Kisah Anak-anak Uighur yang Orangtuanya Ditahan di China
Di sebuah sekolah di pinggiran kota Istanbul, Turki, kini terdapat ratusan anak pengungsi warga etnis Muslim Uighur dari Xinjiang, China barat daya.

Mahmut, guru Matematika dari etnis Uighur, mengajar di sebuah sekolah di Distrik Silivri, pinggiran Istanbul, Turki, 29 November 2019. Di sana anak-anak Uighur mengikuti les sebelum dan sesudah sekolah reguler mereka untuk menjaga budaya dan bahasa mereka tetap hidup.
Di sebuah sekolah di pinggiran kota Istanbul, Turki, kini terdapat ratusan anak pengungsi warga etnis Muslim Uighur dari Xinjiang, China barat daya. Di antara mereka, ada 26 anak yang kehilangan salah satu orangtua, entah ayah atau ibunya, dan tujuh anak kehilangan kedua orangtuanya.
Pengungsi anak-anak itu belajar bahasa dan budaya mereka di sekolah di Distrik Silivri, tak jauh dari Istanbul. Namun, walau itu merupakan gedung sekolah, bagi beberapa orang, tempat itu juga menjadi panti asuhan dadakan.
Jauh sebelum sekolah khusus itu dibangun, terjadi kekerasan yang dialami etnis minoritas Uighur di Xinjiang, provinsi di China barat laut, yang oleh separatis Uighur diimpikan sebagai negara ”Turkestan Timur”. Kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari China inilah yang diperangi Beijing.
Banyak orangtua melarikan diri ke Turki dari kekerasan di Xinjiang itu. Setelah melarikan diri dari tindakan keras yang memburuk pada etnis minoritas Muslim Uighur itu, beberapa orangtua berpikir masih aman kembali sesewaktu untuk bisnis dan mengunjungi keluarga di Xinjiang.
Baca juga: Amnesty: China Dirikan Kamp-kamp Indoktrinasi untuk Warga Etnis Uighur

Foto yang diambil pada 29 November 2019 ini menunjukkan sebuah gedung sekolah untuk anak-anak Uighur di Distrik Silivri, Istanbul. Di sini ratusan anak Uighur belajar untuk menjaga bahasa dan budaya mereka tetap hidup.
Namun, ternyata para orangtua itu ada yang tak kunjung pulang. Rupanya, ada yang diculik dan ada yang dijemput terang-terangan serta dibawa ke tempat yang diduga lebih mirip sebagai penjara. Tempat itu oleh China disebut sebagai fasilitas pendidikan ulang atau kejuruan, bagian dari program deradikalisasi.
Mereka tertutup dari dunia luar, tak ada jaringan komunikasi yang diizinkan. Fatima, bocah perempuan berusia sembilan tahun, hanya memiliki kenangan yang samar tentang tanah kelahirannya di Xinjiang dan kini juga tentang ayahnya yang tak pernah kembali.
Baca juga : Menyoroti Kekerasan atas Minoritas Muslim di Xinjiang
Setiap kali mengingat ayahnya, Fatima berlinangan air mata. Dia teringat momen-momen menonton televisi bersama ayahnya. Ia ingin nonton kartun, sedangkan ayahnya lebih suka menonton berita, terutama berita tentang Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, satu-satunya pemimpin dunia Muslim yang bersedia membela warga Uighur dan siap menghadapi risiko kemarahan China.
Ayahnya terbang kembali ke China dari waktu ke waktu untuk urusan bisnis sebelum ada yang tahu tentang kamp di wilayah Xinjiang itu. ”Dan, kemudian ayah pergi,” katanya, air mata mengalir di wajahnya.
”Kupikir ayah akan kembali, tetapi ayah tidak pernah pulang lagi,” katanya. Tidak ada yang mendengar kabar dari ayahnya dalam tiga tahun ini.
Baca juga: AS Hendak Pertanyakan Lagi Penahanan 1 Juta Warga Uighur

