Sri Lanka Kembalikan Kewenangan Darurat kepada Tentara
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
COLOMBO, SELASA — Tentara Sri Lanka kembali diberi kewenangan memburu dan menangkap warga sipil selepas rangkaian bom Minggu (21/4/2019). Kewenangan itu pernah dicabut setelah perang saudara dan keadaan darurat dinyatakan tidak berlaku.
Sri Lanka mengumumkan keadaan darurat kembali berlaku mulai Senin (22/4/2019). Selanjutnya, mulai Selasa (23/4/2019), tentara kembali mendapat kewenangan mengejar dan menangkap warga sipil. Dengan kewenangan itu, tentara bisa terlibat perburuan pihak yang diduga terlibat rangkaian serangan bom yang menewaskan 290 orang pada Minggu pagi.
Tentara Sri Lanka pernah memiliki kewenangan itu selama perang antara pemerintah dan pemberontak Macan Tamil. Setelah perang berakhir, keadaan darurat dan kewenangan tentara untuk menangkap warga sipil dicabut.
Penangkapan
Kantor Kepresidenan Sri Lanka menyebut pemberlakuan keadaan darurat untuk membantu aparat menyelidiki serangan terburuk sejak perang saudara berakhir. Penyelidikan serangan itu melibatkan AD, AU, dan AL Sri Lanka.
Sampai sekarang sudah 24 orang ditangkap karena diduga terkait dengan serangan itu. Pemerintah juga mulai mengidentifikasi tujuh orang yang terlibat dalam serangan tersebut. Dari tujuh orang itu, dua meledakkan diri di Hotel Shangri-La. Sementara lima lain menyasar tiga gereja dan dua hotel.
Penyerang menyasar Katedral Santo Antonius di Colombo dan dua gereja lain di luar Colombo. Selain itu, ada pula serangan atas hotel Cinnamon Grand, Kingsbury, serta Shangri-La. Beberapa jam selepas serangan serentak itu, terjadi dua ledakan susulan di luar Colombo.
Pasca-serangan bom terjadi, aparat menggeledah sejumlah lokasi. Hasilnya antara lain 50 kilogram peledak dan 87 detonator ditemukan di bandara. Bom sebanyak itu cukup untuk membuat ledakan yang berdampak pada wilayah dengan radius 400 meter dari pusat ledakan.
Tidak tahu
Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe menyatakan khawatir serangan itu menciptakan ketidakstabilan yang bisa memicu pertumpahan darah. Karena itu, pemerintah akan melakukan semua hal untuk menindak pihak yang bertanggung jawab pada serangan Minggu pagi .
Ia dan Menteri Kesehatan Rajitha Senaratne mengakui ada peringatan soal serangan itu pada 4 April 2019. Akan tetapi, PM dan sejumlah menteri lain tidak tahu soal peringatan itu.
Belum diketahui apakah hal itu terkait dengan konflik politik antara Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena dan Wickremesinghe. Pada Oktober 2018, Sirisena dan Wickremesinghe berselisih. Sirisena mencoba memecat Wickremesinghe. Pemecatan itu ditolak parlemen dan pengadilan sehingga Wickremesinghe tetap menjabat.
Namun, Sirisena melarang Wickremesinghe ikut rapat-rapat keamanan. Larangan itu tetap berlaku sampai Minggu kemarin.
Meskipun demikian, sejumlah menteri di kabinet Wickremesinghe menyatakan tahu soal laporan peringatan potensi serangan. Kementerian Pertahanan menyampaikan laporan itu kepada kepolisian dan kepolisian meneruskannya kepada sejumlah pihak lain.
Menteri Telekomunikasi Harin Fernando menyatakan, ayahnya mengetahui potensi serangan itu dan meminta dia menjauhi gereja-gereja populer. Menteri Integrasi Nasional Mano Ganeshan menyatakan, pihaknya sudah memperingatkan pihak keamanan soal kemungkinan pelaku peledakan bunuh diri menyasar politisi.
Uskup Colombo Kardinal Malcolm Ranjith mengatakan, serangan itu seharusnya bisa dicegah. ”Kami menangkupkan tangan di kepala saat tahu serangan ini seharusnya bisa dicegah. Mengapa tidak dicegah?” ujarnya. (AP/AFP)