen. Kamboja kemungkinan menghadapi sanksi perdagangan dari Uni Eropa (UE). UE memulai proses yang dapat mengakibatkan pencabutan status bebas bea dan status bebas kuota bagi impor dari Kamboja terkait isu tenaga kerja dan kasus hak asasi manusia. UE akan mengumumkan keputusannya soal itu pada bulan Februari 2020.
Hun Sen lawan tekanan
Sanksi perdagangan UE itu dapat sangat merugikan perekonomian Kamboja yang sangat bergantung pada ekspor tekstil dan alas kaki berbiaya rendah. Ekspor ke UE menyumbang hampir setengah dari ekspor Kamboja.
Kamboja adalah salah satu dari beberapa negara berkembang yang mendapat fasilitas program "Everything But Arms" atau EBA dari UE. Dengan fasilitas itu, produk-produk Kamboja selain senjata memperoleh akses istimewa ke pasar Eropa.
Hun Sen telah secara terbuka menegaskan bahwa dia tidak akan membiarkan Kamboja di bawah tekanan asing, dan yakin bahwa industri ekspor berbiaya rendah Kamboja dapat bertahan meskipun tidak ada keistimewaan yang mereka dapatkan dari perdagangan dengan pihak asing.