Pemerintah Jepang mendesak agar mantan pemimpin Nissan-Renault, Carlos Ghosn, kembali ke Jepang dan mempertanggungjawabkan kasusnya di pengadilan.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
TOKYO, KAMIS — Jepang berkeras mantan pemimpin Nissan-Renault, Carlos Ghosn, harus kembali dan diadili di Jepang. Tokyo kini mencari cara untuk mengekstradisi Ghosn yang melarikan diri ke kampung halamannya, Lebanon.
”Jika mau membuktikan tidak bersalah, dia harus menghadapi persidangan adil di sini. Itu tanda sebagai warga baik dan pebisnis yang baik,” ujar Menteri Kehakiman Jepang Masako Mori, Kamis (9/1/2020), di Tokyo, Jepang.
Ghosn ditangkap akhir 2018 karena dituduh menghindari pajak, membuat laporan palsu soal gaji dan aneka fasilitas yang diterima sebagai pemimpin Nissan-Renault, serta memanfaatkan keuangan perusahaan untuk kepentingan pribadi.
Desember 2019, ia melarikan diri dengan menyelinap di pesawat carteran dari Tokyo. Pesawat itu diduga singgah di Turki sebelum mendarat di Beirut, Lebanon. Otoritas Lebanon menyatakan, Ghosn masuk ke negara itu secara resmi dengan paspor Perancis. Padahal, selain harus membayar jaminan 1 miliar yen, ia juga harus menyerahkan seluruh paspornya kepada otoritas Jepang. Selain Perancis, ia punya paspor Lebanon dan Brasil.
Mori mengecam Ghosn karena melanggar ketentuan tahanan kota dan meninggalkan Jepang tanpa menunjukkan paspor di perbatasan. ”Melanggar semua aturan internasional yang diikuti semua orang,” ujarnya seraya menekankan bahwa Jepang sangat serius atas kejahatan keuangan seperti yang diduga dilakukan Ghosn.
Pelarian diri Ghosn, kata Mori, adalah kejahatan tambahan dan tidak ditoleransi di negara mana pun. Ia menegaskan, sistem hukum Jepang hanya menangkap seseorang berdasarkan surat perintah yang disetujui hakim. Para jaksa Jepang hanya mendakwa jika ada bukti kuat sehingga tingkat kesuksesan tuntutan mencapai 99,9 persen.
Menteri Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga menyebutkan, Jepang akan bekerja sama dengan masyarakat internasional soal ekstradisi Ghosn. Tokyo telah menegaskan kepada Beirut bahwa Ghosn meninggalkan Jepang secara ilegal.
Pembelaan Ghosn
Dari Beirut, Ghosn menyatakan siap menghadapi persidangan yang adil di mana pun. ”Saya tidak melarikan diri dari hukum. Saya meninggalkan Jepang karena ingin keadilan,” ujarnya.
Ghosn menuding sistem hukum di Jepang amat buruk dan diperlakukan buruk selama ditahan. ”Saya merasa diperlakukan seperti hewan,” ucapnya seraya menekankan bahwa hampir mustahil bisa disidang secara adil di Jepang.
Keputusan lari dari Jepang dinyatakan sebagai yang tersulit sepanjang hidupnya. Ia memutuskan untuk mencari cara melarikan diri setelah hakim terus-menerus menunda permohonan tahanan kota. Sebelum itu, ia telah ditahan selama empat bulan.
Saya tidak melarikan diri dari hukum. Saya meninggalkan Jepang karena ingin keadilan.
Ia menampik semua tuduhan dan menyatakan semua itu tidak benar serta tanpa dasar. ”Saya seharusnya tidak ditangkap. Saya tidak di atas hukum dan siap untuk mengungkap kebenaran serta membersihkan nama saya,” lanjutnya.
Ghosn juga meminta maaf kepada warga Lebanon karena pernah melawat ke Israel pada 2008. Lawatan itu dalam kapasitasnya sebagai pemimpin Renault. Di Lebanon, lawatan ke Israel adalah sebuah kejahatan. Secara teknis, Israel dan Lebanon dalam keadaan perang dan Lebanon melarang warganya ke Israel.
Reformasi hukum
Seorang pengacara di Tokyo, Seiho Cho, menanggapi tuduhan Ghosn soal sistem hukum Jepang yang buruk. ”Mereka benar-benar yakin semua berfungsi mangkus dan benar,” ujar pengacara yang sejak lama mendesak reformasi sistem peradilan Jepang.
Ia menyebutkan, setiap orang yang menyangkal bersalah akan ditahan lebih lama. Terkadang masa penahanan sampai ratusan hari, dan dilarang berkomunikasi dengan keluarga. ”Bahkan, jika akhirnya dibebaskan, mereka (terdakwa) sudah kalah,” ujarnya seraya menyebut setiap tersangka bisa kehilangan pekerjaan, nama baik, bahkan keluarga.
Dalam sejarah hukum Jepang, ada beberapa kesalahan dakwaan seperti dialami Iwao Hakamado yang dipenjara selama 48 tahun. Ia dibebaskan pada 2014 setelah uji DNA menunjukkan ia bukan pelaku. Selama masa penahanan dan penjara, ia dipukuli dan dirundung penyidik yang memaksanya mengaku membunuh salah satu anggota keluarga.
Kasus lain dialami Mark Karpeles, warga Perancis. Ia ditahan 11 bulan dengan dakwaan penggelapan dan pemalsuan karena perusahaan uang digitalnya bangkrut. Ia berkeras menjadi korban peretasan. Walakin, penyidik tidak menerima pengakuan itu dan ia ditahan berbulan-bulan. (AP/REUTERS)