Diplomasi biasanya identik dengan perundingan yang dipenuhi argumentasi dan ketegangan antar delegasi negara. Namun, diplomasi budaya lewat kuliner khas Indonesia menjadi perekat hubungan antar bangsa lewat lidah dan perut.
Nyonya Aslida Rahardjo, istri Duta Besar Soegeng Rahardjo yang merasakan hidup di lima benua dalam rentang tiga dasawarsa, membukukan pengalaman diplomasi kuliner dalam buku Resep Masakan Indonesia di 5 Benua yang diluncurkan di Toko Buku Gramedia Pondok Indah Mall, Minggu (22/9/2019).
“Saya menulis pengalaman saat tinggal bersama keluarga orang tua sebagai diplomat dan suami sebagai Duta Besar di Canberra, Australia, Wina di Austria, Jenewa di Swiss, Washington DC di Amerika Serikat, Pretoria di Afrika Selatan, dan terakhir di Beijing, Republik Rakyat China. Ada cerita-cerita menarik mengenai selera masyarakat setempat terhadap hidangan khas Indonesia,” kata Aslida Rahardjo yang mengundang mantan Kepala Sekolah Santa Ursula, Jakarta, Suster Fransesco hadir di acara peluncuran buku tersebut.
Lain benua, lain negara, lain pula hidangan Indonesia yang disukai. Semisal di Afrika Selatan, Aslida kerap menghidangkan Serundeng Sayap Ayam, Ikan Bakar Colo-Colo, Terong Balado, Wedang Jahe, Sayur Daun singkong, dan Ayam Taliwang.
Pengalaman pasangan Rahardjo di Afrika Selatan memang menarik. Mereka berhubungan baik dengan media massa, seniman-seniman Afrika Selatan, hingga pengusaha setempat. Dalam produksi film Hollywood berjudul 24 Hours to Live, terlihat taksi Toyota Avanza digunakan dalam adegan kejar-kejaran penuh aksi tembakan senjata api.
Keberadaan Toyota Avanza tersebut adalah hasil diplomasi Dubes Soegeng Rahardjo dalam memperkenalkan produksi otomotif Indonesia yang kini digunakan sebagai taksi di Afrika Selatan.
Belum lagi produk pangan seperti Indomie yang diterima luas tidak saja di Afrika Selatan, tetapi juga di Afrika Utara, di kawasan Teluk Guinea seperti Nigeria, hingga Afrika Timur!
Aslida Rahardjo menceritakan, terkadang di negara tertentu dia kesulitan mencari bumbu, seperti pengganti kunyit untuk memberikan warna kuning pada masakan. Untuk menyiasati, dia menggunakan saffron, sejenis rempah dari Iran yang berwarna kuning.
Jika kesulitan mencari bawang merah (shallot), bisa diakali dengan menggunakan bawang bombai (onion). Namun, untuk mendapatkan rasa bawang merah dalam sebuah resep, jumlah bawang bombai harus ditambah.
Jenis bumbu lain seperti kemiri (candle nut), jika sulit didapat bisa diganti dengan kacang macadamia yang di Indonesia dikenal lewat produk coklat berisi kacang macadamia. Menurut Aslida, rasa Macadamia berguna memberikan rasa gurih pada masakan dan juga menggantikan santan.
Adapun menu favorit yang disajikan di Amerika Serikat adalah botok ikan tuna, gadon, nasi goreng kampung, pancake sayur, sambal goreng kacang tolo, dan rujak serut.
“Secara umum warga manca negara suka nasi goreng kampung, sate ayam, dan steamed vegetable salad alias gado-gado. Rendang pun salah satu hidangan favorit di berbagai negara. Kerupuk udang alias shrimp cracker juga dicari-cari di Eropa,” kata Aslida yang mendampingi Dubes Soegeng yang terakhir menjabat sebagai Dubes Republik Indonesia untuk Republik Rakyat China dan Republik Mongolia.
Untuk Benua Eropa, menu unggulan yang disajikan Aslida adalah, gudeg kol ungu, ikan woku, kalio ayam, nasi kuning, sayur lodeh, dan tumis udang labu siam. Menu khas yang disajikan Aslida untuk benua Asia adalah arsik ikan, asam padeh, pepes tahu, tekwan, kue hunkwe, dan cendol.
Direktur Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri Indonesia, Santo Darmosumarto yang turut hadir mengisahkan, Aslida ketika itu selalu menyiapkan sendiri berbagai menu jamuan makan di KBRI Beijing.
“Bu Dubes belanja sendiri ke pasar basah. Biasanya di San Yuan Li. Kalau pun dibantu koki hotel bintang lima, biasanya dicari koki asal Indonesia atau Malaysia. Untuk menjaga kualitas hidangan, langsung diawasi Ibu Dubes termasuk untuk membuat rendang daging yang bisa sampai 30 kilogram sekali mengolah,” kata Santo yang menjadi staf KBRI Beijing semasa Dubes Soegeng Rahardjo bertugas.
Nyonya Aslida Rahardjo mengenang, setiap acara di Beijing, ratusan diaspora Indonesia, terutama warga Tionghoa kelahiran Indonesia yang eksodus tahun 1960-an, sangat menyukai hidangan di KBRI. Mereka selalu mengisi acara budaya di KBRI dan masih menggunakan bahasa daerah asal mereka di Indonesia, seperti Jawa, Bali, dialek Sumatera, dan lainnya.
“Diaspora kita ini selalu membungkus sate, rendang, dan lain-lain. Selalu rindu tanah kelahiran, Indonesia,” kata Aslida. Menurut dia, hidangan Indonesia selalu dinanti dan menjadi bagian dari diplomasi budaya Indonesia.