Fatima, pelajar Uighur berusia 9 tahun, berbicara dengan berderai air mata saat diwawancarai di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak korban kekerasan di Xinjiang, China, yang terdapat di Distrik Silivri, di pinggiran Istanbul, pada 29 November 2019.
Aktivis Uighur yang diasingkan pada November lalu merilis bukti, hampir 500 kamp dan penjara yang digunakan terhadap kelompok etnis minoritas Muslim Uighur dan minoritas lainnya di China. Ia mengatakan, jumlah keseluruhan narapidana bisa ”jauh lebih besar” dari 1 juta seperti yang diperkirakan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sering dilaporkan di media massa.
Baca juga : PBB Simpulkan China Diskriminatif terhadap Muslim Uighur
Ketika berita tentang kamp-kamp tahanan atau penjara itu pertama kali muncul pada tahun 2017, Beijing awalnya menolak keberadaan kamp-kamp itu.
Kamp-kamp itu bertujuan untuk menghapuskan budaya dan agama lokal Uighur dan minoritas lainnya, yang kebanyakan Muslim.
Namun, setelah ditekan dunia internasional, Beijing belakangan mengakui dengan mengatakan, kamp-kamp itu adalah pusat kejuruan ”sukarela” yang bertujuan memerangi ekstremisme dengan mengajar orang-orang bahasa Mandarin dan keterampilan kerja.
Akan tetapi, dokumen internal yang bocor menunjukkan, fasilitas yang diakui sebagai pusat-pusat pendidikan kejuruan itu dijalankan seperti penjara. Para kritikus mengatakan, kamp-kamp tersebut bertujuan untuk menghapuskan budaya dan agama lokal Uighur dan minoritas lainnya, yang kebanyakan Muslim.
Baca juga : Pemerintah China Ungkap Penangkapan Hampir 13.000 Warga di Xinjiang
Dengan sekitar 50.000 pengungsi Uighur di Turki, tentu jumlah anak yang mengalami nasib seperti Fatimah jauh lebih banyak lagi. Kepala sekolah Fatimah, Habibullah Kuseni, mengatakan, dari lebih dari seratus murid di sekolah itu, 26 orang telah kehilangan satu orangtua di kamp, tujuh telah kehilangan keduanya.

Para pelajar Uighur menjalankan ibadah shalat setelah pelajaran usai pada 29 November di sekolah mereka di Distrik Silivri, pinggiran Istanbul, Turki.
Bahkan ada yang bernasib jauh lebih buruk dari Fatima. Tursunay (15), misalnya, belum pernah sama sekali melihat atau berbicara dengan salah satu orangtuanya sejak Juli 2017. Ia kehilangan kedua orangtuanya.
”Jangan khawatir tentang kami,” kata orangtuanya dalam panggilan telepon terakhir ketika ayah dan ibunya dalam perjalanan kembali ke China, Juli 2017.
Kedua orangtuanya mengabarkan, agak aneh ketika paspor mereka disita aparat China. Namun, keduanya meyakinkan anak mereka, Tursunay, bahwa masalah itu akan segera diselesaikan.
Baca juga : Tantangan Kemanusiaan di Xinjiang
Tursunay mengenang kembali hidupnya di Xinjiang. Dia teringat suatu saat pernah bertanya kepada ayahnya, ”Mengapa mereka mengawasi kita, papa?” Ia bertanya karena ada kamera pengawas dipasang aparat China di pintu masuk apartemen mereka.
”Itu karena kita Muslim,” kata Tursunay, mengulangi jawaban ayahnya. Ayahnya lalu membakar semua koleksi cakram padat tentang agama mereka.
Semua bentuk komunikasi dengan setiap anggota keluarga etnis Uighur di China telah terputus. Tursunay sangat merindukan orangtuanya—bahkan, hanya pesan singkat—bahwa dia mengatakan harus melawan keinginan untuk marah kepada orangtuanya karena menghilang.
”Saya mencoba untuk tetap optimistis dan ingat bahwa bukan orangtua saya yang melakukan ini kepada saya,” kata Tursunay.

