Tekanan Kuat Kelompok Garis Keras Memaksa Menlu Iran Mundur
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
TEHERAN, RABU — Mundurnya Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif merupakan bukti kuatnya tekanan kelompok garis keras Iran dalam politik luar negeri Teheran. Kelompok garis keras mengkritik negosiasi nuklir Iran dengan Amerika Serikat yang tidak memberikan keuntungan apa pun terhadap Teheran dan bahkan berujung pada mundurnya AS dari kesepakatan.
Zarif, yang merupakan negosiator utama Iran dalam perjanjian nuklir 2015, mengumumkan pengunduran dirinya di Instagram pada Senin (25/2/2019). ”Saya minta maaf atas ketidakmampuan saya untuk terus melayani dan untuk semua kekurangan selama masa jabatan saya,” kata Zarif dalam sebuah pesan yang diunggah pada akun Instagram-nya.
Zarif juga berterima kasih kepada Iran dan para pejabat terhormat atas dukungan mereka dalam waktu 67 bulan terakhir.
Pengunduran diri itu terjadi beberapa jam setelah kunjungan mendadak Presiden Suriah Bashar al-Assad ke Teheran. Namun, menurut kantor berita ISNA, Zarif tidak hadir pada pertemuan Assad dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamanei dan Presiden Hassan Rouhani.
Meski demikian, melalui Twitter, kepala staf Rouhani membantah keras bahwa presiden telah menerima pengunduran diri Zarif.
Anggota parlemen terkemuka pun segera meminta Rouhani untuk tidak menerima pengunduran diri. ”Tidak diragukan bahwa rakyat Iran, pemerintah, dan negara tidak akan mendapat manfaat dari pengunduran diri ini,” kata Mostafa Kavakebian, anggota parlemen dari kelompok reformis.
”Sebagian besar anggota parlemen menuntut agar presiden tidak pernah menerima pengunduran diri ini,” katanya dalam Twitter.
Tekanan garis keras
Zarif (59) telah menjabat sebagai menteri luar negeri pada pemerintahan Presiden Rouhani sejak Agustus 2013 dan terus-menerus berada di bawah tekanan dan kritik dari kelompok garis keras yang menentang kebijakan Teheran yang dianggap lunak dengan Barat.
Pendiriannya dalam sikap politik Iran terpukul ketika AS menarik diri dari kesepakatan nuklir pada Mei 2018 dan capaian kesepakatan itu menjadi semakin tidak jelas ketika ekonomi Iran memburuk. Zarif disalahkan oleh kaum ultra-konservatif karena menegosiasikan kesepakatan yang buruk yang tidak memberikan keuntungan apa pun bagi Iran.
Perundingan antara menteri dan para pengkritiknya semakin intensif seiring berjalannya waktu. Zarif mengatakan bahwa kekhawatiran utamanya selama pembicaraan nuklir adalah tekanan dari dalam Iran. ”Kami lebih khawatir dengan belati yang menusuk dari belakang daripada negosiasi itu sendiri,” katanya kepada sebuah koran lokal pada 2 Februari.
”Lawan negosiasi tidak pernah berhasil membuat saya lelah selama negosiasi..., tetapi tekanan internal membuat saya jatuh, baik selama maupun setelah pembicaraan,” ujarnya.
Kami lebih khawatir dengan belati yang menusuk dari belakang daripada negosiasi itu sendiri.
Zarif adalah negosiator utama Iran dari perjanjian nuklir 2015 dengan AS. Perjanjian itu ia selesaikan selama beberapa putaran pembicaraan dengan Menlu AS saat itu, John Kerry. Dia juga dipandang sebagai wajah penjangkauan Iran yang berkembang ke Barat.
Pengunduran dirinya terjadi di tengah meningkatnya kritik terhadap pendekatan itu. Rakyat Iran merayakan penandatanganan perjanjian nuklir yang berjanji akan mencabut sanksi ekonomi terhadap Teheran dengan imbalan Teheran membatasi pengayaan uraniumnya. Akan tetapi, kemudian implementasi perjanjian itu diragukan seiring dengan terpilihnya Trump. Terbukti, Trump pun menarik diri dari perjanjian itu dan menerapkan kembali sanksi ekonomi kepada Teheran tahun lalu.
Akibatnya, sebagian besar orang Iran tidak melihat manfaat dari kesepakatan itu. Mata uang Iran telah merosot selama setahun terakhir, harga barang-barang melonjak, dan kemampuan keuangan masyarakat menurun. Protes sporadis telah pecah.
Respons atas intervensi
Tanpa menyinggung soal pengunduran diri Zarif, pada Selasa (26/2/2019), Rouhani memuji Zarif serta Menteri Perminyakan Bijan Zanganeh dan Kepala Bank Sentral Abdolnasser Hemmati sebagai tentara di medan perang melawan tekanan AS. ”Hari ini, garis depan melawan AS adalah menteri luar negeri dan minyak serta bank sentral,” kata Rouhani dalam pidato yang disiarkan televisi. ”Zarif, Hemmati, dan Zanganeh telah berdiri di garis depan.”
Anggota parlemen terkemuka pro-reformasi, Ali Motahari, mengatakan, pengunduran diri Zarif terjadi sebagai tanggapan atas intervensi oleh badan-badan yang tidak bertanggung jawab dalam urusan luar negeri. Dia mengatakan, Rouhani tidak mungkin menerima pengunduran diri itu karena tidak ada alternatif untuk Zarif.
Zarif mendesak para diplomat Iran untuk tidak mengundurkan diri secara massal menyusul pengumuman pengunduran dirinya yang mengejutkan. Ia mendorong para diplomat untuk melanjutkan pekerjaan mereka membela kepentingan Iran. Hal itu disampaikan Zarif karena adanya laporan bahwa sejumlah besar diplomat sedang mempertimbangkan mengundurkan diri untuk menunjukkan dukungan.
Dalam komentarnya kepada staf kementerian, Selasa kemarin, Zarif mengatakan, ”Saya menasihati Anda semua saudara-saudari yang terkasih di kementerian luar negeri dan kedutaan besar untuk secara tegas menjalankan tugas Anda membela negara dan menahan diri dari tindakan seperti itu.” (AFP/REUTERS/AP)