Para pendukung dan penentang Brexit berkumpul di luar Gedung Parlemen di London, Inggris, Rabu (13/3/2019), menjelang voting Brexit di Majelis Rendah.
EDINBURGH, JUMAT —Berlarut- larutnya Pemerintah Inggris menyelesaikan proses Brexit semakin menguatkan keinginan sebagian warga Skotlandia memisahkan diri dari Inggris.
Pada 2014 Skotlandia sudah pernah melaksanakan referendum kemerdekaan. Pada saat itu mayoritas rakyat Skotlandia memutuskan tetap bergabung dengan Inggris dengan perbandingan suara 55 persen berbanding 45 persen. Alasannya, Skotlandia ingin tetap berada di dalam Uni Eropa.
Ketika Inggris melakukan referendum Brexit pada 2016, mayoritas warga Skotlandia menyatakan ingin tetap bersama Uni Eropa. Selama dua tahun terakhir warga Skotlandia juga berharap cemas mengenai akhir kesepakatan Brexit. Namun, nyatanya sampai hari ini proses Brexit tidak juga terselesaikan dan berkembang menjadi krisis politik berkepanjangan di Inggris.
Warga sipil kemudian bahu-membahu membentuk ”Suara untuk Skotlandia” yang didukung sekitar 100.000 partisipan. Para sukarelawan ini akan dikerahkan untuk meningkatkan jumlah warga yang ingin merdeka dari Inggris menjadi sekitar 60 persen. Target kelompok ini adalah warga Skotlandia yang tergolong bimbang sewaktu referendum 2014, yang jumlahnya sekitar sepertiga populasi Skotlandia. Mereka akan dipengaruhi melalui jaringan teman dan kerabat.
”Ini akan dilakukan melalui percakapan dengan orang- orang yang mereka percayai,” kata profesor Iain Black dari Stirling University.
Menurut Black, pemilih perempuan, khususnya generasi muda, sudah menunjukkan perubahan pandangan tentang kemerdekaan akibat kemungkinan tertutupnya peluang jika terjadi Brexit. Namun, kelompok yang lebih tua umumnya sulit diubah posisinya.
Kampanye ini dimulai sehari setelah Menteri Utama Skotlandia Nicola Sturgeon menyatakan, negara itu akan mempersiapkan referendum kemerdekaan kedua sebelum Mei 2021 tanpa merasa perlu meminta izin dari London.
Dipaksa
Menurut Partai Nasional Skotlandia, referendum kedua dibenarkan karena Skotlandia saat ini dipaksa untuk keluar dari Uni Eropa. Namun, Wakil PM Inggris de facto David Lidington menyatakan, masalah Skotlandia telah selesai pada 2014 pada saat rakyat Skotlandia membuat keputusan.
Sampai saat ini masih belum jelas apakah Brexit akan terjadi dengan atau tanpa kesepakatan. Kesepakatan yang ditandatangani dengan Uni Eropa telah tiga kali ditolak parlemen Inggris. PM Theresa May kini masih melakukan negosiasi intensif dengan oposisi Partai Buruh. Namun, setelah hampir satu bulan negosiasi berlangsung, belum terjadi terobosan.
Seiring itu, Partai Konservatif makin tidak sabar dengan May. Sejumlah tokoh yang vokal kini meminta agar May mempercepat pengunduran dirinya.