Apa yang mendera ekonomi Asia pada 2018? Hal itu tak lain berupa efek psikologis dari perang dagang Amerika Serikat dan China. Hal lain adalah gejolak kurs yang menerpa sejumlah negara di Asia. Ini adalah akibat kenaikan suku bunga inti di AS, yang memberi efek psikologis bagi investor portofolio dan bereaksi dengan menarik dana-dana investasi jangka pendek.
Faktor internal Asia sendiri tidak ada yang terlalu menakutkan. Tidak ada gejolak politik yang menakutkan secara signifikan. Manajemen ekonomi buruk dan posisi utang membahayakan seperti dekade 1990-an secara umum tidak menjadi warna Asia.
Manajemen ekonomi buruk dan posisi utang membahayakan seperti dekade 1990-an secara umum tidak menjadi warna Asia.
Asia terus melejit dengan pertumbuhan kelas menengah dan menjadi pemicu lanjutan pertumbuhan ekonomi.
Digitalisasi perekonomian telah memberikan kesempatan besar bagi setiap pelaku ekonomi. Digitalisasi membuat pelaku menawarkan produk dan jasa secara leluasa dan menghambat beberapa penghalang bisnis. ”Booming ekonomi digital memicu kesepakatan bisnis besar,” demikian Nikkei Asian Review, 31 Desember 2018.
Kolaborasi lintas batas
Mekanisme pasar telah mendorong dengan sendirinya kolaborasi ekonomi di antara pelaku bisnis di Asia. Hal ini didorong pemahaman pelaku bisnis tentang pentingnya kolaborasi yang semakin marak hingga melebar di luar China, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, negara-negara tercepat memanfaatkan kolaborasi demi kepentingan ekonomi.
Ini menambah pendorong kolaborasi yang sudah dilakukan lewat Perjanjian Ekonomi Komprehensif Kawasan (Regional Comprehensive Economic Agreement/RCEP) beranggotakan 16 negara.
Asia berada pada situasi kontras dengan AS dan Eropa, yang terus dililit utang dan penuaan penduduk. Asia semakin semangat soal kolaborasi. Kontras dengan Uni Eropa yang masih sibuk, misalnya, dengan isu Brexit, istilah untuk Inggris keluar dari Uni Eropa. AS sendiri ”bermasalah” dengan Kawasan Perdagangan Amerika Utara, beranggotakan AS, Kanada, dan Meksiko.
Dana Moneter Internasional (IMF) sudah memprediksi pertumbuhan Asia 5,4 persen pada 2019. Ini memang turun dari 5,6 persen pada 2019 tetapi tetap di atas rata-rata dunia. Ada potensi penurunan pertumbuhan seperti dikatakan Direktur Departemen Asia Pasifik IMF Changyong Rhee, tetapi tidak ada potensi soal resesi di Asia.
Hal yang perlu dilakukan Asia adalah menghindari sikap berpuas diri dengan eksternalitas yang begitu bagus. Masih banyak ketertinggalan, ketimpangan yang mendera masyarakat miskin dengan jumlah ratusan juta jiwa.
Seperti pada dekade-dekade sebelumnya, target kuat Asia mememberdayakan warga miskin adalah pemicu utama kejayaan Asia. Tugas ini sebaiknya tidak mengendur dengan munculnya gambaran ekonomi makro yang prospektif.
Ilmu ekonomi secara makro hanya menggambarkan rata-rata gambaran ekonomi warga tetapi tidak memotret persis jomplangnya status dan gaya hidup the haves dan the haves not. (AP/AFP/REUTERS)