Rp 9,7 Triliun Per Hari dari China

Foto yang diambil pada Jumat (4/10/2019) menunjukkan rombongan turis asal China menikmati keindahan laut dengan menggunakan snorkel di perairan Green Island di Laut Andaman. Kemakmuran karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi membuat warga China mampu berwisata ke berbagai negara di dunia.
China mempertahankan peringkat sebagai sumber pelancong terbanyak sekaligus paling royal. Pelesiran ke luar negeri menjadi kebutuhan warga dari negara terkuat kedua secara ekonomi dan militer itu.
Setiap tahun, ratusan juta warga China berpesiar ke luar negeri. Sebagian melancong dalam kelompok besar dan mengikuti program yang ditetapkan penyedia jasa pelesir. Sebagian lagi berwisata secara mandiri.
Apa pun cara pelesirnya, pelancong China termasuk royal berbelanja. Kantor Pengelolaan Valas (SAFE) China mencatat, para pelancong China menghabiskan 127,5 miliar dollar AS sepanjang semester I-2019. Dengan kata lain, mereka berbelanja rata-rata 696,7 juta dollar AS per hari atau Rp 9,75 triliun per hari.
Hingga 68,8 miliar dollar AS dari seluruh uang itu dihabiskan di Asia. Para pelancong China terutama menyambangi Hong Kong dan Makau. Kementerian Pariwisata China melalui Akademi Pariwisata China (CTA) mencatat 23,7 juta pelancong China menyambangi Hong Kong. Sementara pelancong China ke Makau mencapai 11,7 juta orang. Bagi penduduk China, perjalanan ke Hong Kong dan Makau tetap dihitung ke luar negeri. Sebab, meski Hong Kong dan Makau adalah bagian dari China, kedua wilayah itu menerapkan sistem berbeda dengan China. Paspor China berbeda dengan paspor Hong Kong dan Makau.
Pelancong China juga menyambangi Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan tentu saja Indonesia. Secara khusus, SAFE mencatat Indonesia dalam kelompok negara lokasi proyek Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI), yang diluncurkan Pemerintah China tahun 2013 untuk menghidupkan lagi jalur sutra emas lewat pembangunan infrastruktur dan investasi di Asia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin. Negara-negara dalam koridor prakarsa itu menerima total 14,8 miliar dollar AS. Laporan SAFE tidak memerinci belanja di Asia Tenggara.

Para pemain akrobat asal China tampil pada Pekan Pariwisata China-Sri Lanka di Kolombo, Sri Lanka, 18 Januari 2019.
Ekonom SAFE, Wang Chunying, menyatakan bahwa neraca China untuk sektor pariwisata selalu defisit. Lebih besar belanja pelancong China di luar negeri dibandingkan dengan belanja pelancong asing di China. Jumlah pelancong asing ke China sepanjang paruh awal 2019 tidak sampai 22 juta orang. Wisatawan China yang plesiran ke luar negeri hampir 72 juta orang.
Pelayanan khusus
Neraca China untuk sektor pariwisata juga selalu defisit karena kegemaran wisatawan China gemar berbelanja barang mewah. Beberapa negara Eropa menikmati kegemaran itu. Sejumlah rumah mode hingga produsen arloji mewah di Eropa membuka layanan khusus bagi pelancong China.
Di Paris, ada butik-butik adibusana hingga arloji mewah yang khusus melayani pelancong dari China. Mereka senang karena pelayannya mengerti bahasa China. ”Pelayanan itu membuat mereka nyaman sehingga mau berbelanja lebih banyak,” kata Kepala CTA Dai Bin kepada koran terbitan Hong Kong, South China Morning Post.
Di Paris, ada butik-butik adibusana hingga arloji mewah yang khusus melayani pelancong dari China. Mereka senang karena pelayannya mengerti bahasa China.
SAFE mencatat, pelancong China cenderung semakin banyak berbelanja di tempat yang melayani pembayaran via dompet digital. China memang penggila metode pembayaran non-tunai. Ratusan juta orang China lebih suka membayar dengan dompet digital, seperti lewat AliPay atau WeChat Pay dengan alasan lebih praktis.
Dengan cara pembayaran seperti itu pelancong tidak perlu repot memperkirakan nilai tukar. Mereka tinggal memindai kode bayar di gerai. Selain itu, AliPay dan WeChat Pay juga menyediakan layanan restitusi pajak. Banyak pelancong tidak mau mengurus soal restitusi di negara asing terutama karena alasan merepotkan. Dengan dompet digital, pelancong China tak perlu mengurus hal itu lagi.
Mereka juga tidak perlu membawa uang tunai yang rawan hilang. Transaksi cukup diselesaikan dari ponsel. Memang, tetap ada transaksi tunai atau dengan kartu kredit.

