Diaspora Indonesia ikut berjuang menghadapi perubahan iklim melalui berbagai hasil karya mereka. Aksi nyata itu diharapkan bisa menggugah kesadaran kaum muda untuk melindungi Bumi mulai dari negeri sendiri.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diaspora Indonesia ikut berjuang menghadapi perubahan iklim melalui berbagai hasil karya mereka. Aksi nyata itu diharapkan bisa menggugah kesadaran kaum muda untuk melindungi Bumi mulai dari negeri sendiri.
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket, Sabtu (12/10/2019), di Jakarta, mengatakan, komitmen diaspora Indonesia sangat luar biasa terkait pemecahan masalah-masalah global, salah satunya perubahan iklim.
Menurut Piket, diaspora Indonesia mengambil inisiatif dan menciptakan karya-karya hebat sebagai upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap perubahan iklim yang kian bergerak cepat.
”Mereka dituntut untuk mengikuti perubahan iklim yang cepat itu. Mereka kembali ke Indonesia dan menjadi kreator dengan segala ide dan gagasan baru untuk mengatasi persoalan serius itu dari sisi keahlian mereka masing-masing,” ujar Piket dalam Erasmus Day 2019: Today for Tomorrow, Sabtu.
Dalam kegiatan itu, hadir lebih dari 100 alumnus penerima beasiswa Erasmus+ Indonesia. Mereka tidak hanya berkarya di Tanah Air, tetapi juga menjadi diaspora Indonesia di seluruh dunia. Sejak 2004, lebih dari 1.800 pelajar telah menerima manfaat beasiswa tersebut.
Menurut Piket, kaum muda Indonesia memiliki potensi besar dalam penyelesaian beragam masalah. Kehadiran mereka diharapkan bisa menjadi pionir di generasinya.
”Mereka menjadi panutan bagi anak muda untuk terus berkontribusi kepada negeri. Apa yang terjadi ke depan adalah apa yang mereka bangun hari ini,” kata Piket.
Ikut berkontribusi
Erasmus+ Alumni President Indonesia dan Communication and Alumni Engagement Hanif Falah menyebutkan, selama ini, isu perubahan iklim sangat rumit dimengerti kaum muda karena selalu dijelaskan dalam paradigma sains. Akibatnya, kaum muda tidak tertarik untuk menaruh perhatian pada isu krusial tersebut.
”Kami ingin membuat isu perubahan iklim ini menjadi isu yang lumrah dan menunjukkan bahwa itu dekat dengan kita semua, keseharian kita, apa pun pekerjaan kita. Mungkin saja kita bisa jadi climate refugee (pengungsi iklim),” tutur Hanif.
Oleh karena itu, lanjut Hanif, alumni mencoba ikut berkontribusi untuk menghadapi persoalan perubahan iklim. Hasil karya yang dibuat berkaitan dengan lingkungan hidup, seperti penghapusan penggunaan plastik sekali pakai dan pengolahan limbah.
”Harapan kami, ini bisa menjadi katalis. Jadi, ketika kami ada di sini, ikut berkontribusi, mereka aware dengan isu lingkungan dan membangun diskusi. Jadi, teman-teman di sini bisa menjadi influencer bagi teman-teman lain di media sosial,” ucap Hanif.
Outreach and Partnership Ecofunopoly, Erik Mulyana, mengatakan, permainan ecofunopoly—yang tak jauh berbeda dengan monopoli—diciptakan untuk mengenalkan dunia lingkungan kepada anak-anak, kaum muda, atau orang dewasa. Permainan ini ingin mengisi kurangnya alat bantu edukasi tentang lingkungan hidup di Indonesia.
”Permainan seperti monopoli dan semua bahan mainan itu hasil daur ulang. Dadu juga dari kertas daur ulang. Para peserta yang bermain diajak untuk sama-sama peduli dan cinta kepada lingkungan,” kata Erik yang juga menjadi penerima beasiswa Erasmus+.
Sejauh ini, permainan ecofunopoly memiliki tiga tema, yakni kebakaran hutan, pengelolaan sampah, dan emisi karbon. Tulisan-tulisan di permainan tersebut pun ada tiga bahasa, yaitu Indonesia, Jerman, dan Inggris.
Erik menjelaskan, sebenarnya ada kisah menarik di balik munculnya permainan itu. Annisa Hasanah, pencipta permainan ecofunopoly yang juga penerima beasiswa Erasmus, ternyata terinspirasi dari suatu kejadian seorang anak yang buang sampah sembarangan dari angkutan kota ketika dirinya kuliah sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) di Jawa Barat. Ironisnya, tingkah laku anak itu merupakan persetujuan dari orangtuanya.
”Karena itu, orangtua dan anak penting diingatkan. Kalau semua orangtua kayak gitu semua, berarti ada pembiaran. Berarti, tak ada pendidikan terhadap lingkungan sejak dini,” ucap Erik.
Sementara itu, Co-Founder Untuk Bumi Azka Hasana menyampaikan, dirinya aktif memproduksi dan memasarkan barang-barang ramah lingkungan yang menggantikan fungsi plastik sekali pakai di bawah usaha kecilnya, ”Untuk Bumi”.
Dia juga akan membuat laman Untuk Bumi yang berisi usaha-usaha apa saja yang bisa dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim beserta dampak buruk yang terjadi kalau ada pembiaran.