HONG KONG, SENIN— Demonstrasi di Hong Kong mencapai titik kritis ketika para pengunjuk rasa bentrok dengan ratusan polisi anti-huru-hara sewaktu berupaya memasuki gedung parlemen, Senin (1/7/2019) malam.
Aksi protes ini bersamaan dengan perayaan 22 tahun diserahkannya Hong Kong oleh Inggris kepada China. Aksi ini juga mencapai titik ”puncak” setelah Hong Kong selama tiga pekan terakhir didera demonstrasi berkepanjangan menolak pengesahan RUU Ekstradisi. Jika disahkan, warga Hong Kong bisa diekstradisi ke China untuk diadili.
Dalam unjuk rasa saat itu, hampir 1 juta orang turun ke jalan untuk memprotes RUU tersebut, dan mengakibatkan perekonomian dan aktivitas harian di Hong Kong lumpuh. Akhirnya Gubernur Hong Kong Carrie Lam menangguhkan pengesahan RUU itu.
Dalam upacara pengibaran bendera kemarin, Lam mengatakan, dirinya akan lebih responsif terhadap sentimen yang disuarakan publik. Ia menyebutkan bahwa aksi-aksi protes dalam beberapa pekan terakhir telah memberinya pelajaran untuk lebih banyak mendengar suara publik, khususnya kaum muda.
”Saya menyadari, sebagai politisi, saya harus terus mengingatkan diri saya untuk menilai sentimen publik dengan akurat. Saya akan lebih banyak belajar,” kata Lam dalam pidato selama lima menit.
Dituntut mundur
Massa yang memperingati hari penyerahan Hong Kong itu kali ini lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya karena momen ini dimanfaatkan untuk menyampaikan protes atas perwujudan demokrasi di Hong Kong.
RUU Ekstradisi semakin membuat warga Hong Kong khawatir bahwa hak dan kebebasan mereka akan semakin digerus. Ketika Hong Kong diserahkan kepada China pada 1 Juli 1997, China menjamin bahwa warga Hong Kong akan berada dalam tatanan ”satu negara dua sistem” setidaknya selama 50 tahun ke depan (sampai tahun 2047).
Meskipun Otoritas Hong Kong telah menghentikan debat tentang RUU itu untuk waktu tak terbatas, para pemimpin unjuk rasa tetap menginginkan Lam secara formal menarik RUU itu dan juga mengundurkan diri.
Di tengah aksi damai puluhan ribu orang yang berjalan menuju pusat kota, sekelompok orang yang mengenakan tutup wajah melakukan tindakan anarki. Mereka menghantamkan kereta dorong ke jendela kaca dan berupaya memasuki gedung parlemen.
Namun, ratusan polisi langsung memagari dan memblokade area itu serta memasang peringatan yang isinya meminta pengunjuk rasa tidak melakukan serangan atau polisi akan membubarkan aksi mereka dengan kekerasan.
Sejumlah anggota parlemen juga berupaya membujuk para pengunjuk rasa untuk mundur, tetapi upaya mereka tidak berhasil.
Tembok terakhir
Area di sekitar Alun-alun Golden Bauhinia, tempat upacara berlangsung, telah dibarikade sejak Sabtu malam. Pengunjuk rasa yang mencoba memasuki area itu langsung dihalau dengan menggunakan tongkat rotan dan semprotan lada. Para pengunjuk rasa yang berbekal payung langsung membuka payung untuk melindungi diri.
”Kami sangat cemas. Ini adalah kewajiban kami untuk berunjuk rasa demi melindungi rumah kami. Saya tidak mengerti mengapa pemerintah menyakiti kami, menyakiti penegakan hukum. Penegakan hukum adalah tembok api terakhir yang memisahkan kami dengan Partai Komunis China,” kata warga Hong Kong, yang hanya mau disebut dengan Jack (26).