Perbedaan posisi antara Korea Utara dan Amerika Serikat atas isu denuklirisasi telah mengganjal implementasi pertemuan pertama di Singapura. Situasi itu menjadi beban berat untuk memulai pertemuan kedua di Hanoi.
Banyak pihak menilai pertemuan pertama di Singapura tidak banyak menghasilkan keputusan substansial. Memang, saat itu Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sepakat membangun hubungan baru di antara kedua negara serta sepakat membangun perdamaian abadi di Semenanjung Korea. Namun, dalam pertemuan yang digelar Juni tahun lalu itu, mereka tidak menguraikan cara untuk mencapai tujuan itu.
Jelang pertemuan kedua yang digelar di Hanoi, 27-28 Februari mendatang, situasi masih menjadi ganjalan. Berkaca dari pertemuan pertama, harus diakui ada sejumlah langkah konkret dilakukan Pyongyang.
Pasca-pertemuan, sebagai bagian dari hasil pertemuan di Singapura, Pyongyang memulangkan 55 peti berisi sisa-sisa jenazah tentara AS yang tewas dalam Perang Korea. Berikutnya, Pyongyang mengambil langkah aktif membongkar beberapa fasilitas di Stasiun Peluncuran Satelit Sohae. Washington dan sekutunya di Semenanjung Korea, Seoul, pun sepakat menunda latihan militer yang biasa digelar bersama setiap tahun.
Sontak langkah-langkah itu mendeeskalasi ketegangan di Semenanjung Korea yang sebelumnya meninggi karena dipicu uji rudal oleh Pyongyang, dan perang kata antara Kim Jong Un dan Donald Trump. Membaiknya situasi di semenanjung juga memberi ruang gerak yang lebih leluasa bagi Seoul untuk membangun rekonsiliasi dengan Korut, hasilnya antara lain pembongkaran beberapa pos militer di perbatasan, mengangkat ranjau darat, dan terakhir membangun kembali rel kereta api di perbatasan.
Ganjalan
Namun, ada sejumlah persoalan yang kemudian kembali memberi ganjalan. Meskipun Pyongyang telah berupaya menunjukkan aktivitas penghancuran situs nuklir, Washington belum kunjung memperlonggar sanksi atas Korut. AS bersikukuh, Korut harus menghancurkan semua situs nuklir dan rudal yang dimiliki, dan dengan proses yang terverifikasi para pengawas independen.
Isu untuk mengakhiri Perang Korea secara definitif pun terkatung-katung. Padahal, kesepakatan itu menjadi basis bagi adanya perjanjian damai untuk Korea.
Adanya ganjalan-ganjalan itu membuat langkah maju pasca-pertemuan di Singapura menjadi mandek. Tidak ada lagi proses penghancuran situs nuklir oleh Korut, dan sejumlah pejabat intelijen dan pertahanan AS justru mengatakan, Korut masih terus mengembangkan persenjataan nuklir dan rudal.
Mencoba menembus kebekuan, September tahun lalu, setelah bertemu dengan Kim Jong Un, Presiden Korsel Moon Jae-in mengatakan, Kim berjanji membongkar situs nuklir Yongbyon Utara yang terletak sekitar 100 kilometer utara Pyongyang. Situs itu memiliki fasilitas untuk menghasilkan pluto-
nium dan uranium, dua bahan utama senjata nuklir. Media Pemerintah Korut menyebut kompleks 390 gedung yang dilaporkan sebagai ”jantung program nuklir kami”.
Namun ada kekhawatiran di antara beberapa pihak. ”Kita bisa menyebut (penghancuran Yongbyon) setengah-setengah atau kecil-kecilan,” kata Nam Sung-wook, profesor di Universitas Korea. Menurut dia, itu adalah langkah denuklirisasi yang tak lengkap dan dimaksudkan untuk memperlambat langkah pelucutan demi mendapatkan konsesi.
Korut diduga masih memiliki 70 senjata nuklir dan lebih dari 1.000 rudal balistik. Korut juga diyakini masih mengoperasikan beberapa fasilitas pengayaan uranium yang tidak diungkapkan.
Konsesi
Sebaliknya, untuk membuat Pyongyang berkomitmen menghancurkan kompleks Yongbyon, beberapa ahli mengatakan, Trump perlu membuat konsesi penting, seperti mendeklarasikan berakhirnya Perang Korea 1950-1953 dan memungkinkan Korut memulai kembali beberapa proyek ekonomi dengan Korsel, mengurangi sanksi atas Korut.
Akan tetapi, untuk membuat KTT di Vietnam menghasilkan terobosan, Trump tampaknya membutuhkan lebih dari Yongbyon. Washington menginginkan rincian aset nuklir Pyongyang dan penghancuran bom nuklir serta rudal jarak jauh Korut. Sebaliknya, Korut menegaskan, pelonggaran sanksi akan membangun kepercayaan menuju denuklirisasi.
Selasa lalu, Trump mengatakan, ia berharap pertemuan di Hanoi akan menghasilkan banyak kemajuan. Namun ia juga mengatakan, ”tidak terburu-buru” untuk mencapai hasil. Trump menegaskan, Kim harus membuat isyarat ”bermakna” pada denuklirisasi jika ia ingin sanksi PBB dilonggarkan.
Situasi itu seolah kembali menjadi kabut yang menutup harapan adanya keputusan substantif sebagai hasil pertemuan di Hanoi.
Namun, di tengah ketidakpastian itu, Stephen Biegun, utusan utama AS untuk Korea Utara, tetap bersikap optimistis. Ia mengakui masih diperlukan lebih banyak pembicaraan untuk membahas masalah-masalah substantif.
”Jika kedua belah pihak tetap berkomitmen, kami dapat membuat kemajuan nyata di Hanoi,” kata Biegun. ”Kami, dengan Korea Utara, telah bekerja sebagaimana yang harus dilakukan antara sekarang dan kemudian,” kata Biegun.
(AP/AFP/Reuters/JOS)