Diskursus tentang konsep Indo-Pasifik terus berlangsung. Setiap negara yang berkepentingan dengan konsep itu memiliki kepentingan serta kekhawatirannya sendiri. Keseimbangan politik hingga arsitektur keamanan berkelanjutan sebagai tujuan turut disuarakan. Upaya-upaya diplomatik digelar untuk menyatukan pandangan berbeda, atau bahkan mungkin saling bertentangan, satu sama lain.
Indonesia bersama ASEAN, misalnya, sedang mengembangkan satu konsep kerja sama Indo-Pasifik itu. Indonesia juga melakukan konsultasi dengan negara-negara mitra. Dalam KTT Asia Timur pada KTT ASEAN di Singapura, pertengahan November lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan apresiasi atas dukungan para mitra ASEAN yang menekankan sentralitas ASEAN, termasuk dalam pengembangan konsep Indo-Pasifik.
Dalam pandangan Presiden Jokowi, pengembangan kerja sama Indo-Pasifik penting menekankan sejumlah prinsip, seperti kerja sama dan sekaligus penghormatan terhadap hukum internasional. ”Saya ulangi kerja sama, bukan rivalitas; menekankan inklusivitas, transparansi, dan keterbukaan,” ucap Presiden.
Inisiatif Indonesia dalam diskursus Indo-Pasifik itu turut dibahas dalam diskusi publik bertemakan ”Kemitraan Strategis Indonesia-Jepang, Keamanan Maritim, dan Ekonomi Asia Timur; serta Masa Depan Hubungan Indonesia-Jepang”, Jumat (30/11/2018), di Jakarta. Diskusi dalam rangkaian peringatan 60 tahun hubungan bilateral Indonesia-Jepang itu diselenggarakan CSIS, National Graduate Institute for Policy Studies (Grips) Jepang, dan Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. ”Indonesia itu benar-benar pusatnya Indo-Pasifik,” kata Presiden Grips, Akihiko Tanaka.
Indo-Pasifik relatif dinilai sebagai konsep baru, berkembang dari konsep geografis yang mencakup dua wilayah Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Adalah Gurpreet S Khurana, ahli strategi kelautan dan Direktur Eksekutif New Delhi National Marine Foundation, yang menggunakan frasa Indo-Pacific Strategy untuk pertama kali, 10 tahun lalu. Dalam artikelnya di harian The Washington Post, ia mengatakan, istilah baru itu telah mengubah peta pikiran strategis baru sejak berlangsungnya reformasi dan keterbukaan China pada 1980-an.
Menurut Tanaka, dinamika ekonomi memengaruhi diskursus Indo-Pasifik, khususnya pertumbuhan sekaligus peralihan sumber-sumber ekonomi dari kawasan Atlantik ke Pasifik. Jika pada abad 19-20 pusat pertumbuhan mengacu di Barat, pasca-Perang Dunia II hingga era 1970-an negara di Asia Timur, seperti Jepang dan China, disusul Asia Tenggara, menjadi berkembang. ”Perang dingin berakhir, dunia menjadi lebih menyatu. Globalisasi terjadi, pertumbuhan ekonomi yang cepat beriringan. Indo-Pasifik menjadi tempat dan pusat pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Pengaruh AS versus China
Pertumbuhan ekonomi dan kapabilitas militer China menjadi bagian pertumbuhan Indo-Pasifik. Saat PDB China melampaui Jepang pada akhir dekade pertama tahun 2000-an, sifat asertif China pun muncul. Hal itu, antara lain, terlihat di Laut China Selatan. Basis-basis militer di luar China dibangun. Menurut Tanaka, sikap terhadap kekuasaan yang ditunjukkan China itu harus diperhatikan secara saksama. Situasi pelik terpampang akibat dari perang dagang China-Amerika Serikat. Dinilai Tanaka, perang itu bersifat lebih fundamental dan tidak melulu soal perdagangan.
Kesejahteraan tanpa sifat kebebasan yang tampaknya diusung China berbeda dengan paham yang dianut negara-negara lain, seperti Jepang dan Indonesia, yaitu kesejahteraan itu seiring dengan kebebasan. Sementara di sisi lain, dalam Indo-Pasifik yang digunakan Presiden AS Donald Trump, berarti India, AS, dan negara-negara demokrasi besar di Asia lainnya, terutama Jepang dan Australia, akan bergabung untuk membatasi China dalam kerangka baru seperti pengaruh ”Perang Dingin”.
Di mata mantan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda, tersaji sebuah paradoks di Indo-Pasifik saat ini, yaitu adanya ketidakseimbangan: lebih bahagia di sektor ekonomi, tetapi kurang dalam sektor politik dan keamanan. Ia mengistilahkannya dengan sebutan paradoks Asia.
”Kerja sama yang mementingkan substansi antara Indonesia dan Jepang dapat menjadi kunci dalam dinamika itu. Sebagai negara demokratis, sejarah telah membuktikan kerja sama kedua negara. Tantangan saat ini memberikan makna bagi Indonesia-Jepang untuk mengembangkan kerja sama yang benar-benar substantif dan komprehensif,” kata Hassan.
Menurut Presiden Jokowi, pengembangan kerja sama Indo-Pasifik tidak memerlukan pembentukan sebuah institusi baru. Kerja sama dapat dilakukan antara negara-negara peserta EAS dan mitra-mitra lain di Samudra Hindia sebagai pengembangannya. Indonesia mengusulkan fokus kerja sama di tiga bidang, yaitu maritim—termasuk dalam menanggulangi kejahatan di laut—kerja sama konektivitas untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan kerja sama mewujudkan pembangunan berkelanjutan untuk pencapaian target SDGs secara inklusif.
(BENNY D KOESTANTO)