Meninjau Kembali Nasionalisme dan Persatuan Indonesia
Banyak sekali segi yang bersinggungan dengan kehidupan orang Tionghoa yang pantas dibicarakan.
Oleh
Harry Bhaskara dari Melbourne, Australia
·4 menit baca
HARRY BHASKARA
Peserta konferensi mendengarkan presentasi pemrasaran utama, antropolog Karen Strassler dari AS (tidak tampak), dalam konferensi tentang Tionghoa Indonesia di kampus Clayton, Universitas Monash, Melbourne, Australia, 1 Oktober 2019.
Pembicaraan soal orang Tionghoa hampir selalu diadakan pasca-kerusuhan rasial, tutur Ariel Heryanto, profesor di Universitas Monash yang berperan sebagai ketua penyelenggara konferensi ”Sejarah dan Identitas Orang Tionghoa Indonesia” di Universitas Monash, Melbourne, Australia, 1-3 Oktober lalu.
”Ini yang membuat saya merasa tidak nyaman. Seakan- akan kita hanya pantas membicarakan topik ini dalam kaitannya dengan tindak kekerasan. Padahal, banyak sekali segi yang bersinggungan dengan kehidupan orang Tionghoa yang pantas dibicarakan,” kata Ariel saat ditemui di sela-sela konferensi.
Seni rupa, batik, bahasa, dan sejarah hanyalah beberapa topik terkait orang Tionghoa yang dibicarakan di konferensi tersebut. Dua pembicara utama dan sekitar 50 peserta yang membawakan paper tampil dalam konferensi di kampus Clayton, Universitas Monash itu.
Saya sedang menyiapkan sebuah kritik terhadap nasionalisme.
Ariel mengatakan, kini saat yang tepat untuk membicarakan topik tersebut. Sudah lama topik itu tidak dibicarakan. ”Saya mengadakan (konferensi) ini juga karena beberapa pertimbangan, antara lain, karena saya sedang meneliti masalah dekolonisasi dan sejarah terbentuknya nasion (Indonesia). Saya sedang menyiapkan sebuah kritik terhadap nasionalisme,” kata Ariel, Direktur Monash Herb Feith Indonesia Engagement Centre, yang menyelenggarakan konferensi tersebut.
”Dalam proses studi saya tentang proses terbentuknya nasion, berkali-kali saya temukan bahan yang mengejutkan tentang peran orang Tionghoa yang tidak ada dalam proses nasionalisasi, tetapi ada dalam kompleksitas nasionalisasi.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Deretan lampion dari warga digantung di langit-langit saat peringatan Makco Kwan Im Mencapai Nirwana di Kelenteng Tien Kok Sie, kawasan Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Kamis (17/10/2019). Ritual untuk memperingati pencapaian kesempurnaan Dewi Kwan Im yang naik ke Nirwana berlangsung selama dua hari di tempat ibadah tersebut. Dalam masyarakat Tionghoa, Dewi Kwan Im merupakan simbol dari sifat kasih sayang dan belas kasih.
”Yang membuat saya galau adalah nasionalisme di Indonesia itu begitu kuat sehingga pembicaraan tentang orang Tionghoa selalu dalam bingkai nasionalisme seakan-akan orang Tionghoa itu hanya bagus kalau mereka nasionalis kalau mereka seorang feminis, kalau mereka seorang wartawan, tidak perlu itu, Anda tidak harus menjadi seorang nasionalis,” papar Ariel kepada Kompas.
Selain pergulatan dengan arti dan makna nasionalis, kerisauan tentang persatuan Indonesia sering muncul akhir-akhir ini di tengah pergolakan politik yang sering dipicu, antara lain, oleh isu kedaerahan dan agama.
Bingkai plural
Kompas menemui Ien Ang, profesor studi budaya dari Universitas Western Sydney di sela-sela konferensi untuk menanyakan hakikat persatuan Indonesia. Menurut Ien Ang, Indonesia sebenarnya terdiri dari komponen-komponen (compository) yang belum pernah menjelma menjadi masyarakat yang kohesif.
Sifat pluralistik Indonesia itulah yang menjadikan negeri ini sangat hidup dan bergairah.
