Melalui Aplikasi Safe Travel, Kementerian Luar Negeri berupaya melayani WNI di luar negeri. Lewat teknologi pemerintah berupaya menjaga agar WNI dapat bepergian dengan aman dan nyaman.
Oleh
Elok Dyah Messwati
·7 menit baca
ARSIP PRIBADI
Ertama Oktavianus Purba saat backpacking di Turki pada April 2019. Dia kehilangan ransel berisi paspor, uang, dompet, dan kartu identitas di daerah Taksim, Istanbul.
Sore hari 22 April 2019 di halte Havabus tujuan bandar udara Istanbul di daerah Taksim Istanbul, Turki, seorang backpacker asal Indonesia, Ertama Oktavianus Purba, kebingungan. Satu ranselnya hilang. Padahal, ransel itu berisi paspor, uang 50 euro (Rp 800.000), uang rupiah sebesar Rp 300.000-an, dan uang lira sekitar 300 lira (Rp 700.000). Dompet berisi kartu-kartu dan identitas lainnya juga raib.
Saat mengetahui ranselnya hilang, Ertama yang bekerja di bagian manufaktur sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam produsen ban bagian shipping ini langsung bertanya kepada petugas bus dan mendatangi kantor bus tersebut untuk meminta agar tayangan kamera CCTV diputar kembali. Namun, petugas di kantor bus tersebut tidak bisa memutar rekaman CCTV karena kamera pemantau di bus mati.
Padahal, penerbangan Ertama kembali ke Jakarta malam hari itu juga, sementara paspornya hilang. ”Saya sudah tidak bisa mikir lagi karena rasanya campur aduk antara sedih, lelah, dan takut. Saya coba menenangkan diri,” kata Ertama.
Dia pun mulai mencari solusi dengan menulis permintaan bantuan di komunitas backpacker. Tak lama, dari komunitas itu dia mendapatkan nomor kontak Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Istanbul. Ertama pun segera menelepon dan langsung diangkat. Saat menelepon, ada pilihan darurat yang layanannya 24 jam.
Pasangan suami istri asal Makassar, Sulawesi Selatan, Rachmah Islami dan Irfan Idham, juga pernah mendapatkan masalah saat di luar negeri. Desember 2017, mereka menjalankan ibadah umrah di Arab Saudi, tetapi sebelumnya mereka mengunjungi Palestina dan Mesir. Saat di Mesir itulah mereka baru mengetahui bahwa Rachmah mengandung baru dua minggu. Ibadah umrah pun berjalan lancar. Namun, persoalan muncul saat mereka pulang ke Indonesia.
ARSIP PRIBADI
Suami istri Irfan Idham dan Rachmah Islami saat umrah di Mekkah, Arab Saudi, Desember 2017. Ketika pulang ke Indonesia dan transit di Muscat, Oman, Rachmah mengalami sakit perut dan harus dioperasi di rumah sakit Muscat.
”Saat itu kami naik Oman Air, terbang dari Madinah ke Muscat untuk transit, lalu lanjut dari Muscat ke Jakarta. Saat transit di Muscat itu, istri saya sakit perut dan kami bawa ke klinik bandara. Oleh dokter bandara disarankan untuk dibawa ke rumah sakit karena peralatan klinik tidak lengkap karena istri saya harus di-USG. Pihak Oman Air juga tidak mau menerbangkan istri saya yang dalam kondisi sakit. Akhirnya istri saya dibawa ke rumah sakit di Muscat dan tiba di rumah sakit pukul 3 dini hari,” tutur Irfan.
Rachmah pun diperiksa, dan menurut dokter di rumah sakit Muscat, Rachmah mengalami kehamilan di luar kandungan dan harus dioperasi. ”Akhirnya, setelah berpikir seharian, malam harinya istri saya dioperasi,” ucap Irfan.
Kondisi darurat juga pernah dialami trip organizer Mutiara Adinda. Saat itu, ia membawa rombongan wisatawan Indonesia jalan-jalan ke Seoul, Korea Selatan. Seorang peserta turnya yang sudah sepuh mendadak sakit dan harus dirawat di rumah sakit di Seoul.
ARSIP PRIBADI
Mutiara Adinda di depan Po Lin Monastery di Hong Kong, Februari 2014.
Karena peserta tur tersebut berwisata tanpa keluarga, tidak ada yang menjaganya saat dirawat di rumah sakit di Seoul. Persoalan lain yang lebih serius juga pernah dialami Mutiara Adinda. Seorang peserta turnya, dalam kesempatan berbeda, tiba-tiba sakit dan meninggal di Seoul.
Seorang backpacker bernama Rany Anwar juga mengalami hal serupa. Setahun lalu, saat dia menjelajah India bersama beberapa teman, tiba-tiba dia pingsan ketika hendak masuk hostel di Sikkim, India utara. Rany Anwar pun dibawa ke rumah sakit oleh teman-temannya untuk dirawat. Ternyata Rany mengalami stroke. Ia pun dirawat di ruang ICU.
Pertolongan
Ertama pun mendapatkan pertolongan dari KJRI Istanbul. Saat itu, yang mengangkat teleponnya adalah Okky Budiman, staf KJRI Istanbul yang sedang piket. Ertama diminta untuk membuat laporan ke kepolisian Istanbul untuk pembuatan surat perjalanan laksana paspor (SPLP).
Okky Budiman pun turut membantu Ertama untuk mengurus pelaporan ke polisi. ”Kalau dipikir, ini bukan jam kantor yang mengharuskan dia untuk membantu menyelesaikan masalah saya. Tapi, dengan senang hati dia mau membantu saya dan mengurus hingga penerbitan SPLP keesokan harinya, padahal 23 April itu adalah hari libur nasional di Turki dan semua kantor, termasuk KJRI, tutup. Dia juga menawarkan untuk menginap di penginapannya dan memastikan bahwa SPLP saya bakal terbit keesokan harinya,” papar Ertama.
