BUENOS AIRES, KOMPAS Pertemuan puncak G-20 di Buenos Aires, Argentina, dibuka pada Jumat (30/11/2018) atau Sabtu malam waktu Indonesia. Konsensus untuk pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan sebagai target pertemuan itu tampaknya akan menemui jalan terjal.
Kritik yang pada tahun-tahun belakangan banyak mencuat adalah bahwa pertemuan G-20 justru menjadi ajang pertemuan bilateral ketimbang ajang untuk menggalang komitmen bersama. Apalagi, pada pertemuan puncak G-20 kali ini, isu perang dagang antara Amerika Serikat dan China sedang hangat-hangatnya.
Rencana pertemuan bilateral antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping, Sabtu ini waktu setempat, justru lebih mendominasi pemberitaan berbagai media massa ketimbang agenda utama G-20. Agenda utama pertemuan G-20 kali ini adalah mencapai konsensus untuk pembangunan berkeadilan dan berkelanjutan.
Adapun tiga kunci untuk mencapainya adalah mengoptimalkan potensi masyarakat, infrastruktur untuk pembangunan, dan masa depan pangan yang berkelanjutan. Padahal, Trump dan Xi belum tentu akan keluar dari ruang pertemuan bilateral dengan hasil sebagaimana diharapkan berbagai pihak.
Kepada wartawan Indonesia, sehari sebelum pertemuan puncak G-20 di Buenos Aires, Wakil Presiden Jusuf Kalla berpendapat, pertemuan Trump dan Xi di Buenos Aires tidak akan serta- merta mencapai kesepakatan bulat, sebagaimana diharapkan berbagai pihak. Namun, ia berharap pertemuan itu menjadi salah satu tahap untuk mencapai kesepakatan guna meredakan perang dagang di antara kedua negara.
”Ini step by step. Kita berharap hubungan akan berangsur-angsur membaik. Kalau tidak, perang dagang ini akan merusak kedua belah pihak. Imbasnya ke negara lain, termasuk Indonesia,” kata Kalla.
Agenda pertemuan bilateral antara pemimpin AS dan China dalam konteks perang dagang bukan hanya di Buenos Aires. Sebelumnya, Xi bertemu dengan Wapres AS Mike Pence pada pertemuan APEC di Papua Niugini, beberapa waktu lalu. Ketidaksepakatan antara keduanya membuat pertemuan tak bisa menghasilkan komunike bersama, hal yang pertama kali terjadi sejak APEC dibentuk tahun 1989.
G-20 secara kolektif mewakili 85 persen PDB dunia, 75 persen perdagangan global, 80 persen investasi global, dan 66 persen penduduk dunia. Pertemuan puncaknya digelar setiap tahun. Pertemuan di Buenos Aires ini adalah pertemuan puncak G-20 ke-13 sekaligus yang perdana dihelat di Amerika Selatan.
Sebanyak 19 kepala negara G-20, pemimpin Uni Eropa, pemimpin tujuh negara undangan, dan sepuluh pemimpin organisasi internasional dijadwalkan hadir. Pertemuan di Buenos Aires ditargetkan membuahkan dua dokumen utama, yaitu Leaders Communique dan Buenos Aires Action Plan. Dokumen-dokumen pendukung lain misalnya tentang ekonomi digital, peta jalan infrastruktur, inisiatif untuk pembangunan anak usia dini, serta prinsip-prinsip pencegahan korupsi dan memastikan integritas badan usaha milik negara.
Strategi pemerintah
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sesi diskusi panel Investor Forum dalam rangkaian G-20 di Buenos Aires menyampaikan strategi Pemerintah Indonesia untuk menarik investasi jangka panjang berkelanjutan. Strategi itu dijabarkan ke dalam tiga langkah.
Pertama, kebijakan publik harus dirancang secara baik dan stabil agar terdapat kepastian hukum dan investasi. Kedua, pemerintah harus dapat menjadi institusi publik yang dipercaya (trusted) dengan reputasi yang baik. Ketiga, pemerintah harus memiliki dan menguasai risiko politik yang sering terjadi di negara berkembang.
Melalui ketiga hal tersebut di atas, mengutip siaran pers Kementerian Keuangan, Pemerintah Indonesia dapat merancang instrumen dan kebutuhan atas Public Private Partnership (PPP) untuk memenuhi kebutuhan atas pembiayaan infrastruktur.
Sejalan dengan itu, Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa perekonomian Indonesia dalam keadaan baik dan menarik untuk investasi. Pertumbuhan ekonomi stabil pada level 5,08 persen pada triwulan III-2018, inflasi selama 2018 diperkirakan di bawah 3,5 persen, dan tren investasi meningkat dan memberikan imbas positif pada perekonomian.
Meski demikian, masih mengutip siaran pers Kementerian Keuangan, Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan dan risiko global karena adanya peningkatan tensi perang dagang dan pengetatan likuiditas.