Demonstran pendukung minoritas Uighur Xinjiang, China, berpawai membawa bendera Turkestan Timur dan spanduk di Fatih, Istanbul, Turki, pada 20 Desember 2019. Lebih dari 1.000 demonstran terlibat dalam pawai tersebut untuk menuntut Beijing segera membebaskan warga Uighur yang ditahan di penjara-penjara di Xinjiang.
Banyak anak di Xinjiang juga dilaporkan tanpa orangtua. Human Rights Watch mengatakan pada September lalu, pihak berwenang China telah menampung anak-anak ”tak terhitung” banyaknya yang orangtuanya ditahan atau berada di pengasingan. Anak-anak ditampung di lembaga kesejahteraan anak milik pemerintah dan sekolah berasrama tanpa izin atau tanpa akses orangtua.
Baca juga : Menyoroti Kekerasan atas Minoritas Muslim di Xinjiang
Banyak orang Turki merasakan ikatan sejarah dengan Uighur, baik sebagai sesama Muslim maupun sebagai bagian dari kelompok etnis berbahasa Turki yang sama.
Demonstrasi berturut-turut diadakan pada Desember 2019 di Istanbul. Satu di antaranya digelar kelompok Islamis dan lainnya oleh kelompok ultra-nasionalis.
Kementerian Luar Negeri Turki menyebut tindakan keras China terhadap Uighur ”sangat memalukan bagi umat manusia”.
”Bukankah tangisan saudara-saudara kami dari Turkestan Timur telah sampai ke telinga Anda?” kata Musa Bayoglu di luar Konsulat China di Istanbul. ”Bukankah teriakan saudara-saudara kami menembus dinding istana Anda?”
Awal tahun 2020, Kementerian Luar Negeri Turki menyebut tindakan keras China terhadap Uighur ”sangat memalukan bagi umat manusia”. Namun, sejak saat itu, sebagian besar bungkam dalam masalah ini.
Ketika berbicara di Majelis Umum PBB pada September 2019, Erdogan mengeluarkan daftar kelompok-kelompok Muslim yang menghadapi penganiayaan, dari Palestina hingga Rohingya di Myanmar, sedangkan orang-orang Uighur tidak disinggung.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan satu-satunya pemimpin dunia Muslim yang bersedia membela warga Uighur dan siap menghadapi risiko kemarahan China. Pemimpin negara lain melihat krisis di Xinjiang sebagai masalah dalam negeri China.
Banyak yang khawatir Erdogan tunduk pada tekanan ekonomi China. Walau demikian, warga Uighur Turki tetap sangat berterima kasih atas suaka yang diberikan pemerintahan Erdogan kepada mereka.
”Mereka menyediakan 50.000 tempat tinggal yang damai untuk pengungsi Uighur,” kata seorang aktivis Uighur di Istanbul. ”Tidak ada negara Muslim lain yang melakukan itu, tidak ada negara Barat yang melakukan itu.”
Dokumen-dokumen internal yang bocor di China merincikan bagaimana Beijing mengoperasikan kamp-kamp yang oleh warga Uighur disebut penjara atau tahanan itu. Ada instruksi aparat bahwa narapidana harus diputus dari dunia luar dan dipantau setiap saat, termasuk di toilet, mencegah ada yang kabur.
Baca juga : AS Hendak Pertanyakan Lagi Penahanan 1 Juta Warga Uighur
Warga Uighur itu diindikasikan harus ditahan setidaknya selama satu tahun dan dibebaskan hanya setelah dinilai telah mengalami ”transformasi ideologis, studi dan pelatihan, dan kepatuhan dengan disiplin”.
Di sekolah Uighur di Istanbul, kisah-kisah seperti itu sangat memilukan. ”Saya masih ingin mendengarkan berita itu, tetapi ketika saya mendengarnya, saya merasa tidak enak, gelisah, perut saya sakit,” kata Rufine (12), yang ingin menjadi guru atau dokter ketika dewasa kelak.

