”Reiwa”, Era Baru Kekaisaran Jepang
Kaisar Jepang Akihito, yang naik takhta pada 1989, akan mengundurkan diri dan menyerahkan takhta kepada putra sulungnya, Putra Mahkota Naruhito, pada 30 April 2019. Keesokan harinya, 1 Mei, Naruhito akan resmi menjadi Kaisar Jepang.
Namun, Senin (1/4), Jepang telah mengumumkan nama baru era kekaisaran. Nama era baru itu diumumkan Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga di Tokyo, terdiri dari dua karakter dalam tinta hitam, berbunyi ”Reiwa” (dibaca ray-wa).
Karakter pertama kerap digunakan dalam arti ”titah”, tetapi juga bisa dimaknai dengan ”bagus” dan ”indah”. Adapun karakter kedua berarti ”damai” atau ”harmoni”.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menjelaskan, nama era baru itu menekankan keindahan budaya tradisional Jepang dan mimpi-mimpi masa depan yang akan bisa dicapai semua orang, terutama kaum mudanya. ”Negara kita menghadapi perubahan besar, tetapi banyak nilai-nilai Jepang yang seharusnya tidak boleh luntur,” kata Abe.
Nama baru itu, lanjut Abe, juga mengandung pesan bahwa ”kebudayaan negara kita lahir dan berkembang di sanubari rakyat yang dilukis bersama-sama secara indah”.
Pengunduran diri Akihito pada 30 April bakal menandai berakhir era Heisei. Akihito menjadi kaisar pertama di Jepang yang mundur dalam dua abad lebih. Dalam sejarah modern Jepang, ada empat nama era: Meiji (1868-1912), Taisho (1912-1926), Showa (1926- 1989), dan Heisei yang berarti ”mencapai perdamaian” (1989-2019).
Baca juga:
- Mengharapkan Era Tertib dan Damai, "Reiwa" Nama Era Baru Jepang
- Berakhirnya Era Akihito
- Kaisar Akihito Sampaikan Salam Terakhir
Abe mengatakan, pemerintah memilih nama era baru itu sebagai penanda era yang bakal dipenuhi harapan. Era Heisei dikenang dengan periode yang damai dan tanpa perang. Namun, periode itu juga ditandai dengan deflasi ekonomi dan bencana alam.
”Kami berharap (nama era ini) bakal diterima luas oleh rakyat dan bakal mengakar kuat dalam kehidupan mereka sehari-hari,” ujar Suga.
Makna besar
Pengumuman nama era itu merupakan fenomena penting di Jepang. Kehadiran nama era baru itu bakal menancap dalam memori dan kehidupan rakyat di ”Negeri Matahari Terbit”. Peristiwa besar, seperti kelahiran, kematian, bencana alam, fenomena budaya dan sosial, pemilu, skandal politik, dan momen penting lain, kerap dikaitkan dengan nama era.
Nama kalender, koran, dan dokumen resmi pemerintah, serta dunia usaha pun sering menggunakan nama era itu meski penggunaan kalender Barat telah menyebar luas di keseharian rakyat Jepang. ”Nama era memiliki makna yang besar. Nama itu penting dalam mendefinisikan suatu periode,” kata Daniel Sneider, ahli dan dosen bidang Jepang dari Stanford University.
Nama era harus memiliki makna yang sejalan dengan aspirasi rakyat. Panjangnya juga hanya dua karakter, mudah dibaca, ditulis, tidak digunakan secara penuh, dan tidak pernah digunakan pada nama era sebelumnya.
Harian Japan Times melaporkan, diskusi soal nama era itu menghadirkan di antaranya mantan Ketua Federasi Bisnis Jepang Sadayuki Sakakibara; Profesor Shinya Yamanaka dari Kyoto University, yang meraih hadiah Nobel di Bidang Fisiologi dan Kedokteran pada 2012; serta novelis Mariko Hayashi.
Nama era digunakan selama masa pemerintahan kaisar dan biasanya diumumkan setelah kaisar baru resmi dinobatkan. Berbeda dengan ritual sebelumnya, kali ini diputuskan bahwa nama era baru diumumkan sebelum suksesi kekaisaran demi menekan gangguan yang bisa muncul akibat perubahan itu.
Dipilihnya ”Reiwa” sebagai nama era baru kekaisaran di bawah Kaisar Naruhito mulai Mei mendatang juga menandai—untuk pertama kalinya— nama era diambil dari sumber Jepang kuno, yakni dari antologi puisi bernama Manyoshu. Hal ini berbeda dari sebelumnya, di mana nama-nama era bersumber dari teks-teks China.
Dua karakter dalam ”Reiwa” berasal dari puisi tentang musim semi yang menyebut angin lembut dan bunga prem yang sedang mekar. Istilah ini memang kurang populer di kalangan rakyat, tetapi sangat dikenal di kalangan para cendekiawan.
”Ini kumpulan yang mengekspresikan kekayaan budaya, kita yang harus kita banggakan, bersama dengan keindahan alam negara kita,” kata Abe dalam konferensi pers. ”Kami yakin, karakter nasional ini harus dilanjutkan pada era berikutnya.”
Makoto Ueno, pakar Manyoshu di Nara University, mengatakan, penggunaan teks-teks Jepang sebagai sumber nama era menandai sebuah perubahan yang signifikan. ”Ini berarti gengo (nama era baru) telah memasuki babak baru. Sistem yang berasal dari sistem kaisar China telah dibuat langsung di Jepang,” katanya.
(AP/REUTERS/AYU/SAM)