Presiden Xi Jinping, Syair, dan Kutipan-kutipan Indah
”Jika kamu mengira persahabatan bisa dipaksakan lewat perang, musim semi akan menghilang dari pandanganmu…”. Demikian penggalan syair dari puisi karya sastrawan India peraih Nobel Sastra 1913, Rabindranath Tagore. Syair itu dikutip oleh Presiden China Xi Jinping pada pertemuan dengan mitranya dari India dan Myanmar, di Beijing, 28 Juni 2014.
Inilah salah satu kegemaran menonjol dari Presiden Xi, mengutip ungkapan-ungkapan, syair-syair puisi asli China kuno atau milik para pujangga negara-negara yang dia kunjungi. Jika tidak menemukannya, Presiden Xi akan mengelaborasi dengan kalimat-kalimat indah soal hubungan bilateral China dengan negara yang dikunjungi.
Bagaimana watak China yang makin maju dalam ekonomi? Sungguhkah China akan menjadi kekuatan yang menakutkan? Itu contoh pertanyaan dari banyak pemimpin. China yang membahayakan dan mengeksploitasi bahkan ada di pikiran Presiden AS Donald Trump sejak mulai berkuasa.
China, termasuk lewat pidato-pidato resmi Presiden Xi, mengirimkan pesan-pesan penepis ketakutan itu. Namun, dia tidak mengutip kalimat penepis ketakutan semata. Kutipan-kutipannya juga bergantung pada situasi sejumlah negara.
Mengenang jasa Rabe
”Gunung-gemunung tidak akan pernah bertemu, tetapi sesama manusia iya,” syair terkenal lainnya di Jerman yang juga dikutip saat Xi Jinping berkunjung ke Berlin, Jerman, 24 Maret 2014.
Presiden Xi pun mengenang jasa seorang Jerman yang terkenal dan dicintai di China, John Rabe, karyawan Siemens yang bertugas di Nanjing. Tujuh puluh tahun silam, tentara Jepang menginvasi kota Nanjing dan melakukan tindakan kriminal yang menewaskan lebih dari 300.000 tentara dan warga sipil.
Ketika pembantaian berlanjut, Rabe mengontak puluhan warga asing di Nanjing dan membentuk zona aman di kota sebagai naungan aman bagi 200.000 warga China.
Rabe mencatat detail pembantaian itu pada buku hariannya yang kemudian menjadi bukti historis. Pada 1996, rumah hunian John Rabe di Nanjing dipugar dan dibuka lewat kolaborasi China-Jerman. Pada 2013, renovasi makam Rabe di Berlin rampung dan ini dilakukan pemerintah kota Nanjing bekerja sama dengan pemerintah kota Berlin.
Rabe adalah anggota Partai Nazi Jerman, sekutu utama Jepang pada Perang Dunia I. Kisah penyelamatan olehnya memunculkan buku berjudul The Good Man on Nanjing: The Diaries of John Rabe yang terbit pada 14 Maret 2000. ”Kami di China mengenang Tuan Rabe yang menunjukkan cinta pada kehidupan dan cinta akan perdamaian,” ujar Presiden Xi.
Cintai damai
Pada dua pertemuan itu, yakni di Beijing dan di Berlin, Presiden Xi mengatakan, betapa China adalah negara pencinta damai. Falsafah China juga tertuang pada keaslian karakter yang terbentuk dari generasi ke generasi. ”Sivilisasi China selama 5.000 tahun selalu mendambakan perdamaian. Mengejar perdamaian, persahabatan, dan harmoni terintegrasi dengan karakter China, dan itu terserap di dalam darah warga,” ujarnya.
Dikatakan Presiden Xi, sejak zaman China kuno, aksioma berikut ini telah populer, ”Negara getol perang, seberapa pun besarnya, pasti akan punah dengan sendirinya”.
Xi masih melanjutkan aksioma-aksioma lain, seperti ”damai begitu penting”, ”mendambakan harmoni tanpa harus seragam”, ”gantikan senjata perang dengan hadiah berupa safir dan sutra”, ”raih kemakmuran untuk negara dan beri keamanan bagi warga”, ”kejarlah persahabatan dengan tetangga”, hingga ”capailah perdamaian universal dan non-agresi”.
”China telah lama menjadi sebuah negara kuat di dunia, tetapi tak pernah terlibat kolonialisme atau agresi. Pengejaran akan pembangunan yang damai menggambarkan budaya cinta damai China sejak beribu tahun silam. Sebuah tradisi yang kami warisi dan akan dilanjutkan di masa depan,” tutur Presiden Xi.
