Gaya ”Gangster” Akan Menemui Kegagalan
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Penasihat Keamanan Nasional John Bolton menciptakan atmosfer bermusuhan. Hal itu mengganggu upaya konstruktif yang menjadi tujuan perundingan antara pemimpin AS dan Korea Utara.
”Oleh sebab itu, kami berpikir kembali untuk menghentikan pembicaraan dengan AS.” Demikian pernyataan Wakil Menlu Korut Choe Son Hui sebagaimana diberitakan kantor berita Associated Press, Jumat, 15 Maret 2019.
Ucapannya merujuk pada pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Kim Jong Un di Hanoi, Vietnam, 27-28 Februari lalu, soal denuklirisasi Korut. ”Saya ingin memperjelas sikap AS yang seperti gangster akan membuat situasi berbahaya,” kata Choe.
Sinyal dari China sudah menunjukkan potensi kegagalan.
Tidak dijelaskan lebih jauh apa yang terjadi di balik itu semua. Namun, tentu dunia juga melihat Korut susah ditebak. Meski demikian, gambaran ini menjadi perhatian China sehubungan dengan kelanjutan perundingan dagang AS-China pada 28-29 Maret di Beijing. ”Kepala Perwakilan Dagang AS (USTR) Robert Lighthizer dan Menkeu AS Steven Mnuchin telah diundang untuk berunding,” kata juru bicara Kementerian Perdagangan China, Gao Feng, di Beijing, Jumat (22/3/2019).
Sinyal dari China sudah menunjukkan potensi kegagalan. Lighthizer di hadapan Komite Keuangan Senat AS pada 12 Maret tidak menjanjikan kepastian. ”Kita bisa menemui dua hal, hasil bagus atau hasil buruk,” kata Lighthizer yang biasanya sangat percaya diri.
Kebijakan tarif gagal
Pertemuan akan membahas defisit perdagangan AS terhadap China, yang meningkat pada 2018 menjadi 419 miliar dollar AS pada 2018 berdasarkan data Departemen Perdagangan AS, Rabu (20/3). Defisit keseluruhan perdagangan barang AS ke seluruh dunia juga meningkat menjadi 891,3 miliar dollar AS.
Tarif 10 persen untuk 200 miliar dollar AS nilai impor dan 25 persen terhadap 50 miliar dollar AS impor dari China sudah dikenakan sejak Juli 2018. Tujuannya adalah mengurangi defisit perdagangan AS terhadap China yang pada 2017 mencapai 350 miliar dollar AS. Tarif tidak berhasil mengurangi impor dari China dan dunia.
Tarif malah merugikan konsumen dan ekonomi AS sendiri. Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell pada 20 Maret mengatakan, pebisnis AS telah mengeluh akibat efek tarif terhadap sektor bisnis.
Tindakan balasan China yang mengenakan tarif terhadap impor asal AS, termasuk pengurangan impor produk pertanian dari AS, telah menghantam sisi AS. ”Para petani AS sedang menghadapi kesehatan mental,” demikian judul artikel di situs Bloomberg, edisi 20 Maret.
Harian The Wall Street Journal edisi 6 Februari 2019 memberitakan tingkat kebangkrutan meningkat pada perusahaan pertanian AS. Ini akibat anjloknya secara dratis impor pertanian China dari AS.
Kantor berita Xinhua, 8 Maret 2019, seakan menekankan kegagalan Trump dengan tarif itu. ”Secara keseluruhan tarif membebani konsumen AS,” demikian Mary Amiti dari Federal Reserve Bank of New York dan Stephen Redding dari Princeton University serta David Weinstein dari Columbia University, yang sama-sama menuliskan efek tarif dan dituangkan dalam laporan ”The Impact of the 2018 Trade War on U.S. Prices and Welfare”.
Tekanan domestik dengan demikian lebih mengarah pada kritik terhadap kebijakan Trump soal efek tarif. Dari sisi ini China berada di atas angin dalam perundingan.
