Pengadilan Filipina Nyatakan Vonis Bersalah pada Otak Kasus Pembantaian Politik di Filipina Tahun 2009
Pengadilan Filipina menyatakan vonis bersalah terhadap 43 tersangka, termasuk otak kasus pembunuhan politik yang menewaskan 58 orang, termasuk 32 wartawan di Filipina tahun 2009.
Oleh
Elok Dyah Messwati
·4 menit baca
MANILA, JUMAT — Pengadilan Filipina, Kamis (19/12/2019), menyatakan vonis bersalah terhadap 43 tersangka, termasuk otak kasus pembantaian politik di Filipina tahun 2009. Pembunuhan massal tersebut menewaskan 58 orang, termasuk 32 wartawan.
Jaksa penuntut semula bersikukuh bahwa ada 58 orang terbunuh. Akan tetapi, pengadilan pada Kamis kemarin menyatakan hanya ada 57 korban. Perbedaan jumlah korban itu karena jenazah seorang pekerja media, Reynaldo Momay, tidak pernah ditemukan.
Hakim Jocelyn Solis-Reyes menghukum delapan anggota keluarga Ampatuan, termasuk mantan Wali Kota Datu Unsay, Andal Ampatuan Jr, yang disebut sebagai otak kasus tersebut karena dia mengawasi dan memimpin pembunuhan 58 orang itu.
Sebanyak 20 orang lainnya dihukum penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Namun, waktu mereka dipenjara dibatasi hingga 40 tahun. Ini adalah hukuman maksimum yang diizinkan oleh hukum Filipina. Mereka juga diperintahkan untuk memberikan kompensasi kepada keluarga korban.
Selain vonis tersebut, hakim juga membebaskan lebih dari 50 polisi dan anggota keluarga Ampatuan lainnya dengan alasan kurangnya bukti, sementara 15 orang lainnya dihukum 6-10 tahun penjara dengan tuduhan sebagai kaki tangan.
Tepuk tangan dan sorak-sorai terdengar di ruang sidang di mana beberapa kerabat korban tewas ikut mendengar pembacaan vonis hakim setebal 761 halaman.
”Ini adalah kemenangan parsial,” kata Esmael Mangudadatu, yang kehilangan istri, saudara perempuan, seorang bibi, dan banyak pendukungnya dalam pembantaian massal pada 23 November 2009. Esmael Mangudadatu merupakan salah satu kandidat gubernur Provinsi Maguindanao saat pembantaian terjadi.
Pihak Mangundadatu dan keluarga korban menanggapi keputusan hakim tersebut dengan beragam tanggapan, tetapi mereka menyayangkan karena puluhan terdakwa dibebaskan, serta 80 tersangka belum ditangkap. Keluarga para korban dan pengawas media menyambut baik vonis hukuman itu, tetapi mereka mengatakan bahwa perjuangan untuk keadilan masih jauh dari selesai.
Persaingan keras
Pembunuhan massal tersebut disebabkan persaingan keras antara dua kandidat gubernur Provinsi Maguindanao. Andal Ampatuan Jr saat itu berencana menggantikan ayahnya, Andal Ampatuan Sr, menjadi gubernur Provinsi Maguindanao.
Di lain pihak, Esmael Mangudadatu juga berniat mencalonkan diri sebagai kandidat gubernur Provinsi Maguindanao. Mangudadatu pun mengirim istri dan dua saudara perempuannya untuk mengajukan pencalonan dirinya sebagai gubernur Provinsi Maguindanao. Bersama sejumlah pendukung Mangudadatu dan puluhan wartawan, mereka pun berangkat untuk mengajukan pencalonan diri Mangudadatu, sedangkan para wartawan ikut dalam rombongan itu untuk meliput.
Dalam perjalanan, konvoi rombongan tujuh mobil itu dihadang orang-orang bersenjata yang memblokade perjalanan mereka. Mereka kemudian digiring ke bukit, dan kemudian dihujani tembakan. Sebanyak 58 orang tewas, termasuk 32 wartawan.
Ini adalah peristiwa terburuk bagi dunia media di Filipina. Para korban pembunuhan ini kemudian dimakamkan secara massal berikut kendaraan mereka. Klan Ampatuan, yang sampai saat kasus itu terjadi masih memerintah Provinsi Maguindanao, diizinkan untuk membangun milisi bersenjata lengkap oleh Presiden Filipina saat itu Gloria Arroyo.
Milisi bersenjata itu berfungsi untuk menghadapi pemberontakan kelompok militan Islam yang ada di wilayah tersebut. Klan Ampatuan menolak tuduhan telah melakukan pembunuhan massal tersebut. Namun, bukti-bukti mengarah pada mereka. Selama tahun-tahun penyelesaian, kasus ini terus ditunda, mantan Gubernur Provinsi Maguindanao Andal Ampatuan Sr dan tujuh terdakwa lainnya meninggal dunia, sementara beberapa saksi terbunuh.
Keadilan parsial
Peneliti Human Rights Watch Filipina Carlos Conde menyebut, penjatuhan vonis hakim pada Kamis kemarin sebagai ”keadilan parsial” karena hakim membebaskan lebih dari 50 tersangka dan 80 orang tersangka lainnya yang masih belum ditangkap.
Serikat media di Filipina juga memberikan tanggapan serupa. ”Keluarga korban telah memenangkan kemenangan besar hari ini, tetapi mereka tetap dalam bahaya,” kata Ketua Serikat Wartawan Nasional Filipina Jose Espina.
Direktur Regional Amnesty International Nicholas Bequelin menyebut, putusan hakim tersebut sebagai langkah kritis menuju keadilan bagi korban. Peristiwa pembantaian ini merupakan salah satu peristiwa terburuk bagi jurnalis dalam sejarah di Filipina.
Salvador Panelo, juru bicara Presiden Filipina Rodrigo Duterte, mengatakan, keputusan hakim tersebut harus dihormati dan pembunuhan massal seperti itu tidak boleh terulang lagi. Lebih dari 80 orang dari 197 tersangka masih buron, termasuk 12 anggota klan Ampatuan. Ini menimbulkan kekhawatiran para saksi dan keluarga korban bahwa hidup mereka mungkin tidak akan pernah aman. (AFP/AP/REUTERS)