Karena kejadian kecopetan itu, Ertama harus mengubah jadwal penerbangannya untuk keesokan hari dan membayar lebih mahal dari tiket promo yang ia dapatkan sebelumnya. Namun, dia merasa mendapat hikmah dari kejadian tersebut.
Sementara Irfan dan Rachmah juga mendapatkan pertolongan. Biaya operasi dan penggantian tiket diurus oleh Oman Air. Pihak travel yang mengurus umrah mereka mengirimkan orang untuk mendampingi mereka. Irfan pun akhirnya bisa membeli baju didampingi pihak travel karena kopernya sudah tiba di Jakarta terlebih dahulu, sementara ia tertinggal di Muscat selama lima hari. Adapun KBRI di Muscat membantu membuat surat agar pasangan suami istri tersebut bisa keluar imigrasi Muscat dan kembali ke Indonesia.
Begitu pula yang dialami peserta tur Mutiara Adinda. ”KBRI di Seoul menulis surat kepada Kedutaan Besar Korsel di Jakarta agar mempermudah visa kunjungan untuk keluarga peserta tur yang ingin merawat keluarganya yang sedang sakit di rumah sakit Seoul. Untuk peserta tur yang meninggal, KBRI Seoul membuat surat untuk membantu mengeluarkan jenazah dari rumah sakit dan memulangkannya ke Indonesia,” kata Mutiara Adinda.
ARSIP PRIBADI
Rany Anwar di depan Victoria Memorial Hall di Calcutta, India.
Untuk Rany Anwar yang sakit di Sikkim, India, KBRI New Delhi, India, juga mengirimkan staf ke Sikkim. Beruntung saat itu Rany Anwar sudah sadar dan adik laki-laki dari Rany Anwar pun telah tiba di India. KBRI India pun membantu Rany Anwar untuk pulang. Mereka terbang ke Gantok, dan lanjut terbang ke Calcutta.
”Pelayanan KBRI sangat baik. Saya ditunggui sampai pulang. Di Calcutta itu kami berpisah. Staf KBRI kembali ke New Delhi, saya terbang dari Calcutta ke Kuala Lumpur dan lanjut ke Jakarta,” ujar Rany Anwar.
Aplikasi ”Safe Travel”
Untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi WNI saat di luar Indonesia itulah, pemerintah membuat aplikasi ”Safe Travel”. Judha Nugraha, Direktur Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, mengatakan, salah satu tanggung jawab pemerintah adalah melindungi WNI saat berada di luar negeri, baik yang menetap maupun yang sedang melakukan perjalanan atau kunjungan singkat.
”Dalam setahun, ada 9 juta kunjungan singkat ke luar negeri untuk berbagai tujuan. Ini tantangan besar, bagaimana kita bisa hadir untuk melindungi masyarakat. Salah satu inovasinya adalah penggunaan teknologi digital. Karena itu, kita gunakan aplikasi Safe Travel yang bisa digunakan WNI saat berada di luar negeri. Harapannya, masyarakat bisa merasakan kehadiran negara. Dengan berbagai macam fitur di aplikasi Safe Travel ini, kami harapkan masyarakat dapat informasi terlebih dahulu mengenai situasi negara yang akan dikunjunginya sehingga bisa melakukan langkah persiapan,” tutur Judha Nugraha.
Jika memerlukan sesuatu, WNI pun bisa menghubungi perwakilan Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal RI terdekat karena ada fitur Emergency Button. ”Saat keadaan darurat, bisa langsung menghubungi perwakilan terdekat. Harapan kita, aplikasi Safe Travel ini bisa dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat saat ke luar negeri sehingga perjalanan mereka aman dan nyaman,” lanjut Judha Nugraha.
ARSIP PRIBADI
Imelda Wati saat backpacking ke Purto Natales, Chile, pada November 2019.
Menanggapi kehadiran aplikasi Safe Travel, pejalan mandiri Imelda Wati menuturkan pengalamannya saat tiba di kota Santiago, Chile, dia melaporkan diri melalui aplikasi Safe Travel.
”Untuk balasan e-mail-nya jangan terlalu lama. Saat itu ada demo besar di Santiago, Chile. Saya lapor saat tiba di Santiago Airport, saya e-mail ke Safe Travel, tapi baru dibalas lima hari kemudian, padahal saat terima balasan dari Safe Travel itu saya sudah tiba di Argentina. Di Santiago saat itu banyak penerbangan dibatalkan karena demo nasional. Untuk Sky Airlines, pesawat saya yang ke Punta Arenas, aman, tidak dibatalkan. Masukan bagi Safe Travel agar replye-mail-nya jangan terlalu lama,” tutur Imelda.
Saat Imelda berada di Lima, ibu kota Peru, juga sedang ada demonstrasi. ”Untungnya Pak Dewanto dari KBRI Lima selalu memantau saya selama saya berada di Peru. Balasan e-mail-nya juga cepat dan selalu berkomunikasi dengan WA,” lanjutnya.
”Bagaimanapun, aplikasi Safe Travel ini adalah upaya negara untuk hadir melindungi WNI saat sedang berada di luar Indonesia. Namun, kita pun harus menjaga diri kita. Seperti, misalnya, kita bepergian ke Hong Kong, hindari saja tempat-tempat demonstrasi dan memilih lokasi wisata yang aman, atau begitu mendarat di Hong Kong, langsung saja pergi ke Makau,” kata Mutiara Adinda memberikan tips bagi pejalan mandiri.