Peneliti Universitas Malaya, Malaysia, Annisah Smith, menanyakan sentimen anti-sawit yang diutarakan oleh Uni Eropa. Sentimen tersebut sangat berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia dan Malaysia.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sekitar 90 orang peneliti dari Indonesia menghadiri Konferensi ke-10 European Association for Southeast Asian Studies (EuroSEAS) yang digelar selama 10-13 September 2019 di Universitas Humboldt, Berlin, Jerman. Kehadiran mereka akan membantu memperkenalkan potensi Indonesia kepada publik Eropa.
Duta Besar RI untuk Jerman Arif Havas Oegroseno menuturkan, peran para peneliti Indonesia di dalam EuroSEAS sangat penting. Mereka merupakan motor untuk memberi pemahaman kepada publik di Eropa tentang potensi yang dimiliki oleh Indonesia, serta negara-negara Asia Tenggara pada umumnya.
“Dari pengamatan saya, publik Eropa belum melihat potensi Indonesia atau Asia Tenggara secara keseluruhan. Perhatian mereka masih terkonsentrasi di Tiongkok,” kata Arif dalam pembukaan acara resepsi yang berlangsung di KBRI Berlin, Kamis (12/9/2019), sesuai keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (16/9/2019).
Ia melanjutkan, produk domestik bruto (PDB) ASEAN saat ini mencapai 2,8 triliun dollar AS. ASEAN memiliki populasi sekitar 650 juta penduduk. Selain itu, situasi politik negara-negara ASEAN juga cukup stabil.
Arif mengatakan, Indonesia berupaya terus meningkatkan hubungan bilateral dengan negara-negara Eropa, termasuk Jerman. Indonesia akan menjadi negara mitra bersama Jerman dalam penyelenggaraan Hannover Messe 2020, sebuah pameran industri teknologi terbesar di Jerman.
“Ini adalah salah satu tujuan utama kita menyelenggarakan EuroSEAS. Tahun ini, sekitar 700 peneliti dari seluruh penjuru dunia hadir, terbanyak sepanjang sejarah. Kami ingin mendorong para peneliti mempertajam penelitian mereka melalui interaksi langsung dengan peneliti dari Asia Tenggara untuk mengerti kondisi yang sebenarnya,” ujar Vincent Houben, perwakilan Universitas Humboldt.
Masalah minyak sawit
Peneliti Universitas Malaya, Malaysia, Annisah Smith, menanyakan sentimen anti-sawit yang diutarakan oleh Uni Eropa. Sentimen tersebut sangat berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia dan Malaysia.
Arif menambahkan, sentimen sawit di Eropa sangat kental dengan muatan politis. Sikap Eropa merupakan bentuk diskriminasi terhadap produsen sawit di Asia Tenggara.
“Saat ini, terdapat 12 juta ton minyak sawit berkelanjutan. Namun, EU hanya butuh 5 juta ton. Secara matematis, sikap anti-sawit dan alasan sawit tidak berkelanjutan menjadi tidak masuk akal,” katanya.
Adapun dalam acara resepsi tersebut, perwakilan Indonesia mengajak para peneliti yang hadir untuk mengheningkan cipta atas meninggal dunianya Presiden ke-3 RI BJ Habibie.