Indonesia Akan Lebih Intensif Hadir di Laut Natuna Utara
Presiden Joko Widodo menegaskan tak akan berkompromi soal hak berdaulat Indonesia di ZEE Natuna Utara. Kehadiran Indonesia akan lebih diintensifkan di kawasan itu.
Oleh
Nina Susilo dan FX Laksana AP
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menghadapi masuknya kapal-kapal nelayan dan kapal Pemerintah China di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, Pemerintah RI mengambil sikap tegas nonkompromi. Indonesia juga akan mengedepankan penegakan hukum serta pendekatan kehadiran yang lebih intensif, baik lewat kapal patroli maupun kapal nelayan.
Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan berkompromi dengan China soal batas negara di perairan Natuna, Kepulauan Riau.
”Saya kira semua statement (pernyataan) yang disampaikan (pejabat pemerintah) sudah sangat baik, bahwa tidak ada yang namanya tawar-menawar mengenai kedaulatan, mengenai teritorial negara kita,” kata Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin (6/1/2020).
Hingga kemarin masih ada kapal nelayan, kapal penjaga pantai, dan kapal pengawas perikanan China di ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Pada Minggu, mereka berada sekitar 130 mil (240 kilometer) sebelah timur Ranai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau.
ZEE mencakup perairan yang ditarik sepanjang 200 mil dari garis pantai terluar. Di kawasan ini Indonesia memiliki hak berdaulat. Sumber daya alam di ZEE ditujukan secara eksklusif untuk diolah negara pantai pemilik ZEE. Adapun sepanjang 12 mil ditarik dari garis pantai terluar disebut sebagai laut teritorial, atau wilayah kedaulatan negara.
Lima kapal perang RI (KRI) telah dikerahkan untuk meminta kapal China meninggalkan Laut Natuna Utara.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi mengatakan, TNI tidak ingin mengikuti niat provokasi dari kapal penjaga pantai China. Menurut dia, mereka ingin agar Indonesia melanggar hukum internasional.
”Kami tak akan terperangkap provokasi China. Kalau sampai terjadi, kita yang melanggar hukum internasional, kita yang rugi,” ujarnya.
Sisriadi menjelaskan, dalam operasi TNI Angkatan Laut di Laut Natuna Utara saat ini, ditekankan untuk mengedepankan aturan pelibatan berdasarkan hukum nasional ataupun internasional.
Dukungan nelayan
Sekitar 120 nelayan dari wilayah pantai utara (pantura) Jawa menemui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD di Jakarta. Setelah pertemuan, Ketua Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kota Tegal, Jawa Tengah, Riswanto menyatakan, nelayan pantura siap berangkat ke Laut Natuna Utara.
Riswanto mengatakan, selama ini terjadi kekosongan nelayan Indonesia di Laut Natuna Utara sehingga kapal nelayan dan kapal Pemerintah China masuk ke wilayah itu. Hal ini terjadi karena nelayan Indonesia menghadapi sejumlah kendala, yaitu waktu, biaya, dan risiko yang cukup besar.
”Untuk sekali melaut ke Natuna, kami memerlukan waktu 2-3 bulan dengan memakan biaya sekitar Rp 500 juta. Risikonya sangat besar, dan kami tidak akan berani ke sana jika perizinan dan pengamanannya belum siap,” ujarnya.
Menurut Riswanto, nelayan di pantura akan berkoordinasi lebih lanjut terkait jumlah kapal dan nelayan yang hendak diberangkatkan ke Natuna.
Sementara itu, Mahfud menuturkan, pemerintah akan memobilisasi nelayan-nelayan dari sejumlah daerah untuk mengisi kekosongan di Laut Natuna Utara.
”Kami mau memobilisasi nelayan-nelayan dari pantura dan mungkin pada gilirannya dari daerah-daerah lain untuk mengeksplorasi kekayaan laut di sana,” katanya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana juga mendorong agar aktivitas ekonomi Indonesia lebih terlihat di Laut Natuna Utara. Nelayan-nelayan Indonesia perlu difasilitasi menangkap ikan di perairan itu. ”Bahkan, perusahaan-perusahaan yang sudah mendapat konsesi eksploitasi gas diminta untuk segera eksekusi,” kata Hikmahanto.
Ia mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk tidak bernegosiasi dengan Pemerintah China. Bahkan, jika perlu, Presiden Jokowi mengulang bentuk ketegasan Indonesia pada 2016, yakni mengadakan rapat kabinet di atas KRI di Natuna Utara.
Normalkan patroli
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan mengatakan, kapal negara asing yang mencuri ikan di perairan Natuna, yang merupakan bagian dari ZEE Indonesia, akan ditangkap seperti sudah dilakukan selama ini.
Pemerintah Indonesia juga akan menghadapi kapal-kapal China di Laut Natuna Utara, dengan penjaga pantai Indonesia, yakni Badan Keamanan Laut.
”Kami mau menormalkan patroli sehingga lebih proporsional. Kita, sekali lagi, enggak mau perang karena tidak ada konflik di situ. Jadi, untuk apa perang? Kita meningkatkan proporsionalitas patroli saja,” tuturnya.
Dalam pernyataan pers di Jakarta, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mendesak Pemerintah China berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982.
NU mendukung sikap tegas Pemerintah RI terhadap China, termasuk untuk mengusir dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan kegiatan illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di perairan RI.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan, pada prinsipnya, Indonesia dan semua negara di dunia wajib mematuhi UNCLOS. ZEE Indonesia pun mengacu pada UNCLOS. Dengan begitu, China sebagai anggota PBB harus mematuhi dan menghormati aturan main itu.