Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral di G-20 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan stabil pada pertengahan 2019, dan tumbuh mulai akhir 2019. Namun perang dagang Amerika Serikat-China dan meningkatnya ketegangan geopolitik berisiko pada pertumbuhan itu.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
FUKUOKA, SENIN - Negara-negara yang tergabung dalam G20 mendukung adanya sistem perdagangan multilateral yang berbasis aturan. Komitmen itu diumumkan di tengah meningkatnya perang dagang dan tensi geopolitik yang dapat memberi dampak negatif kepada pertumbuhan ekonomi global.
Kesepakatan itu merupakan hasil pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari negara-negara anggota G20 di Fukuoka, Jepang, Minggu (9/6/2019). Pertemuan ini dilakukan menjelang pertemuan pemimpin negara anggota G20 pada 28-29 Juni 2019 di Osaka, Jepang.
Dalam pertemuan itu, G20 menghasilkan komunike akhir yang menyatakan negara anggota G20 sepakat untuk mendukung sistem perdagangan multilateral yang berbasis aturan. Menurut Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), sistem perdagangan multilateral adalah perdagangan lintas negara yang mengedepankan diantaranya prinsip keterbukaan, transparansi, dan tidak mendiskriminasi.
Pernyataan senada sebenarnya telah dikeluarkan dalam pertemuan G20 di Buenos Aires, Argentina, Desember 2018. Waktu itu, G20 menyebutkan perdagangan dan investasi internasional merupakan mesin penting untuk pertumbuhan, produktivitas, inovasi, penciptaan lapangan pekerjaan, dan pengembangan. G20 mengakui perdagangan multilateral berkontribusi dalam mencapai hal tersebut.
G20 juga mengakui perang dagang dan tensi geopolitik dapat memberi dampak negatif kepada pertumbuhan ekonomi global. G20 memperkirakan, pertumbuhan ekonomi global baru stabil pada pertengahan 2019 serta tumbuh secara moderat pada akhir 2019 dan awal 2020.
“Namun, pertumbuhan tetap rendah dan risiko tetap cenderung memberatkan. Ketegangan perdagangan dan geopolitik semakin meningkat. Kami akan terus memerhatikan risiko-risiko itu dan siap mengambil tindakan lebih lanjut,” demikian pernyataan di dalam komunike.
Komunike itu tidak secara spesifik menyebutkan perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-China telah mengganggu pertumbuhan ekonomi global. Berdasarkan keterangan sebuah sumber, komunike itu hampir dibatalkan pada saat terakhir. Komunike baru disetujui setelah G20 atas desakan AS membatalkan klausul yang menyatakan perlunya menyelesaikan perang dagang.
Komisioner Urusan Ekonomi dan Moneter Uni Eropa Pierre Moscovici mengakui, sulit untuk mencapai komunike yang secara rinci membahas penyelesaian perang dagang untuk menghilangkan ancaman terhadap perekonomian global. Sikap AS yang enggan membahas isu tersebut masih menjadi kendala.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde mengatakan, prioritas pertama yang harus dilakukan adalah menyelesaikan perang dagang antara AS-China. Di saat yang sama, perlu dilakukan modernisasi aturan perdagangan internasional di WTO.
Pekan lalu, IMF mengingatkan bahwa perang dagang AS-China dapat memangkas pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global sebesar 0,5 persen pada 2020. Jumlah itu hampir setara dengan perekonomian Afrika Selatan, salah satu anggota G20.
“Tidak ada yang G20 dapat lakukan untuk meredakan perang dagang AS-China karena Washington tidak melihat masalah dapat diselesaikan melalui kerangka kerja sama multilateral. Jika G20 tidak dapat bicara mengenai perdagangan, mereka tidak dapat terlibat dalam debat penting mengenai ancaman ekonomi global yang semakin dekat,” kata mantan anggota dewan Bank Jepang Takahide.
AS klaim terbuka
AS mengklaim terbuka untuk bernegosiasi lebih lanjut dengan China mengenai perang dagang yang sedang berlangsung. Namun, kesepakatan kedua negara akan menunggu Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping yang diproyeksikan bertemu saat pertemuan puncak G-20, akhir Juni ini.
Trump dan Xi sebelumnya pernah bertemu dalam ajang yang sama di Buenos Aires, tahun lalu, yang menghasilkan penundaan kenaikan tarif impor selama lima bulan.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan, perundingan antara Washington dan Beijing sebenarnya sudah hampir mencapai kata sepakat atau sekitar 90 persen. Namun, negosiasi yang digelar awal Mei 2019 menemui jalan buntu. Ia memperingatkan, AS akan kembali mengenakan kenaikan tarif apabila tidak ada kesepakatan.
“Kami sedang dalam proses membuat kesepakatan bersejarah. Jika mereka ingin kembali bernegosiasi dan menyelesaikan kesepakatan akan baik. Jika tidak, sesuai perkataan Presiden, kami akan melanjutkan pengenaan tarif,” tuturnya.
Menurut dia, AS mengalami defisit perdagangan dengan China karena pasar AS terlalu terbuka. Sebaliknya, pasar China tertutup bagi AS.
Dalam pertemuan di Fukuoka, Mnuchin sempat bertemu dengan Gubernur Bank China (PBOC) Yi Gang. PBOC menyatakan, pertemuan Mnuchin dan Yi membahas situasi ekonomi dan keuangan global, isu G-20, dan sejumlah topik yang membahas kepentingan AS-China.
Adapun China hingga kini belum memberikan pernyataan resmi terkait kemungkinan Xi mau bertemu dengan Trump pada pertemuan G20 mendatang di Jepang tersebut. (Reuters/AFP)