Di Berlin, Presiden Xi memuji Jerman. Di depan pemimpin India dan Myanmar, Presiden Xi mengenang prinsip koeksistensi damai yang lahir di Asia. Kata Xi, ”Sebab itu merupakan bentuk tradisi cinta damai Asia. India, Myanmar, dan Asia lainnya memelihara kasih, keramahan. … Myanmar memiliki Pagoda Perdamaian Dunia di mana orang-orang berdoa untuk perdamaian dunia.”
Kutipan di Davos
Pada edisi 1 Desember 2018 di situs The Asia Times, Xuan Loc Doan, peneliti, penulis, dan pengamat internasional dari Vietnam, mengompilasi beberapa kutipan indah Presiden Xi Jinping. Ia menyatakan, Presiden Xi memiliki pengetahuan luas soal sastra dan penguasaan seni yang menjadikannya komunikator hebat di arena internasional. ”Harus diakui, dia lebih baik dari para pemimpin lain,” demikian ditulis Xuan Loc Doan.
Ketika berpidato di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, pada 17 Januari 2017, Presiden Xi menekankan koeksistensi dan multilateralisme. Kali ini secara implisit sasarannya adalah proteksionisme dan ”America First”. ”Menjalankan proteksionisme serupa dengan mengunci diri di ruang gelap. Sementara angin dan hujan bisa dihindari, ruang gelap itu memblokir cahaya dan udara. Tak seorang pun muncul sebagai pemenang perang dagang,” ujarnya.
Di WEF, Presiden Xi mengutip novel Charles Dickens berjudul A Tale of Two Cities dengan latar London, Paris, serta Revolusi Perancis. ”Ini saat terbaik, juga saat terburuk.” Mungkin mengingatkan kisah menjelang dan akibat Revolusi Perancis yang mengharu biru dan sebaiknya dihindarkan.
Presiden Xi sempat pula mengutip syair China kuno di WEF. Kata Xi, ”Madu tergantung di pokok anggur pahit; rasa manis tumbuh dari ranting dan tangkai berduri”. Dia menambahkan, ”Kemenangan terjamin ketika orang menyatukan kekuatan mereka, sukses diraih ketika kepala-kepala bersatu”. Ketika berpidato selama 47 menit di WEF, terdengar 30 kali tepukan riuh rendah terutama pada beberapa pesan kunci.
Menepis hegemoni
Presiden Xi berpidato serupa di APEC 2016, 2017, 2018, dan di Boao Forum for Asia 2018, juga pada pertemuan puncak Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC) di Beijing serta di China International Import Expo (CIIE) 2018.
Di APEC Peru 2016 dia mengutip, ”Memberikan manfaat kepada warga adalah dasar utama kepemimpinan”. Presiden Xi mengutip ungkapan Peru, ”Suara rakyat suara Tuhan”.
Di markas PBB di Geneva, Swiss, pada 18 Januari 2017 muncul ucapannya, ”Hukum merupakan dasar terpenting kepemimpinan.” Dia memperdalam itu dengan kalimat lanjutan, ”Sebab itu, pemimpin berkuasa di semua negara memiliki otoritas yang berbasis hukum internasional, menjalankan hak-hak mereka sesuai hukum, dan memenuhi kewajiban dengan keyakinan penuh.”
Dilanjutkan, ”Bekerja sama membangun sebuah komunitas demi kemanusiaan yang berbagi di masa depan”, ”Komunitas internasional harus mendorong kemitraan, keamanan, pertumbuhan, pertukaran di antara warga dunia, dan membangun sistem yang kuat”, ”Berkomitmenlah membangun dunia dengan perdamaian abadi lewat dialog dan konsultasi”, ”Jika negara-negara menikmati perdamaian, demikian juga dunia”, serta ”Ketika negara-negara berperang, dunia juga menderita”.
Presiden Xi mengingatkan konflik-konflik masa lalu, ”Dari Perang Peloponnesian (Yunani kuno) … hingga Perang Dingin.” Presiden Xi melanjutkan, ”Sejarah, jika tidak dilupakan, dapat menjadi sebuah petunjuk untuk masa depan.”
Penulis Swiss yang juga peraih Hadiah Nobel Sastra 1946, Hermann Hesse, menjadi sasaran kutipan Presiden Xi. Dia menekankan pentingnya melayani, ”Bukan perang dan perusakan, melainkan perdamaian dan rekonsiliasi”, ”Negara-negara besar harus memperlakukan negara-negara kecil secara setara ketimbang berlaku sebagai kekuatan hegemonial yang memaksakan keinginan kepada pihak lain”.
Di Geneva, dia menyebutkan, ”China tidak berubah soal komitmen tentang dunia yang damai. Seberapa kuat pun ekonomi China akan bertumbuh, China tidak akan pernah mengejar hegemoni, ekspansi, dan memperluas pengaruh. Sejarah telah membuktikan itu dan akan melanjutkan komitmen serupa.”
