Mendiang Lee Kuan Yew pernah mengatakan, Asia tidak cocok dengan demokrasi liberal. Jauh setelah Lee menyatakan itu, Asia Tenggara memang tidak kunjung dinilai sebagai kawasan demokratis.
Dari 10 anggota ASEAN, hanya Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Singapura yang digolongkan demokratis. Itu pun dengan status demokrasi tanggung karena beragam alasan.
Demokrasi di Asia Tenggara justru cenderung menurun. Freedom House, lembaga pemantau demokrasi dan kebebasan yang berpusat di Amerika Serikat, menyebut ada beberapa sebab demokrasi di Asia Tenggara cenderung stagnan, bahkan menurun. Demokrasi prosedural adalah salah satu sebabnya. Banyak negara Asia Tenggara merasa sudah menerapkan demokrasi dengan menyelenggarakan pemilu.
Myanmar merasa sudah menerapkan demokrasi karena pemilu digelar pada 2015. Padahal, militer yang tidak ikut pemilu masih tetap berperan penting di pemerintahan. Sementara Aung San Suu Kyi, yang pernah dinobatkan sebagai simbol demokrasi, malah cenderung mendukung pemenjaraan dua jurnalis yang menyelidiki pemusnahan etnis Rohingya. Suu Kyi juga tidak bersuara jelas terhadap kasus Rohingya.
Indikator
Pemilu bebas dan adil, seperti ditulis Fared Zakaria di buletin Foreign Affairs pada 1999, hanyalah salah satu tanda demokrasi. Tanda lain adalah penerapan hukum, pemisahan kekuasaan, dan perlindungan pada hak kebebasan bersuara, berkumpul, beragama, dan kepemilikan. Pada kasus Rohingya, indikator-indikator itu tidak diterapkan.
Indikator-indikator itu juga tidak diterapkan Thailand yang sepenuhnya dikendalikan junta militer. Selama bertahun-tahun, aktivitas politik di Thailand dilarang. Selain itu, di negara ASEAN lainnya, ada tren kekuatan sipil justru menjadi agen antidemokrasi. Mereka memaksakan kehendak lewat kekuatan massa. Mereka mengampanyekan penghilangan demokrasi. Ironinya, mereka memanfaatkan kebebasan yang disediakan sistem demokrasi untuk melakukan gerakannya.
Pemerintah negara-negara ASEAN juga punya andil dalam gelombang balik demokrasi. Pemerintah hasil pemilu prosedural gagal menghadirkan tata kelola pemerintahan yang baik. Politisi hasil pemilu malah terlibat mega korupsi. Belum lagi budaya kebal hukum untuk sekelompok elite.
Pemerintah hasil reformasi, yang menurut sejumlah pihak gagal, membuat sejumlah kelompok di Indonesia menginginkan orde baru—yang otoriter—kembali lagi.
Arus balik demokratisasi di Asia Tenggara tentu bukan hal yang menyenangkan. Arus balik itu berdampak pada orang- orang, keamanan, dan pembangunan ekonomi di kawasan. Penurunan demokrasi telah membuat jurnalis, penggiat HAM, dan tokoh oposisi ditangkapi atau diancam. Selain oleh negara, ancaman juga berasal dari kelompok-kelompok sipil.
Situasi ini tentu tidak bisa terus dibiarkan. Sebab, salah satu yang mendorong negara atau kawasan lain mau bekerja sama dengan negara-negara di ASEAN dan ASEAN adalah kemauan negara-negara ASEAN mempraktikkan demokrasi. Persoalannya bukan pada sistem demokrasi, melainkan pada pelaku dan cara berdemokrasi. (REUTERS/RAZ)