Seorang pelanggan asal China berbelanja di pusat perbelanjaan Harrods di London, Inggris, 10 Desember 2012.
Namun tidak semua negara menerima pembayaran dengan layanan dompet digital dari China. SAFE mencatat, pembayaran dengan kartu kredit dan debit masih mendominasi transaksi para pelancong China di luar negeri. Pembayaran dengan metode ini paling banyak diterima di berbagai tempat. Hanya sebagian kecil transaksi dibayar secara tunai.
Dai Bin mengatakan, nilai belanja pelancong China tahun ini mengejutkan. Nilai belanja pada paruh pertama tahun 2019 sudah hampir menyamai total belanja 2018 yang mencapai 130 miliar dollar AS. Bahkan, nilai belanja paruh pertama 2019 semakin mengesankan apabila dibandingkan dengan total belanja 2017 yang hanya 100 miliar dollar AS.
Nilai belanja pelancong China pada paruh pertama tahun 2019 sudah hampir menyamai total belanja 2018 yang mencapai 130 miliar dollar AS.
Dai Bin menyebut, tentu saja nilai belanja di luar negeri tetap lebih rendah dibandingkan yang dihabiskan pelancong China di dalam negeri atau wisatawan domestik. Sepanjang 2018, wisatawan domestik membelanjakan uang 402 miliar dollar AS.
Pada semester I-2019, pelancong China sudah membelanjakan 358,9 miliar dollar AS. Mengingat 2019 masih panjang, nilai belanja itu diperkirakan terus membengkak.
Masalah
Memang, bukan hanya belanja besar yang menjadi khas wisatawan China. Sejumlah negara keberatan dengan perilaku sebagian pelancong China. Oknum-oknum pelancong China dikenal jorok, berbicara keras-keras, dan tidak tertib.
Selain itu, ada pula dugaan masalah kecurangan biro perjalanan China. Mereka membawa rombongan pelancong ke gerai tertentu dan memaksa mereka berbelanja di sana. Harga barang di gerai itu lebih tinggi dibandingkan gerai lain. Vietnam dan Indonesia pernah dilanda modus itu beberapa waktu lalu. Kini, modus itu sudah tidak terdengar lagi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F508495_getattachmentd34a8262-56ba-46a9-9267-c55f34d69211499878.jpg)
Puluhan wisatawan China tengah menunggu koper dari bagasi di Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Kabupaten Badung, Bali, Selasa (30/1/2018). Mereka merupakan penumpang menggunakan pesawat Garuda Indonesia rute Xian-Denpasar. Ini merupakan rute perdana untuk memperkuat penetrasi peluang pasar China agar tertarik berwisata ke Pulau Bali. Tahun 2017, wisatawan China tercatat sektiar 1,3 juta orang.
Pelancong China, terutama yang pelesir secara mandiri, semakin membaik citranya. Semakin banyak negara berlomba-lomba menarik wisatawan China. Kemudahan visa, ketersediaan penerbangan langsung atau dengan transit minimal, dan adaptasi layanan dompet digital China menjadi cara menarik pelancong China.
”China adalah penyumbang terbesar pariwisata global, baik secara jumlah maupun nilai uang yang dibelanjakan. Angkanya akan terus membesar, seperti terlihat dalam beberapa tahun ini,” kata Dai Bin.
Ia tidak menampik, ada oknum pelancong yang kurang menyenangkan. Walakin, jumlah mereka dinyatakan relatif kecil dibandingkan jumlah total pelancong China. Sembari menegakkan aturan masing- masing agar oknum pelancong jadi tertib, negara-negara didorong tetap membuka pintu bagi pelancong China yang jumlah rata-ratanya di atas 100 juta orang dan tumbuh di atas 10 persen tiap tahun. Banyak negara berlomba mengambil porsi dari kue besar tersebut.