Dalam sejarah perjalanan Indonesia, keragaman bangsa ini tidak terlepas dari kebudayaan China atau Tionghoa. Jejak budaya dan peradabannya tecermin pada peninggalan di sejumlah daerah di Indonesia, salah satunya di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Lasem merupakan wilayah yang kental dengan warisan budaya peranakan Tionghoa-Melayu. Ini terlihat dari arsitektur bangunan, motif batik, dan kuliner.
Salah satu peninggalan yang masih berdiri kokoh dan terawat adalah Kelenteng Cu An Kiong, sekitar 200 meter dari jalur pantai utara, Lasem. Di kompleks kelenteng yang dibangun pada 1477 itu, dibangun monumen untuk mengenang perjuangan laskar Tionghoa dan Jawa melawan pasukan VOC pada 1740-1743.
Kelenteng Cu An Kiong menjadi salah satu tujuan diaspora peranakan Tionghoa dan delegasi Konferensi Peranakan ke-31 yang diinisiasi oleh komunitas peranakan Tionghoa dan Peranakan India pada 23-29 November lalu. Para peserta menjelajah asal-usul dan jejak kebudayaan Tionghoa di Tangerang, Rembang, Semarang, Magelang, dan Yogyakarta. Selain ke Kelenteng Cu An Kiong, para peserta juga mengunjungi rumah Liem King Siok atau lebih dikenal sebagai Rumah Candu Lawang Ombo, Kelenteng Gie Yong Bio, Wihara Ratanavana Arama, dan Situs Prau Kuno.
Ketua Panitia Konferensi Peranakan ke-31 yang juga pendiri Peranakan Tionghoa Warga Indonesia, Udaya Halim, mengatakan, tujuan kegiatan ini bukan untuk menonjolkan salah satu etnis, melainkan untuk kembali mengingatkan masyarakat bahwa budaya Tionghoa merupakan salah satu bagian dari Indonesia yang beragam.
”Sebagai gambaran, budaya peranakan di Indonesia seperti di Rembang ini luar biasa dan mirip dengan budaya di Singapura, Malaysia, dan Thailand. Ini karena kami dari rumpun yang sama, tetapi mengadopsi dan bercampur dengan negara tempat kami tinggal sehingga kami memperkaya semua,” ujar Udaya.
Diaspora memiliki peran sangat penting untuk mengenalkan dan menjaga budaya yang ada di Indonesia. Karena itu, kata Udaya, acara ini melibatkan diaspora dan delegasi dari sejumlah negara, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Belanda, dan Australia.
Menurut Eka Setiawan Lim (52), diaspora yang telah 12 tahun tinggal di Australia, dengan mengunjungi sejumlah tempat bersejarah itu, ia lebih mengetahui asal-usul dan kebudayaan yang membentuk Indonesia. Masuknya budaya Tionghoa hingga membaur dengan kebudayaan setempat dan menjadi kebudayaan baru, kata dia, merupakan sebuah hal yang bersifat alami.
Pesan akulturasi
”Kami ingin mengirim pesan, akulturasi budaya itu sesuatu yang alami, dinikmati, dan diungkapkan. Hal ini bukan untuk mempertajam perbedaan, melainkan untuk menunjukkan keberagaman,” kata Eka.
Kebudayaan peranakan Tionghoa adalah kekayaan budaya khas Asia Tenggara. Jika berbicara peranakan Tionghoa di Indonesia, kata Udaya, adalah yang tertua seperti di Tangerang bisa dijejak sejak zaman kedatangan Zheng He, pada tahun 1400-an.
Kaum peranakan Tionghoa, yang lahir dari perkawinan campur lelaki Tionghoa dan perempuan dari berbagai wilayah Nusantara dan daratan Asia Tenggara, sudah muncul berabad-abad. Pakar budaya peranakan Tionghoa, Leo Suryadinata dari NUS Singapura, menjelaskan aliran asimilasi yang berbeda dengan kelompok integrasi di antara sesama masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia pasca-kemerdekaan RI tahun 1945.
”Presiden Soekarno menganggap peranakan Tionghoa sebagai salah satu suku di Indonesia. Situasi berbeda di zaman Orde Baru ketika dipaksakan asimilasi, tetapi diskriminasi tetap terjadi,” kata Leo.
Peter Carey dari Universitas Oxford, yang meneliti soal Pangeran Diponegoro, menceritakan adanya kekerasan terhadap warga Tionghoa di Jawa semasa Perang Jawa (1825-1830), tetapi kekerasan tersebut merupakan bentuk perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan Eropa yang muncul di lingkungan kerabat keraton hingga sistem perpajakan, candu, dan pajak tol yang dijalankan orang Tionghoa.
Sejak zaman Majapahit, kata Carey, jejak-jejak keberadaan budaya Tionghoa ada di Jawa dan berlangsung secara alamiah. Proses percampuran budaya secara alamiah itulah yang jadi kekhasan Indonesia dan Nusantara.