Di tengah kecaman yang mengalir, dunia tiba-tiba seperti terdiam. Serangan simultan atas tiga gereja dan empat hotel di ibu kota Colombo dan Negombo, Sri Lanka, Minggu (21/4/2019), sungguh tragis. Serangan di gereja terjadi saat umat merayakan Paskah. Serangan di hotel terjadi saat pelanggan tengah menikmati sarapan pagi.
Serangan itu menewaskan lebih dari 250 orang, sebagian korban adalah perempuan dan anak-anak. Seiring mengalirnya pemberitaan tentang peristiwa itu, ada satu catatan sangat serius—selain kejamnya serangan dan tindakan pelaku, siapa pun mereka—yang mengemuka: kegagalan mengantisipasi serangan.
Dalam berbagai pemberitaan disebutkan, otoritas keamanan Sri Lanka sejatinya sejak awal April telah mendapat informasi intelijen tentang adanya ancaman serangan. Bahkan, sumber dari jaringan keamanan India dan Sri Lanka menyebutkan, dua jam sebelum ledakan pertama, pihak keamanan Sri Lanka kembali menerima informasi intelijen yang menyebutkan adanya ancaman serangan.
Fakta bahwa kemudian serangan simultan terjadi dan menewaskan ratusan orang memperlihatkan, informasi intelijen itu diduga tidak ditanggapi secara memadai. Ada dugaan, keretakan hubungan antara Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dan Presiden Maithripala Sirisena turut berpengaruh pada situasi itu. Wickremesinghe disebutkan tak mendapat informasi soal laporan itu. Ia juga dinyatakan sudah lama tak mengikuti rapat-rapat keamanan selepas perselisihan dengan Sirisena pada Oktober 2018. Rapat perdana soal keamanan yang diikuti Wickremesinghe adalah rapat darurat pada Senin pagi selepas serangan bom (Kompas, Rabu 24 April 2019).
Berkaca dari hal itu, serangan di Colombo adalah contoh paling buruk dampak perselisihan atau pertikaian politik para elite. Politik yang sejatinya—mengacu pada teori klasik Aristoteles—adalah usaha menghadirkan kesejahteraan bersama untuk warga, dalam peristiwa di Colombo, ternyata tidak ”memainkan” peran sebenarnya.
Pertarungan kepentingan para elite atas kekuasaan menjadi celah bagi anasir lain mewujudkan agenda-agenda mereka. Di Colombo, yang hadir adalah anasir jahat yang menunjukkan ”kekuasaannya” melalui bom. Tindakan mereka menghadirkan ketakutan dan potensi perpecahan. Di beberapa negara, seperti Sudan dan Aljazair, anasir yang mengancam itu hadir dalam wujud pemerintahan otoriter Presiden Omar al-Bashir dan Abdelaziz Bouteflika, yang kini telah tumbang.
J Kristiadi dalam Seri Orasi Budaya, Demokrasi dan Etika Bernegara yang diterbitkan oleh Impulse dan Penerbit Kanisius, 2008, menegaskan pentingnya peran manusia dalam politik. Manusia yang dimaksud Kristiadi adalah manusia yang mampu menggunakan perkembangan peradaban dan aneka nilai-nilai luhur untuk memuliakan manusia lain.
Nilai-nilai luhur itu, menurut Kristiadi, memampukan manusia untuk melawan kecenderungan salah satu sifat buruknya sendiri, yaitu keserakahan dan kelemahan menghadapi godaan kekuasaan. Oleh karena itu, manusialah yang sejatinya mampu menjinakkan kekuasaan yang membuat para pemburunya berani dan nekat menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Secara teknis hal itu bisa dilakukan dalam sistem demokrasi, di mana kekuasaan diperoleh dari mandat dan dikontrol oleh rakyat. Kekuasaan dibatasi oleh lembaga struktural yang menjaga keseimbangan dan menjaga agar kekuasaan itu tidak menjadi liar.
Namun, semua itu adalah perangkat yang diawaki manusia. Kesadaran sebagai makhluk berbudi luhur yang memiliki finalitas pada keluhuran panggilan sebagai ciptaanlah yang sejatinya menjadi ”kunci” bagi setiap individu memainkan perannya sehingga politik sungguh menjadi sarana menghadirkan kemaslahatan bagi umat manusia, sejahtera lahir dan batin.