Isu Resesi Muncul Lagi
Pembicaraan tentang resesi ekonomi global kembali mencuat. Sinyal resesi ini lagi-lagi muncul dari perekonomian Barat, sementara perekonomian Asia relatif stabil. Hanya saja, hal yang perlu diwaspadai adalah efek psikologis dari sinyal resesi terhadap pergerakan pasar yang biasanya memukul siapa saja di dunia ini.
Sinyal resesi ini sudah dinyatakan dalam prediksi Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OCED). Menurut OECD, pada 6 Maret 2019, perekonomian global akan tumbuh menjadi 3,3 persen pada 2019 berdasarkan perkiraan sementara. Pertumbuhan ini turun dari 3,6 persen yang dicatatkan pada 2018.
Sinyal resesi ini lagi-lagi muncul dari perekonomian Barat, sementara perekonomian Asia relatif stabil.
Dari data OECD terlihat perkiraan penurunan lebih banyak terjadi di Barat, yakni Eropa dan Amerika Serikat. China juga termasuk negara yang akan mengalami penurunan dari 6,6 persen pada 2018 menjadi 6,2 persen pada 2019. Hanya saja, China adalah negara dengan perekonomian besar yang memiliki anggaran besar dan mampu mengendalikan perekonomian.
Alasan utama di balik isu penurunan ekonomi global, menurut OECD, adalah ketegangan dalam perdagangan global. Ini tentu berefek pada keyakinan pebisnis soal rencana investasi dalam jangka pendek dan menengah.
Khusus untuk Eropa, gangguan terbesar adalah ketidakpastian tentang Brexit, sebutan bagi Inggris keluar dari Uni Eropa. Inggris telah terganggu soal keyakinan pebisnis dan konsumen. Isu Brexit membuat lalu lintas barang dari Inggris ke Eropa dan sebaliknya menjadi terpengaruh dengan kecenderungan merosot.
Sinyal resesi terkait Brexit dan ketegangan perdagangan juga disampaikan oleh Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell pada 20 Maret. ”Brexit dan kemelut dagang AS-China memberi risiko pada perekonomian,” kata Powell pada 20 Maret.
Sinyal dari pasar
Pasar modal di AS juga menunjukkan sinyal resesi. Hal itu ditandai dengan yield (penghasilan) obligasi terbitan Pemerintah AS berjangka 3 bulan, yang mendadak lebih tinggi dari yield obligasi berjangka waktu 10 tahun. Salah satu sinyal resesi yang lazim dipakai mengukur resesi adalah ketika yield obligasi berjangka pendek lebih tinggi dari obligasi berjangka panjang.
Pada Jumat (22/3/2019), untuk pertama kali sejak 2007 terjadi posisi seperti itu. Penghasilan obligasi berjangka waktu 3 bulan sebesar 2,459 persen atau lebih tinggi dari penghasilan obligasi berjangka 10 tahun yang sebesar 2,437 persen. Keadaan seperti itu juga terjadi pada 2007 sebelum krisis meletus di AS pada 2008 dan di Eropa pada 2009.
”Sinyal ini penting sebab Bank Sentral AS sudah melakukan banyak riset dan menjadikan perbedaan penghasilan dua jenis obligasi itu sebagai salah satu sinyal terbaik untuk memperkirakan resesi,” kata Jon Hill dari BMO Capital Markets.
Dalam bahasa sederhananya, perekonomian yang dianggap stabil dalam jangka panjang akan membuat investor lebih yakin memegang obligasi dalam jangka panjang. Jika investor kurang yakin, kecenderungan memegang obligasi berjangka panjang pun menjadi menurun.
Janet Yellen, mantan Gubernur Bank Sentral AS, di Hongkong pada 25 Maret, juga menyatakan akan terjadi kecenderungan penurunan pertumbuhan. ”Akan tetapi, saya bisa mengatakan resesi tidak akan terjadi,” kata Yellen yang berbicara pada ”Credit Suisse Asian Investment Conference”.
Untuk mencegah resesi, kata Yellen, tampaknya memang diperlukan penurunan suku bunga inti oleh Bank Sentral AS. Ini diperlukan untuk mendorong pertambahan uang beredar dengan tujuan mencegah resesi.
Suku bunga inti di AS sekarang adalah 5,5 persen. Rumusnya adalah suku bunga dari Bank Sentral AS sekarang antara 2,25 persen dan 2,5 persen. Angka ini ditambah 3, artinya lembaga keuangan selalu memasang suku bunga rata-rata lebih tinggi 3 persen dari yang dipatok Bank Sentral AS. Dengan demikian, suku bunga inti di pasar keuangan AS menjadi 5,5 persen.
Asia stabil
Meski demikian, sinyal pelemahan ini terjadi di Barat, kawasan yang memang mencapai titik jenuh perekonomian. Barat juga memiliki persentase utang yang terlalu tinggi dan penduduk yang menua. Ini berbeda dengan Asia yang masih berpenduduk di usia energik dan kondisi keuangan negara yang kondusif.
Indonesia, misalnya, oleh OECD, disebutkan solid soal pertumbuhan. ”Pertumbuhan domestik bruto (PDB) solid terjadi untuk Indonesia dengan pertumbuhan sekitar 5 persen pada 2019-2020. Ini didorong dengan kuatnya konsumsi warga, investasi di bidang infrastruktur, dan kestabilan pasar uang,” demikian OCED tentang Indonesia.
Untuk Asia dan sejumlah negara berkembang, saran OECD adalah potensi pertumbuhan tetap tinggi. Hanya saja, semua ini memerlukan pendalaman aktivitas ekonomi lewat reformasi. Di titik inilah negara-negara berkembang sering kali lambat bergerak. Pengelolaan sektor moneter saksama, seperti pengamanan inflasi dan besaran utang, adalah sektor lain yang harus dijaga ketat.
Meski sinyal resesi ini dianggap tidak terlalu kuat, jangan pernah diabaikan.
Meski sinyal resesi ini dianggap tidak terlalu kuat, jangan pernah diabaikan. Efek psikologis dalam perekonomian biasanya mudah menyulut resesi besar. Kadang, efeknya merugikan secara signifikan. Oleh sebab itu, kehati-hatian, termasuk di negara berkembang, adalah keharusan.
Fakta empiris menunjukkan, negara-negara yang punya perencanaan saksama relatif lebih sedikit terpukul ketimbang negara-negara yang abai. Turki dan Argentina, sebagaimana dituliskan oleh OECD, adalah dua negara yang turut mengalami penurunan pertumbuhan pada 2019. Ini merupakan efek dari hantaman krisis kurs di dua negara itu pada awal 2018 karena mengabaikan keamanan fondasi perekonomian. (AFP/AP/REUTERS)