”Mungkin terlalu keras kalau saya sebut Persatuan Indonesia (yang dicanangkan di awal kemerdekaan) itu direkayasa. Mungkin ’dikonstruksi’ yang lebih tepat,” tutur profesor asal Indonesia bereputasi internasional itu.
Ien Ang menyebutkan, pada awalnya negeri ini memperoleh wilayah dengan batas geografis tertentu sebagai warisan sejarah kolonial. ’Sangatlah diperlukan pemikiran yang mendalam ketika entitas rantai kepulauan ini kemudian berubah menjadi sebuah negara karena di dalamnya sudah terdapat bermacam-macam orang dari kawasan sekitar sebelum bangsa ini terbentuk.
”Karena itu, Indonesia selalu adalah sebuah bingkai yang plural. Orang Tionghoa hanyalah satu di antara bermacam-macam orang itu. Menurut saya, justru sifat pluralistik Indonesia itulah yang menjadikan negeri ini sangat hidup dan bergairah (vibrant),” kata Ien.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Veronica Tan, mewakili perempuan Indonesia dari etnis Tionghoa, hadir pada acara HUT e-21 Komnas Perempuan, Kamis (24/10/2019) di Perpustakaan Habibie & Ainun di Jakarta.
Ditanya tentang sikap sebagian orang Tionghoa yang seolah tak pernah belajar dari berbagai tindak kekerasan yang dialami di masa lalu dengan melanjutkan gaya hidup berlebihan, Ien menjawab, ”Itu pertanyaan yang sulit.
”Karena perubahan tidak tergantung hanya dari komunitas mereka sendiri. Tetapi, saya melihat secercah harapan yang muncul di kalangan anak-anak muda Tionghoa yang sempat disinggung dalam panel diskusi.
”Mereka tahu bahwa mereka orang Tionghoa, tetapi sadar bahwa mereka adalah orang Indonesia juga dan karena itu mereka harus berkiprah seperti orang Indonesia lainnya. Mereka tidak setuju dengan perkembangan seperti pembentukan sekolah khusus bagi orang Tionghoa, kompleks perumahan orang Tionghoa, asosiasi-asosiasi yang hanya beranggotakan orang Tionghoa karena mereka sadar bahwa mereka harus larut dalam masyaraka,” papar Ien.
Otokritik
Mengenai adanya gerakan komunitas Tionghoa di Indonesia untuk mengkritik diri sendiri pada 1900-an, Ien mengatakan, hal itulah yang diharapkan dari sebagian orang Tionghoa yang sangat kaya yang masih enggan meninggalkan sifat yang terlalu mementingkan diri sendiri.
Mereka adalah orang Indonesia juga dan karena itu mereka harus berkiprah seperti orang Indonesia lainnya.
”Kesulitannya, yang menjadi sangat kaya sekarang ini tak terbatas pada orang Tionghoa. Kalau kita melihat negara lain, misalnya Amerika Serikat, 1 persen penduduknya menjadi sangat kaya raya, ini kenyataan yang terjadi di mana-mana dan yang menjadikan dunia ini lebih gawat,” kata Ien.
Susy Ong, dosen Universitas Indonesia, dalam presentasinya mengatakan bahwa masyarakat Tionghoa Indonesia pernah menggugat diri sendiri pada 1910-1920-an. Mereka dengan sadar memerangi sifat-sifat buruk dalam diri mereka, seperti sikap mementingkan diri sendiri, tinggi hati, suka bertengkar, dan acuh tak acuh terhadap nasib orang lain.
Ditemui seusai diskusi, Susy mengatakan, gugatan terhadap diri-sendiri di Indonesia itu terjadi karena pengaruh gerakan Kebudayaan Baru di Tiongkok ketika itu, termasuk gerakan anti-Konfusianisme, yang dipelopori anak-anak muda yang sadar bahwa mereka harus meninggalkan sikap permusuhan di antara mereka sendiri dalam menghadapi perlakuan buruk Jepang pada China saat itu.
”Tetapi, sekarang China saja sudah menjadi sangat kaya. Panutan itu hilang sudah,” ujar Susy. Dosen kajian strategi dan global ini menyarankan agar masyarakat Tionghoa di Indonesia belajar tentang apa yang terjadi di negara lain dan belajar tentang masa lalu. Hal ini penting dalam menghadapi masa yang penuh ketidakpastian sekarang ini.