Indonesia Berpeluang Ekspor Energi Terbarukan ke China
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Fenomena pertumbuhan ekonomi China yang melambat saat ini tidak menutup peluang Indonesia untuk meningkatkan hubungan perdagangan dengan negara tirai bambu itu. Pemerintah China terus mendorong peningkatan penggunaan energi terbarukan, sehingga menciptakan pasar energi terbarukan yang cukup besar.
Hal itu menjadi peluang bagi negara lain, bahkan Indonesia, untuk mendorong ekspor produk energi terbarukan ke China, seperti gas alam cair (LNG) atau bahan bakar diesel yang diolah dari kelapa sawit. "China tidak perlu batu bara sebanyak dulu, tetapi perlu banyak gas dan bio diesel untuk mengatasi polusinya. Ini salah satu opportunity bagi Indonesia (untuk meningkatkan ekspornya)," kata Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Komite Tiongkok, Adi Harsono, ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (13/2/2019).
Berbagai laporan menyampaikan pertumbuhan ekonomi di China yang semakin lesu akibat permintaan domestik yang menurun serta dampak dari perang dagang antara China dan Amerika Serikat. Pada 2018, pertumbuhan ekonomi China mencapai 6,6 persen dan yang terendah dalam 25 tahun terakhir. Tren penurunan itu telah berlangsung sejak 2010 saat pertumbuhan ekonomi China mencapai 10,6 persen. (Kompas, 22/1/2019)
Adi menganggap, tren penurunan pertumbuhan ekonomi China, sebagai negara dengan kekuatan ekonomi nomor dua terbesar di dunia itu, sesuai dengan prediksi dan merupakan hal yang wajar. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat misalnya tidak pernah mencapai empat persen sejak awal 2000.
"Pertumbuhan ekonomi China melambat, tetapi mereka bertujuan untuk menciptakan produk ekonomi yang lebih berkualitas, di pabrik atau pun cara pengelolaan mereka. Untuk mengatasi masalah polusi misalnya, China perlu energi terbarukan dan kuantitasnya besar sekali," tutur Adi.
Indonesia telah mulai mengekspor LNG sejak pertengahan Agustus 2017. Ekspor dilakukan dengan mengalirkan LNG dari kilang yang baru diresmikan, yakni kilang LNG Badak milik Pertamina di Bontang, Kalimantan Timur. (Kompas, 2/8/2017)
Namun, sejak 2012, ekspor LNG mulai diperketat demi memenuhi kebutuhan LNG dan listrik dalam negeri yang terus meningkat. Ketersediaan infrastruktur gas merupakan tantangan utama. (Kompas, 13/7/2017)
Adi mengakui, kuantitas produksi LNG Indonesia masih perlu ditingkatkan. Negosiasi lebih lanjut juga diperlukan agar produksi LNG ditingkatkan dan dapat diekspor.
Bermitra
Besarnya potensi pasar energi terbarukan di China telah dilirik oleh sejumlah perusahaan energi terbesar di dunia. Maarten Wetselaar, Director Integratefd Gas and New Energies dari Royal Dutch Shell misalnya, percaya bahwa penggunaan energi gas alam di China dapat meningkat hingga tiga kali lipat dalam 10-15 tahun ke depan.
"China kini berada di era baru dan warganya menginginkan kualitas hidup yang lebih baik. Artinya, penggunaan batu bara berkurang dan energi terbarukan meningkat. Saat ini, penggunaan gas alam di China masih rendah, sekitar 6,6 persen pada 2017. Di negara maju sementara itu, penggunaan gas alam mencapai 22-67 persen," kata Maarten, seperti dikutip China Daily.
Ia mengungkapkan, Shell akan menyediakan gas alam yang berasal dari berbagai tempat di dunia ke China. Untuk mendukung proyek itu, Shell kerja sama dengan mitranya di China, yang salah satunya adalah China National Petroleum Corporation, perusahaan energi multinasional yang berbasis di Beijing, China.
"Shell menyediakan pasokan energi terbarukan ke China, sambil bermintra dengan perusahaan China. Kami akan membawa desain dan produk mereka untuk proyek kami di luar negeri," ucap Maarten.
China kini berada di era baru dan warganya menginginkan kualitas hidup yang lebih baik. Artinya, penggunaan batu bara berkurang dan energi terbarukan meningkat
Energi terbarukan di China
Data yang disampaikan oleh Administrasi Energi Nasional (NEA) China pada Januari 2019 mengungkapkan, infrastruktur energi terbarukan di China hingga akhir 2018 memiliki kapasitas sebesar 728.000 megawatt (MW) dan meningkat 12 persen dibanding tahun sebelumnya.
Secara terpisah, kapasitas stasiun pembangkit listrik tenaga air mencapai 352.000 MW, pembangkit listrik tenaga angin 184.000 MW, pembangkit listrik solar 174.000 MW, dan pembangkit listrik biomassa 17.810 MW. Dengan urutan yang sama, kapasitas masing-masing stasiun meningkat 2,5 persen, 12,4 persen, 34 persen, dan 20,7 persen.
Energi terbarukan mencakup 26,7 persen dari total energi yang diproduksikan pada 2018. Angka itu naik 0,2 persen dibanding tahun sebelumnya.
"Sejak Pemerintah China memperkenalkan pedoman tentang konsumsi energi terbarukan (pada 2018), perusahaan listrik besar di China terus meningkatkan kemampuan mereka dan mengoptimalkan cara operasi mereka, sehingga penggunaan energi terbarukan tumbuh secara signifikan," tutur Li Chuangjun, Wakil Direktur Departemen Energi Baru NEA. (CHINA DAILY)