Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Butuh Sistem Terintegrasi
Oleh
Hamzirwan Hamid
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Apresiasi publik atas kesuksesan diplomasi pemerintah menyelamatkan pekerja migran Indonesia di Malaysia dari jerat hukum, Siti Aisyah, terus mengalir. Pemerintah pun didorong agar terus memperkuat diplomasi luar negeri dengan lebih memprioritaskan penanganan pekerja migran Indonesia bermasalah sejak dini melalui sistem perlindungan terintegrasi.
Adapun di dalam negeri, pemerintah perlu lebih serius menyelesaikan penyusunan aturan turunan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) sehingga benar-benar menjadi payung hukum bagi semua pemangku kepentingan. Kehadiran aturan turunan ini sungguh dinantikan untuk menjamin penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia yang lebih berkualitas.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo di Jakarta, Selasa (12/3/2019), menyarankan pemerintah pusat segera membentuk lembaga-lembaga perlindungan pekerja migran Indonesia hingga ke tingkat desa yang melibatkan pemerintah daerah. Lembaga ini, kata Wahyu, sangat dibutuhkan karena UU PPMI juga mengatur peran pemda dalam memperkuat sistem perlindungan pekerja migran Indonesia.
”Sudah 1,5 tahun Undang-Undang PPMI disahkan, tetapi aturan turunannya belum juga ada. Aturan turunan ini sangat dibutuhkan sebagai landasan operasional membangun tata kelola perlindungan pekerja migran yang transparan dan terintegrasi,” ujar Wahyu.
Dalam laporan Bank Dunia berjudul ”Pekerja Global Indonesia: Peluang Sulit dan Risiko” yang dirilis 28 November 2017 diungkapkan, sampai akhir tahun 2016 Indonesia memiliki 9 juta pekerja migran di sejumlah negara, terutama di Malaysia dan Arab Saudi. Mereka mengirimkan remitansi Rp 118 triliun (8,9 miliar dollar AS) tahun 2016, yang langsung menggerakkan sektor riil di daerah, terutama perdesaan.
Kementerian Luar Negeri Indonesia mencatat, saat ini ada 165 WNI terancam hukuman mati. Hingga 80 persen di antara mereka berada di Malaysia. Sebagian WNI yang terancam hukuman mati itu karena masalah narkotika. Pemerintah perlu berjuang lebih keras untuk menyelamatkan mereka dari hukuman mati.
Dalam jangka pendek, pemerintah pusat perlu menghubungkan lembaga perlindungan di daerah basis pekerja migran Indonesia dengan inovasi pelayanan publik pemerintah daerah, seperti yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur), Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat), dan yang akan dimulai di Kebumen (Jawa Tengah).
Strategi ini, kata Wahyu, akan membuat pemerintah daerah lebih mempunyai rasa memiliki membenahi tata kelola perekrutan dan penempatan pekerja migran Indonesia dalam sistem perlindungan yang terintegrasi.
Prioritas diplomat
Kemudian, dalam perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri, kata Wahyu, Kementerian Luar Negeri perlu menegaskan kepada para diplomat untuk memprioritaskan penanganan masalah sejak dini. Dia mencontohkan, Diah Anggraini (36), pekerja migran Indonesia asal Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, Jatim, yang putus komunikasi dengan keluarganya dan tidak terlacak keberadaannya sejak bekerja di Jordania 5 Oktober 2006.
Kementerian Ketenagakerjaan telah memulangkan Diah bersama empat pekerja migran Indonesia yang bernasib serupa ke Tanah Air bulan lalu. Diah pulang setelah Kedutaan Besar RI Amman berhasil meminta pemberi kerjanya melunasi hak remunerasi sekitar 9.000 dollar AS.
”Masih ada ketimpangan perhatian antara keseriusan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan jajaran diplomat di luar negeri dalam memprioritaskan pelayanan terhadap pekerja migran Indonesia. Hal ini perlu segera dibenahi,” ujar Wahyu.