Pascapemilu, Inggris masih harus menuntaskan beragam kesepakatan untuk betul-betul lepas dari Uni Eropa. Ada beragam isu penting dan strategis yang menanti, antara lain isu kesepakatan perdagangan dan keamanan.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Hasil pemilu Inggris yang memenangkan Partai Konservatif yang dipimpin Perdana Menteri Boris Johnson menunjukkan lebih banyak warga Inggris yang tidak menyukai ketidakpastian. Banyak yang merasa lebih baik memilih keluar dari Uni Eropa atau Brexit ketimbang bertahun-tahun ada dalam ketidakjelasan. Dengan mengantongi 365 dari 650 kursi di DPR Inggris, Johnson yakin akan bisa memenuhi tenggat waktu Brexit pada 31 Januari 2020. Selain itu, kemenangan kubu Konservatif dengan meraih mayoritas kursi di parlemen akan membuat Pemerintah Inggris lebih stabil.
Johnson tentu tidak mau berlama-lama terpasung dengan isu Brexit yang hanya akan memperparah perpecahan di antara masyarakat Inggris, pro-Brexit dan anti-Brexit. Ia berjanji akan mendengarkan aspirasi dari mereka yang menentang Brexit dan berjanji akan memprioritaskan peningkatan layanan publik seperti investasi, layanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.
”Setidaknya sekarang jelas. Sebenarnya saya tidak ingin Brexit, akan tetapi setidaknya sekarang kita tahu posisi kita di mana dan Brexit pasti terjadi,” kata pengacara Gordon Hockley di London.
Namun, bagi Steve Bray (50), demonstran yang sejak dua tahun lalu meneriakkan ”Stop Brexit” di depan gedung parlemen, hasil pemilu itu bukanlah akhir dari perjuangannya. Ia akan tetap berunjuk rasa di depan parlemen.
”Saya akan tetap berjuang dan jutaan orang pasti juga akan begitu. Selama berada di dalam UE, kita masih punya harapan,” ujarnya.
Parlemen Inggris akan bertemu, Selasa mendatang, dan Johnson akan menyerahkan undang-undang yang dibutuhkan untuk meratifikasi proposal Brexit yang dibahas bersama UE pada Oktober lalu. Jika tak ada aral melintang, proposal itu akan bisa disepakati Januari mendatang.
Meski demikian, Inggris dan UE masih mempunyai pekerjaan rumah untuk menyelesaikan isu perdagangan dan keamanan. Proses ini yang diperkirakan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sampai saat ini UE masih rekan dagang sekaligus pasar terbesar bagi Inggris. Untuk urusan ini, kemenangan Johnson hanyalah awal permulaan dari perjuangan panjang.
UE mengingatkan kesepakatan baru yang dicapai nanti harus memegang teguh nilai dan norma Eropa. Sejak awal Johnson menjanjikan kesepakatan perdagangan bebas yang baru dengan UE serta Amerika Serikat. UE berharap perundingan perdagangan dengan Inggris akan dimulai pada Maret mendatang.
Periode transisi bisa memakan waktu paling tidak 1 atau 2 tahun. Pihak UE bersikeras tidak akan mau menyepakati perdagangan dengan Inggris tanpa ketentuan yang jelas untuk menjamin kompetisi yang adil.
Johnson menjanjikan kesepakatan perdagangan bebas yang baru dengan UE serta Amerika Serikat.
Permintaan UE akan lebih banyak pada isu ketentuan standar ketenagakerjaan dan lingkungan. Selain itu, kepastian bahwa Inggris tidak akan menjual produknya di pasar UE dengan harga rendah.
Jika Johnson tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan UE pada akhir tahun depan, dan menolak untuk menegosiasikan batas waktunya sendiri, hasilnya tetap tidak akan ada cerita Inggris bercerai dengan UE.
Apabila ini terjadi, Inggris akan berada dalam posisi rawan karena pemutusan hubungan dagang dengan UE yang tiba-tiba akan membahayakan perekonomiannya. Di sisi lain, bila semua proses berjalan mulus, Inggris akan menjadi kekuatan ekonomi di kawasan. Kanselir Jerman Angela Merkel bahkan menyebut Inggris akan menjadi kompetitor ekonomi yang terdekat pasca-Brexit.
Tahap awal
Meski memenangi pemilu, Direktur Institut Kebijakan Publik di London School of Economics, Tony Travers, kepada The Guardian, mengatakan, sebenarnya Johnson tidak mau meninggalkan UE karena prosesnya tidak semudah membalikkan tangan. Namun, ia sekarang ada di posisi harus mewujudkan Brexit.
Satu hal yang harus diingat adalah Inggris akan menghadapi banyak tantangan pada masa depan. Setelah kesepakatan Brexit disetujui dan diratifikasi Januari mendatang, Inggris harus bergelut lagi dengan proses perundingan yang lebih rumit.
Tantangan terbesar Johnson nantinya bukan di isu politik, tetapi waktu karena Johnson sudah telanjur mengumbar janji Brexit segera selesai. Direktur Program Brexit di lembaga kajian Institut Pemerintahan Joe Owen mengingatkan, situasi UE dinamis. Proses negosiasi dan ratifikasi akan membutuhkan waktu lama, apalagi implementasi dan menciptakan sistemnya. ”Proses ini yang akan membutuhkan waktu sangat lama,” kata Owen.
Tantangan Johnson dan kubu Konservatif yang lain adalah kebangkitan nasionalis di Skotlandia. Pada satu sisi, Konservatif yakin, Brexit dapat mengembalikan situasi politik ke kondisi normal. Namun, beberapa tahun ke depan Inggris akan didera tantangan berat, khususnya dalam upaya untuk mempertahankan Skotlandia agar tetap ada di dalam keluarga besar Inggris Raya. Bisa jadi, pasca-Brexit, Skotlandia akan mengajukan referendum kemerdekaan. (REUTERS/AFP/AP)