Beijing telah menaikkan tekanan terhadap Taipei dan meletakkan Taiwan ke dalam peta jalan ”pembaruan China di era baru”. Jika tidak menerima tawaran penyatuan kembali lewat skema satu-China, Taiwan diancam bakal menghadapi kekuatan militer China.
Tawaran damai sekaligus ancaman disampaikan Presiden China Xi Jinping dalam pidato untuk memperingati 40 tahun kebijakan bersejarah China atas Taiwan, Rabu (2/1/2019), di Beijing. Pada 1 Januari 1979, China mengirim pesan dialog damai bagi ”Rekan-rekan Seperjuangan di Taiwan” menggantikan konfrontasi militer yang hingga saat itu telah berlangsung selama 30 tahun.
Taiwan adalah masalah paling sensitif di China dan diklaim sebagai provinsinya. Itu sebabnya Xi menawarkan tong yi atau ”penyatuan kembali” lewat prinsip ”satu negara dua sistem” (satu-China), seperti halnya Hong Kong.
Beijing semakin kencang menekan Taiwan sejak Tsai Ing-wen, politikus Partai Progresif Demokratik (DPP) yang pro-kemerdekaan, menjadi presiden pada 2016. Pemerintahan Tsai menolak penyatuan kembali. Sebab, Komunis tak pernah menguasai Taiwan, tempat pelarian pasukan Nasionalis China (Kuomintang), Desember 1949, setelah kalah perang dengan Komunis.
Pemerintah China mencap kubu pro-kemerdekaan Taiwan sebagai separatis. Oleh karena itu, Xi ingin merebut kembali pulau itu, jika perlu dengan paksa, entah saat ulang tahun ke-100 Partai Komunis pada 2020 atau sebelum ia lengser pada 2033 (South China Morning Post, 26/11/2018). Beijing juga terus menekan Taiwan secara internasional, termasuk mengurangi jumlah sekutu diplomatiknya yang tersisa.
Xi adalah seorang nasionalis dan impian tentang China-nya meliputi reunifikasi lengkap. Hanya dengan merebut kembali Taiwan, Xi bisa mewujudkan mimpi tersebut. Hanya dengan membawa pencapaian abadi ini, ia bisa melampaui Mao Zedong dalam narasi historis Partai Komunis.
Dari perspektif ini, Taiwan adalah elemen terpenting dari mimpi Xi akan China-nya itu. Bagi Xi, Taiwan adalah bagian dari target besar China untuk menguasai dunia melalui loncatan yang lebih cepat dan alternatif yang lebih radikal. ”China harus dan akan bersatu, syarat yang tak terhindarkan demi pembaruan China di era baru,” pesan Xi kepada Taiwan (Kompas, 3/1).
Apa itu era baru China? Bruno Macaes dalam bukunya, Belt and Road: A Chinese World Order (Oxford University Press, 2018), menjelaskan tentang tatanan dunia baru China yang tercipta berkat Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) yang meliputi hampir 70 negara, baik melalui jalur laut maupun darat.
Menurut Macaes, hampir pasti BRI akan memengaruhi setiap elemen masyarakat global, dari ekspedisi ke pertanian, ekonomi digital, hingga pariwisata, dan politik hingga budaya. Hanya China yang siap menggantikan Amerika Serikat, termasuk dari sisi militer dan ekonomi.
Pada 2049, Republik Rakyat China berusia 100 tahun. Pelaksanaan BRI, yang berfokus pada konektivitas dan kerja sama di antara negara-negara Eurasia, pun akan rampung saat itu. Inisiatif geopolitik paling ambisius Xi itu meliputi investasi infrastruktur, material konstruksi, kereta api, jalan raya, mobil, real estat, listrik, serta besi dan baja.
Beberapa proyek infrastruktur yang dibiayai China di banyak negara Eurasia, bahkan hingga Afrika, benar-benar menakjubkan. Sayangnya, banyak negara di Afrika dan Asia yang tak waspada dan terjebak diplomasi utang China.
Negara-negara tersebut gagal bayar sehingga aset-aset strategis mereka jatuh ke China. Sri Lanka, misalnya, sampai harus melepas Pelabuhan Hambatota, yang sebesar 70 persen sahamnya senilai Rp 1,1 triliun, dijual kepada BUMN China.
China sedang menuju fase baru ambisinya menjadi negara adikuasa, yakni ingin membentuk kembali ekonomi dunia dan memahkotai Beijing sebagai pusat kapitalisme dan globalisasi baru. China ingin membuat banyak negara bergantung kepadanya. Itulah era baru China.