Kemudahan Berbisnis di Indonesia Terkendala Penegakan Hukum Kontrak Usaha
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Salah satu variabel yang perlu menjadi perhatian dalam rangka memperbaiki indeks kemudahan berbisnis di Indonesia adalah penegakan hukum terkait kontrak atau contract enforcement. Meskipun membaik dibanding tahun sebelumnya, kemudahan berbisnis di Indonesia masih kalah saing dibanding sejumlah negara Asean.
Hal tersebut terkemuka dalam acara diskusi mengenai peran pengadilan dalam mendukung kemudahan berbisnis suatu negara yang digelar di Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia di Jakarta, Selasa (26/2/2019). Kegiatan yang dihadiri oleh Presiden Mahkamah Agung Belanda Maarten WC Feteris itu dalam rangka merayakan tahun ke-50 hubungan kerja sama antara Indonesia dan Belanda di sektor peraturan hukum.
Mengutip data dari Bank Dunia, Aria Suyudi, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, menyampaikan, penegakan kontrak di Indonesia menempati peringkat paling buruk di antara variabel indeks kemudahan berbisnis lainnya. Pada laporan Doing Business 2019, variabel penegakan kontrak Indonesia berada di peringkat ke-146 dari 190 negara yang disurvei. Kemudahan memperoleh listrik merupakan variabel terunggul Indonesia dan menempati posisi ke-33 secara global.
Buruknya penegakan kontrak di Indonesia tercermin dalam lamanya waktu yang diperlukan untuk melaksanakan putusan pengadilan terkait kontrak usaha. Dalam laporan 2019, rata-rata waktu yang diperlukan adalah sepanjang 390 hari. Pada 2017, angka itu lebih tinggi dan mencapai 460 hari.
Syahrial Sidik, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, turut menggarisbawahi isu mengenai penegakan kontrak serta sulitnya melaksanakan keputusan pengadilan. "Di dalam undang-undang Indonesia, eksekusi harus bersifat kondisional atau bersifat daya paksa. Kalau bersifat daya paksa, maka harus memakai force atau kekuatan. Kekuatan ini tidak ada di pengadilan dan hanya ada di kepolisian dan tentara," tuturnya.
Selain itu, definisi "daya paksa" hingga sekarang belum jelas seperti apa. "Apakah memakai biaya atau tidak? Ini sangat sulit. Kita minta bantuan (kepada otoritas penegak hukum), di sana minta biaya," tambah Syahrial.
Ia menambahkan, biaya perkara perdata ditanggung oleh pihak pribadi atau pihak yang bersengketa. Sementara itu, perkara pidana ditanggung negara.
Bagi Syahrial, dalam mengatasi isu di atas, sistem regulasi Indonesia perlu diubah. Saat ini, Mahkamah Agung sedang melakukan kajian untuk membentuk suatu Direktorat Jenderal tersendiri yang terlepas dari pengaruh ketua pengadilan negeri. Upaya tersebut dalam rangka memastikan eksekusi kontrak atau keputusan pengadilan dapat dilakukan secara lebih "menggigit, cepat, dan kuat".
Dalam laporan Doing Business 2019, indeks kemudahan berbisnis Indonesia menempati peringkat ke-73 secara global, dari 190 negara yang disurvei. Peringkat itu lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Pada 2012, Indonesia berada pada peringkat ke-130. Meskipun demikian, Indonesia masih kalah dibanding sejumlah negara Asean, seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Singapura.