RCEP dan Penantian pada India
Menjelang akhir 2019, perkembangan menggembirakan muncul dari meja perundingan RCEP. Namun, satu pekerjaan rumah menuntut diselesaikan pada 2020: membujuk India bergabung lagi.
Menjelang akhir 2019, perkembangan menggembirakan muncul dari meja perundingan RCEP. Namun, satu pekerjaan rumah menuntut diselesaikan pada 2020: membujuk India bergabung lagi.
Pada awal November 2019, sebanyak 10 negara ASEAN dan lima negara mitra (Australia, China, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru) mengunci kesepakatan atas 20 bab pokok-pokok pengaturan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) di Bangkok, Thailand. Satu negara perunding, India, menyatakan menarik diri dari RCEP.
Apakah peluang India untuk bergabung dengan RCEP sudah benar-benar tertutup? Jawabannya: tidak. ”Masih ada pembicaraan lagi. Pintu, kan, belum tertutup,” kata Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi kepada Kompas, 17 Desember 2019. Perundingan mengenai beberapa isu yang masih menjadi masalah dengan India akan dilanjutkan secara paralel sampai penandatanganan RCEP yang ditargetkan, November 2020.
Retno mengungkapkan, RCEP jadi bagian dari pembahasan antara dirinya dan Menlu India Subrahmanyam Jaishankar dalam pertemuan bilateral di New Delhi, pertengahan Desember lalu. Negosiasi RCEP juga menjadi bahasan Retno dengan Menlu China Wang Yi dalam pertemuan bilateral di Madrid, Spanyol, dua hari kemudian. ”Menlu China, menurut rencana, juga akan ke New Delhi,” ujar Retno.
Sebagai koordinator Komite Negosiasi Perdagangan RCEP, Pemerintah Indonesia berkomitmen mempertahankan 16 negara perunding. Strategi pendekatan terhadap India menjadi penentu. ”India bukan tidak masuk RCEP, tetapi belum masuk RCEP. Kita memulai kebijakan ini ber-16 dan saya ingin mengakhirinya ber-16 juga,” kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo.
Iman akan berkonsultasi dengan ASEAN untuk meminta klarifikasi India, Januari 2020. Secara keseluruhan, negara perunding RCEP sepakat untuk membahas poin-poin keberatan India. Hingga 4 November 2019, ada 225 pasangan bilateral yang mencakup perundingan barang dan jasa serta investasi. Sekitar delapan pasangan bilateral di antaranya masih berada di zona merah atau belum mencapai titik temu.
Rancangan atau draf teks perjanjian RCEP yang terdiri dari 20 bab, lampiran-lampiran, dan preambul, telah disepakati oleh 15 negara, kecuali India. Iman menargetkan, isu akses pasar dengan India selesai pada Februari 2020. Dalam lini masa yang disusun, negara-negara perunding akan menetapkan rencana kerja terkait persiapan penandatanganan perjanjian RCEP.
Menurut data yang dihimpun Kementerian Perdagangan, jika terdiri dari 16 negara, RCEP akan mencapai 48 persen dari populasi dunia. RCEP juga memiliki kekuatan sebesar 42 persen dari penanaman modal asing langsung (FDI) global dan 33 persen produk domestik bruto dunia.
Bagi Indonesia, negara-negara anggota RCEP berperan strategis dalam investasi dan perdagangan. Sebanyak 71,66 persen dari total FDI di Indonesia pada 2018 berasal dari negara-negara anggota RCEP.
China dan isu domestik
Negara-negara lain yang tergabung dalam RCEP, terutama China, memang menjadi bahan pertimbangan serius bagi India. Hal itu dihadapkan dengan kesiapan India secara domestik. India menarik diri dari kesepakatan RCEP pada menit terakhir di tengah kekhawatiran bahwa kesepakatan itu akan memberi jalan bagi gempuran impor lebih murah dari negara- negara seperti China. New Delhi tidak ingin, gara-gara RCEP, industri mereka tak kompetitif; petani, bisnis, pekerja, dan konsumen di negeri mereka merugi.
Defisit perdagangan dengan China menyumbang sekitar 50 persen dari total defisit perdagangan India. Kesenjangan telah tumbuh sangat besar sejak aksesi China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2001. India sudah mengimpor sejumlah besar produk perkebunan dari negara-negara anggota RCEP, seperti Vietnam (223 juta dollar AS selama 2018-2019) dan Indonesia (86 juta dollar AS pada 2018–2019). Impor tambahan karena pengurangan tarif akan jauh lebih rendah dari yang diharapkan selama produsen India dirangsang untuk meningkatkan efisiensi pertanian.
Kepala Program Studi Strategis Observer Research Foundation di New Delhi dan profesor hubungan internasional di King’s College London, Harsh V Pant, dalam analisisnya di majalah Foreign Policy menilai, manufaktur India belum siap menghadapi persaingan dari luar. Hal itu berkaitan dengan kegagalan negeri itu melakukan reformasi di ranah domestik.
Diuraikan bahwa hasil manufaktur India stagnan pada 15 persen dari PDB selama beberapa tahun meskipun ada upaya untuk meningkatkan pangsanya. Pabrikan India menghadapi kendala pada sisi penawaran, seperti kurangnya infrastruktur yang layak akibat jalan buruk dan kekurangan energi yang biasa terjadi.
Menurut survei ekonomi India tahun 2018, biaya logistik di negara tersebut diperkirakan 13-14 persen dari PDB dibandingkan dengan sekitar 8 persen di negara-negara maju. Sementara undang-undang ketenagakerjaan yang tidak fleksibel melemahkan perusahaan untuk tumbuh melampaui ukuran yang terbatas.
Namun, ekonom pada Birla Institute of Management Technology, India, Khanindra Ch Das, dalam pandangannya di East Asia Forum menilai, ketakutan India akan lonjakan impor mungkin berlebihan. Defisit perdagangan India dengan negara atau blok negara mana pun seharusnya tidak menjadi satu-satunya kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan perjanjian perdagangan bebas.
Kekhawatiran tentang lonjakan impor yang berdampak buruk pada sektor manufaktur India mungkin memiliki dasar, tetapi tidak memberikan pengaturan yang telah ditetapkan RCEP untuk menghadapinya. Sejak liberalisasi ekonomi India dimulai pada 1991, daya saing industri India telah meningkat signifikan. India telah mengembangkan kapabilitas nilai tambah di berbagai industri, termasuk elektronik, farmasi, mobil dan beberapa layanan.
”Industri India perlu menerima RCEP sebagai tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing global serta memobilisasi pemerintah untuk menghilangkan hambatan di dalam negeri terkait dengan hal itu,” kata Khanindra.
Perdana Menteri India Narendra Modi dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-3 RCEP menegaskan, India masih memiliki ganjalan tentang kepentingan inti yang signifikan yang masih belum terselesaikan. Disebutkan tentang dampak yang ditimbulkan jika India bergabung dengan RCEP terhadap kehidupan dan mata pencarian warga India, khususnya kelompok masyarakat yang rentan.
Modi mengutip nasihat Mahatma Gandhi untuk mengingat wajah yang paling lemah dan paling miskin sebelum mengambil keputusan: apakah langkah-langkah yang dipilih berguna bagi mereka.