Setelah Rakyat Taiwan Menentukan Sikap
Pemilu Taiwan yang digelar Sabtu (11/1/2020) tidak hanya sebagai perhelatan memilih pemimpin dan anggota parlemen. Pemilu tersebut bak referendum yang menegaskan sikap Taiwan terhadap China.
Masa depan hubungan Taiwan dengan China, setidaknya dalam empat tahun ke depan, menjadi jelas menyusul kemenangan besar petahana Tsai Ing-wen atas pesaing utamanya yang menghendaki hubungan yang lebih erat dengan China.
Dalam pemilu tersebut kandidat dari Partai Progresif Demokrat (DPP), Tsai Ing-wen, unggul dari pesaing utamanya, Han Kuo-yu dari Partai Kuomintang (KMT). BBC mencatat, hingga Sabtu pukul 20.36 WIB, Tsai memperoleh 57,1 persen suara, sementara Han 38,6 persen suara. Dalam pemilu itu juga DPP meraih 61 dari 113 kursi parlemen.
Tanpa menunggu lama, dalam pidato kemenangannya, Tsai menegaskan, ”Hari ini saya ingin sekali lagi mengingatkan otoritas Beijing bahwa perdamaian, keseimbangan, demokrasi, dan dialog adalah kunci stabilitas.” ”Saya ingin otoritas Beijing mengetahui bahwa Taiwan yang demokratis dan pemerintahannya yang dipilih secara demokratis tidak akan pernah menyerah pada ancaman.”
Tsai sepenuhnya sadar bahwa kemenangannya bisa membuat Beijing kian meningkatkan tekanannya terhadap Taiwan. Sebelumnya, Beijing telah memutus hubungan diplomatik, membatasi warga China berwisata ke Taiwan, mengisolasi Taiwan di pergaulan internasional, hingga menyisakan 15 negara yang mengakui Taiwan saat ini. Militer China yang menggelar latihan militer di Selat Taiwan dan patroli udara China terbang di sekitar Taiwan kian menambah tensi.
Taiwan telah mengembangkan identitasnya sendiri sejak memisahkan diri dari China menyusul kekalahan Kuomintang dari Partai Komunis China dalam perang saudara tahun 1949. Namun, Taiwan tak pernah mendeklarasikan kemerdekaannya. Sementara Beijing masih menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan ingin mengambil kembali Taiwan dengan cara militer jika diperlukan.
Kemenangan Tsai di Taiwan sebenarnya sudah diprediksi banyak jajak pendapat sebelum pemilu digelar. Salah satu faktor yang berkontribusi pada kemenangan itu tidak lain adalah gerakan prodemokrasi di Hong Kong dan sikap China yang ingin menerapkan model ”satu negara dua sistem” di Hong Kong. Hal itu justru memperkuat kampanye Tsai yang ingin mengambil jarak yang tegas dengan China.
Sebenarnya, siapa pun yang menang dalam pemilu, entah Tsai ataupun Han, Taiwan tetap menghadapi krisis strategis di Selat Taiwan. Justru ini yang, menurut Brendan Taylor, Profesor Studi Strategis di Pusat Studi Pertahanan dan Strategi, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs Australian National University, harus dilihat ke depan.
Dengan kemenangan Tsai, intimidasi militer, tekanan ekonomi, termasuk isolasi diplomatik, menjadi opsi yang sangat bisa dilakukan China. Sebagian malah sudah dilakukan. Namun, andaikan Han menang pun tak lantas membuat hubungan dengan China serta- merta mulus, terlebih gerakan prodemokrasi di Hong Kong dan sikap kaum muda Taiwan yang menolak China masih kuat.
Terakhir kali Partai Kuomintang berkuasa di Taiwan adalah pada masa pemerintahan Ma Ying-jeou (2008-2016). Saat itu, hubungan Taiwan dengan China cukup dekat. Dalam periode itu, ada 23 kesepakatan lintas selat (mayoritas ekonomi) yang ditandatangani. Inisiatif Ma itu memicu ”gerakan bunga matahari”, serangkaian protes dengan menduduki parlemen Taiwan pada Maret 2014. Gerakan ini secara signifikan menjadi inspirasi bagi demonstrasi di Hong Kong saat ini.
Peneliti tamu di College of Social Sciences, National Taiwan University, Shelley Rigger, memperkirakan, Tsai tak akan menempuh jalur militer, tetapi juga tak akan melunak terhadap Beijing.
Bergeming
Di saat yang hampir bersamaan dengan pidato kemenangan Tsai, kantor berita Xinhua menerbitkan laporan singkat yang menyatakan, Tsai terpilih kembali sebagai ”pemimpin kawasan Taiwan”. Bahasa itu merupakan ekspresi Beijing yang menolak mengakui Taiwan sebagai entitas politik yang independen dan pemimpinnya sebagai kepala negara.
Juru bicara Kantor Urusan Taiwan di Pemerintah China, Ma Xiaoguang, mengatakan, China akan tegas membela kesatuan wilayahnya dan melawan separatis dan kemerdekaan Taiwan. ”China bersedia bekerja dengan rakyat Taiwan untuk menyiapkan ’reunifikasi damai’,” ujarnya seperti dikutip Xinhua.
Kemenangan Tsai dalam pemilu tak mengubah pendirian China yang masih ingin menerapkan model ”satu negara dua sistem”. ”Apa pun yang terjadi di internal Taiwan, fakta mendasar bahwa hanya ada satu China di dunia dan Taiwan merupakan bagian dari China tak akan berubah,” demikian tegas Kementerian Luar Negeri China dalam sebuah pernyataan.
”Konsensus universal komunitas internasional yang mengikuti prinsip ’satu China’ juga tak akan berubah.” Sementara China bergeming untuk mengakui Taiwan sebagai negara, Menlu AS Mike Pompeo dan Menlu Jepang Toshimitsu Motegi memberikan selamat kepada Tsai. Pompeo memuji Tsai yang telah menjaga stabilitas di Selat Taiwan, sedangkan Motegi menyebut Taiwan sebagai mitra dan kawan yang berharga bagi Jepang.
Selama ini, meski tak mengakui Taiwan sebagai negara, AS jadi penyokong persenjataan Taiwan. Lepas dari hubungan ekonomi, ini menjadi bagian dari upaya AS mengimbangi pengaruh China di kawasan.
Sorotan publik
Dinamika politik di kawasan, mulai dari gerakan prodemokrasi di Hong Kong, kemenangan kandidat prodemokrasi dalam pemilihan dewan distrik di Hong Kong, November 2019, hingga kemenangan Tsai di Taiwan, menempatkan Kantor Urusan Taiwan di Pemerintah China di bawah sorotan.
Kritik muncul dari warganet melalui media sosial dan internal Partai Komunis China sendiri. Setelah dinamika politik di atas, menarik dicermati bagaimana kemudian model ”satu negara dua sistem” akan dimainkan China untuk memperluas pengaruhnya di kawasan. (AP/REUTERS)