Perdana Menteri Irak Adil Abdul Mahdi, Rabu (9/10/2019), mengumumkan perombakan kabinetnya, menyatakan tiga hari berkabung nasional, dan berjanji mengusut aparat keamanan yang menembak para pengunjuk rasa.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
BAGHDAD, KAMIS — Perdana Menteri Irak Adil Abdul Mahdi, Rabu (9/10/2019), mengumumkan perombakan kabinetnya, menyatakan tiga hari berkabung nasional, dan berjanji mengusut aparat keamanan yang menembak para pengunjuk rasa. Unjuk rasa dan kerusuhan melanda Irak selama lebih dari sepekan, menewaskan lebih dari 110 orang, yang sebagian besar adalah para pengunjuk rasa yang marah dengan merebaknya korupsi, tingginya angka pengangguran, dan buruknya layanan publik.
Pemerintahan Abdul Mahdi telah berusaha menanggapi tuntutan pengunjuk rasa dengan sejumlah langkah paket reformasi. Namun, langkah itu sepertinya belum memuaskan warga Irak. Keputusan perombakan kabinet juga ditanggapi dingin oleh warga setempat. Para anggota baru di kabinet Mahdi juga diperkirakan masih wajah-wajah lama dan elite politik yang tak tersentuh.
”Kami akan meminta parlemen untuk menggelar pemungutan suara dalam perubahan sejumlah menteri,” kata Abdul Mahdi dalam konferensi pers. Ia menambahkan, pemerintah akan menyerahkan nama-nama ratusan pejabat yang korup untuk diselidiki aparat peradilan.
Akibat unjuk rasa dan kerusuhan tersebut, Irak berada di ambang ketidakpastian. Demonstrasi berdarah anti-pemerintahan Baghdad di sejumlah kota di Irak itu telah menyebar ke kantong-kantong warga miskin.
Unjuk rasa mulai pecah di Baghdad pada pekan lalu dan menyebar ke kota-kota di selatan Irak serta mencapai Kota Sadr pada Minggu (6/10/2019). Puluhan orang meninggal dalam unjuk rasa di sana hingga total korban meninggal sejak meletus unjuk rasa menjadi lebih dari 110 orang.
Unjuk rasa tersebut menghancurkan kondisi stabil di Irak yang berlangsung hampir dua tahun setelah negara itu mampu melewati okupasi asing, perang sipil, dan pemberontakan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) antara tahun 2003 dan 2017. Protes kali ini merupakan tantangan terbesar bagi pasukan keamanan sejak NIIS dinyatakan kalah.
Banyak dari pengunjuk rasa adalah pemuda dari pinggiran kota yang merupakan kantong pendukung ulama Moqtada al-Sadr. Unjuk rasa ini menjadi bentuk perlawanan warga yang marah dengan pelayanan publik yang buruk, tingginya pengangguran, dan korupsi aparat pemerintahan.
Al-Sadr, seorang ulama Syiah yang mampu memobilisasi ribuan warga, mendukung para pengunjuk rasa, pekan lalu, dan menuntut pemerintah untuk mundur serta menggelar pemilu. Ini menunjukkan sikapnya yang berseberangan dengan pemerintah yang didominasi politisi dan paramiliter yang didukung oleh Iran.
Setelah puluhan pengunjuk rasa terbunuh di kota Sadr, militer memerintahkan penarikan pasukan dari kawasan tersebut dan untuk pertama kalinya mereka mengakui telah menggunakan kekuatan berlebihan dalam menghadapi demonstrasi. Militer berjanji akan menindak tegas mereka yang terlibat dalam kekerasan selama demonstrasi.
Tanda-tanda meningkatnya eskalasi membuat khawatir pemerintah. Jika unjuk rasa anti-pemerintah kian luas, situasinya berpotensi menjadi demonstrasi berdarah. Kini gelombang protes sudah masuk di daerah tempat pemberontak Syiah pernah menyerang pasukan Amerika Serikat pasca-invasi tahun 2003.
”Akan ada orang-orang yang marah yang kehilangan saudara laki-lakinya atau kerabatnya, mereka akan membalas dendam melalui suku-suku,” kata Sheikh Shiyaa al-Bahadli, pemimpin suku lokal.
”Kami telah mencoba untuk meredam situasi, berbicara kepada pemrotes yang semuanya saudara kami karena jika mulai menggunakan senjata atau partai ikut terlibat, Irak akan tidak terkendali dan akan terjadi lebih banyak pertumpahan darah.”
Bahadli memperingatkan, bagaimanapun, pemerintah harus melakukan reformasi yang nyata. Jika tidak, protes akan terus berlanjut. Ia juga menyalahkan pemerintahan yang korup sebagai penyebab unjuk rasa yang terjadi.
Sejumlah analis sepakat bahwa reformasi pemerintah sepertinya tidak akan memuaskan banyak warga Irak. Mereka juga menyerukan reformasi sistem politik dan kelas penguasa yang dibenci dan telah membuat banyak warga sengsara.
Pemerintah Irak mengeluarkan paket reformasi sosial kedua pada Selasa (8/10/2019) sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan pemrotes anti-pemerintah yang telah berunjuk rasa selama delapan hari dan menewaskan 110 orang serta 6.000 orang terluka.
Paket reformasi yang terdiri atas 13 poin itu disampaikan PM Abdul Mahdi dengan memusatkan diri pada subsidi dan perumahan bagi warga miskin, termasuk pelatihan dan pendidikan bagi anak muda pengangguran.
Setelah rapat kabinet, Abdul Mahdi mengumumkan paket reformasinya itu di media sosial walaupun mayoritas warga tidak bisa melihat paket reformasi yang diumumkan itu. Jaringan internet diputus dan media sosial diblokir selama beberapa hari di Irak.
Pada Rabu (9/10/2019), situasi di Irak mulai mereda. Di Baghdad, misalnya, kehidupan warga berangsur normal. Lalu lintas di jalan-jalan utama kembali macet dan pelajar kembali ke sekolah. Sehari sebelumnya, pihak keamanan mencabut pembatasan di sekitar zona hijau Baghdad, lokasi kantor-kantor pemerintah dan kedutaan besar negara asing. (REUTERS/AFP)