Anak-anak Uighur mengikuti pelajaran Agama di sekolah mereka di Distrik Silivri, pinggiran Istanbul, Turki, pada 29 November 2019.
Ibu Rufine menghilang dua tahun lalu ketika dia kembali untuk merawat nenek yang sakit.
Baca juga : China Diminta Lebih Terbuka soal Isu Etnis Uighur
Kuseni, sang kepala sekolah, tertawa ketika ditanya barang apa di sekolah yang ilegal di China. ”Hanya datang berlibur ke negara Muslim seperti Turki sudah cukup untuk mengirim Anda ke sebuah kamp,” katanya.
”Adapun barang-barang ini...,” ia menunjuk pada bendera Turkestan Timur dan tulisan Arab Uighur di dinding, lalu membuat gerakan memotong di tenggorokannya.
”Orang-orang Uighur menghadapi kepunahan,” tambah Mahmut Utfi, guru berusia 39 tahun di sekolah tersebut. ”Budaya kita, bahasa kita. Saya menganggap pekerjaan saya sebagai kewajiban.”
Karena mereka merampasnya dari kami, kami harus merebutnya kembali.
Bagi Fatima, represi yang dilakukan Pemerintah China atas warga etnis Uighur hanya membuatnya lebih tertantang.
Sementara air mata masih mengalir deras dan dalam suara yang parau, Fatima mengirim pesan yang kuat untuk Pemerintah China. ”Saya akan memberi tahu mereka: lihat nanti. Anda pikir kami lemah, tetapi Anda akan lihat. Bangsa kami, tanah air kami, akan selamat, Anda tidak akan bisa menghentikannya,” katanya.
”Karena mereka merampasnya dari kami, kami harus merebutnya kembali,” kata Fatima.
Pemerintah China dalam berbagai saluran telah berkali-kali menyangkal adanya penjara atau rumah tahanan bagi warga Uighur. Kementerian Luar Negeri China di Beijing membela diri dari tuduhan terkait pelanggaran hak asasi manusia.
Baca juga : China Bela Kebijakan di Xinjiang
Di Xinjiang, pemerintah lokal mengatakan akan meneruskan program pelatihan bagi para penduduk minoritas Muslim sebagai bagian dari program deradikalisasi setelah berbagai upaya pemberontakan oleh separatis Uighur.
Dalam sebuah konferensi pers pada Desember 2019, misalnya, Gubernur Otonomi Uighur Xinjiang Shohrat Zakir menolak tuduhan yang selama ini dilontarkan oleh organisasi hak asasi manusia dan negara-negara lain yang menyudutkan China.

(Dari kiri) Hu Kaihong, juru bicara Kantor Informasi Dewan Negara; Shohrat Zakir, Wakil Sekretaris Komite Partai Komunis untuk Xinjiang China dan Gubernur Daerah Otonomi Uighur Xinjiang; serta sejumlah pejabat lainnya menghadiri konferensi pers di Beijing, 9 Desember 2019.
”Para siswa dengan bantuan pemerintah telah berhasil mewujudkan pekerjaan yang stabil (dan) meningkatkan kualitas hidup mereka,” kata Zakir, politisi Partai Komunis China, yang berasal dari etnis Uighur.
Baca juga : Uighur, Mayoritas yang Minor
Menurut Zakir, saat ini mereka yang ada di pusat-pusat pelatihan ”telah menyelesaikan kursus mereka” dan bahwa ”ada orang-orang yang masuk dan keluar” dari tempat yang disebut sebagai pusat pelatihan itu.
Pemerintah Otonomi Uighur Xinjiang akan ”melanjutkan pelatihan pendidikan harian, rutin, normal, dan terbuka untuk para kader desa, anggota partai di pedesaan, petani, penggembala, dan lulusan sekolah menengah yang tengah menganggur”. (AFP/REUTERS)