Tuntutan mengada-ada
Berbagai faktor lain juga dibahas dalam pertemuan AS-China, yang juga dipastikan akan berakhir dengan kegagalan. AS menuduh China telah mencaplok teknologi perusahaan AS dan ini harus dihentikan. Tuntutan lain, China harus membuka pasarnya untuk sektor jasa bagi asing serta melakukan liberalisasi rezim kurs renminbi, yang dikendalikan Beijing. Lagi, AS meminta China agar membeli produk AS lebih banyak. Semua faktor ini menjadi alasan bagi AS untuk mengenakan tarif terhadap impor China pada 2018.
Tekanan ini diduga kuat akan gagal. Kebetulan pihak China masih sangat jengkel dengan AS sehubungan penangkapan Meng Wanzhou. Meng adalah pejabat keuangan Huawei. Dia ditangkap aparat Kanada saat transit di Vancouver atas permintaan AS pada 1 Desember 2018 dalam perjalanan menuju Meksiko. Penangkapan ini akan dipakai Trump sebagai alat tawar-menawar.
Semua itu dianggap oleh China sebagai konfrontasi dan penekanan, hubungan tuan dan anak buah. Harian China Daily edisi 5 Maret menuliskan reaksi mantan Wakil Menlu China Zhang Yesui. ”Hubungan konfrontatif AS-China tidak menguntungkan siapa pun,” kata Zhang. ”Tidak akan ada ujar ,” kata Zhang menjawab pertanyaan tentang sikap AS yang menekan. Dia menambahkan, China menginginkan hubungan non-konflik, non-konfrontasi.
Zhang juga secara implisit menekankan, China memiliki kedaulatan untuk menjalankan program pembangunan ekonomi yang tidak bisa didikte oleh siapa pun. ”Fakta-fakta telah memperlihatkan hanya kerja sama yang menjadi pilihan bagi kedua belah pihak,” kata Zhang.
Hal itu juga diutarakan pemerhati bisnis di China. ”AS tidak akan pernah bisa mencapai kesepakatan tentang perubahan struktur bisnis dan pasar di China,” kata Leland Miller, pimpinan umum (CEO) China Beige Book, perusahaan yang memberikan konsultasi soal strategi investasi untuk pasar China. Miller adalah juga Anggota Komite Nasional untuk Relasi AS-China di lembaga Council on Foreign Relations.
Miller menambahkan, China telah berjanji melakukan reformasi pasar. Akan tetapi, hal ini tidak akan bisa dicapai dalam waktu 90 hari, misalnya.
Harapan kosong
Lalu, apa yang diharapkan AS dari perundingan di Beijing? Lighthizer dan Mnuchin akan mencoba terus menekan China. Jika berhasil menekan pada pertemuan di Beijing, dalam arti China akan menuruti AS, Wakil Perdana Menteri China Liu He akan diundang ke Washington pada April untuk finalisasi. Jika pertemuan berikutnya di Washington sukses total, pada akhir April 2019 akan ada pertemuan puncak antara Presiden Xi Jinping dan Trump dengan tujuan meneken kesepakatan.
Imbalan dari sikap tunduk China adalah AS akan menghapus tarif tambahan terhadap semua impor dari China. Dengan demikian, China pun akan memulihkan lagi pembelian terhadap produk-produk pertanian AS, yang dihentikan sebagai balasan atas tindakan Trump.
Presiden Trump menyatakan optimistis akan ada kemajuan. ”Kami punya para perunding bertalenta. Dengan Presiden Xi, saya memiliki hubungan baik,” demikian optimisme Trump. ”Akhirnya China akan memberi respek kepada negara kita,” ujar Trump pada 20 Maret.
Jika bicara, Trump tidak pernah memikirkan secara mendalam dasar dari ucapannya. China terpikir soal perangai Presiden Trump dan timnya. Para pejabat China menghadapi dilema, apakah akan menyarankan Presiden Xi bertemu Trump di akhir April untuk finalisasi.