Di Buenos Aires, Argentina, di tengah pertemuan G-20 pada 28 November 2018, Presiden Xi menyinggung hubungan bilateral kuat China-Argentina. ”Kebahagiaan tiada tara bagi saya berkesempatan menghadiri G-20 di Buenos Aires dan melakukan kunjungan kenegaraan atas undangan Presiden Mauricio Macri di tengah iklim yang menjanjikan akan datangnya musim semi di Belahan Bumi Selatan.”
Lagi-lagi dia mengutip syair China kuno, ”Jika Anda memiliki sahabat yang jauh tetapi mengenali hatimu, jarak tidak membuatmu jauh.” Dilanjutkan, ”Warga China-Argentina yang cinta damai aktif mendalami hubungan yang saling mengerti, dukung-mendukung, jarak geografi tidak menjadi penghalang. Hubungan bilateral kita berdiri kukuh di tengah perubahan iklim dunia dan menjadi contoh solidaritas dan kerja sama untuk pembangunan bersama di antara kedua negara yang sedang berkembang dan menggeliat.”
Jika Anda memiliki sahabat yang jauh tetapi mengenali hatimu, jarak tidak membuatmu jauh.
Menyadari
Tentu di tengah taburan kutipan indah itu, China paham bahwa sebagian kalangan tetap ragu dan curiga. Presiden Xi menyadari itu. Hal tersebut dia jawab saat berkunjung ke Manila, 20 November 2018, dalam pertemuan dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte.
Soal relasi China-Filipina ini juga muncul artikel sehari sebelum kunjungan di sejumlah harian milik China dan Filipina (diterbitkan The Philippine Star, Manila Bulletin, dan Daily Tribune). ”China-Filipina tetangga berbataskan lautan. Pertukaran kapal dan pedagang di antara kita sudah dimulai lebih dari seribu tahun silam. Pada 600 tahun lampau, pelaut China, Zheng He, melakukan kunjungan ke Teluk Manila, Visayas, dan Sulu dalam tujuh pelayaran untuk mencari persahabatan dan kerja sama.”
”Raja Sulu juga melakukan kunjungan ke China, menyampaikan niat dan keinginan baik kepada warga China, dan ini menanamkan hubungan mendalam bagi China-Filipina. Banyak warga kami kelahiran pantai tenggara China berlayar dan menetap di Filipina dan sejak itu hidup harmonis dengan komunitas lokal.”
”Leluhur Jose Rizal, pahlawan dan pendiri Filipina, berasal dari Jinjiang, Provinsi Fujian, China. Jenderal China terkenal Ye Fei, yang berjuang mendirikan China Baru, lahir di Quezon, Filipina. Untuk warga dua negara kita, dua nama ini dengan bangga kita kenang.”
Sejak Presiden Duterte menjabat, China dan Filipina terlibat dialog dan konsultasi dalam menangani tumpang tindih isu Laut China Selatan. ”Hubungan kita kini melihat sebuah pelangi setelah hujan. Dalam dua tahun terakhir, China telah menjadi mitra dagang terbesar bagi Filipina, dan China memasok turis terbanyak ke Filipina di urutan kedua.”
Menurut Xi, aspirasi dan mimpi kedua negara menyatu dan merupakan ikatan kuat di antara warga. Ia mengingatkan perlunya kedua negara memperdalam rasa saling percaya.
Ini bukan sebuah pilihan yang dibuat-buat dengan tujuan lain dan bukan juga sekadar retorika diplomasi.
Presiden Xi dalam kesempatan ini juga mengutip Confucius, ”Jangan lakukan kepada orang lain hal yang justru tidak kamu ingin dilakukan orang lain kepadamu.”
Untuk menepis kekhawatiran Filipina pada tetangga kuat, yakni China itu sendiri, Presiden XI menyebutkan, ”Kami, orang China, yakin bahwa damai dan kestabilan satu-satunya pilar pembangunan untuk meraih kemakmuran. Ini bukan sebuah pilihan yang dibuat-buat dengan tujuan lain dan bukan juga sekadar retorika diplomasi.”
Xi juga mengutip ungkapan di Filipina, ”Ambil kesempatan hari ini atau kehilangan kesempatan di masa depan. China akan bekerja sama dengan Filipina untuk memanfaatkan kesempatan dan beranjak bersama seiring dengan munculnya era baru yang sedang muncul.”
Hal-hal seperti itu tertuang dalam media utama China, seperti Xinhua, China Daily, dan The Global Times. Xi mengutip berbagai pesan indah dalam rangkaian perjalanan ke Senegal, Rwanda, dan Afrika Selatan pada Juli 2018 serta Brunei Darussalam, Spanyol, dan lainnya.
China yang tidak diam. Itulah salah satu kiat sekaligus untuk menepis ketakutan beberapa negara akan China yang makin maju secara ekonomi. (AFP/AP/REUTERS)