”Jika Presiden Xi berkunjung, bagi China harus lebih jelas dulu rincian dan kepastian kesepakatan,” kata James Green, yang hingga Agustus 2018 lalu adalah seorang perunding dagang AS dari Kedubes AS di Beijing dan kini mengajar di Georgetown University. Pertemuan Trump dengan Kim Jong Un di Hanoi (Vietnam) menjadi preseden buruk dalam pandangan China, dengan pertemuan yang mendadak bubar.
Trump mudah berubah dan bisa begitu saja membatalkan apa yang disepakati anak buahnya. Ada contoh untuk itu. Hasil perundingan China dengan Mendag AS Wilbur Ross pada 2017 mendadak ditolak oleh Trump. Hasil pertemuan antara pejabat China dengan Menkeu AS Mnuchin pada 2018 yang memasuki sektor mobil dan keuangan malah disambut Trump dengan pengenaan tarif atas produk impor China.
”Pandangan umum bagi para pejabat China, Trump sangat tertarik pada kesepakatan sesuai dengan seleranya,” kata Bo Zhiyue, Wakil Ketua Dekan dari New Era Development Research Institute di Xi’an Jiaotong-Liverpool University, Suzhou, China.
Michael Pillsbury, seorang pakar soal China dari Hudson Institute (AS) dan penasihat pemerintahan Trump, memberikan pernyataan bagus. Kini Presiden Xi memilih diam ketika berbicara soal perdagangan. Ini merupakan sinyal jelas, segala keinginan AS dari China jauh dari jangkauan.
Sikap dasar AS dalam perundingan adalah AS bebas bertindak apa saja untuk mencapai keinginannya. Di sisi lain, China tidak boleh melakukan retalisasi.
Masalah lain adalah pernyataan Robert Lighthizer, AS hanya bersedia melucuti perlahan tarif impor seiring dengan kemajuan yang dilakukan China, termasuk perubahan hukum bisnis dan liberalisasi perekonomian. Pihak China menuntut tarif harus dihapuskan sehingga pembelian produk AS bisa dipulihkan.
Komoditas politik
Akhirnya memang isu dagang AS-China mau tak mau terkait erat dengan politik domestik AS. China adalah kambing hitam dari segala masalah ekonomi AS. Pihak AS begitu mudahnya mengata-ngatai China di balik defisit perdagangan. Presiden Trump sejak masa kampanye membombardir China sebagai perampok kekayaan ekonomi AS.
Unsur politik ini juga makin mencuat lagi dengan munculnya investigasi Trump oleh special counsel Robert Mueller. Investigasi ini terkait dugaan bahwa Trump adalah agen dari kepentingan Presiden Rusia Vladimir Putin. Trump semakin mengalami pemudaran pamor karena isu ini hingga berefek pada potensi kemenangan kedua kali sebagai presiden.
Maka dari itu, Trump frustrasi dan mencari cara untuk memulihkan pamor. Hal itu dikatakan Gary Cohn, yang pernah menjadi penasihat ekonomi Trump periode Januari 2017-2 April 2018. Cohn sekali lagi menekankan tarif tidak akan berhasil menekan China karena defisit AS terjadi akibat AS lebih banyak mengonsumsi ketimbang memproduksi. AS lebih banyak mengandalkan utang dari asing ketimbang memanfaatkan tabungan warga. Ini otomatis mendorong impor.
”Tarif tidak menekan China sama sekali, kita malah mengalami kenaikan defisit. Namun, masalahnya adalah Trump perlu perlu menang lagi. Satu-satunya isu yang bisa dijual adalah resolusi China sehingga bisa berdampak pada pasar,” kata Cohn pada 13 Maret, seperti disiarkan televisi CNBC.
Cohn menyebutkan tim ekonomi Trump adalah tim yang kacau. China, di sisi lain, merupakan pemerintahan yang terkomando rapi dan bersatu. Rasanya China tidak akan mau melayani pemerintahan yang tak terorganisasi dan tidak bisa dijamin kepastian ucapannya. (REUTERS/AP/AFP)