Fokuskan Dukungan pada Pembentukan Negara Palestina
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS -- Pendukung Palestina di Indonesia diharapkan fokus mendorong pembentukan negara Palestina. Isu Palestina jangan didorong menjadi isu agama. Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair al-Shun mengatakan, bukan agama yang menjadi akar masalah Palestina.
"Kami tidak pernah bermasalah dengan Yahudi sebagai agama. Kami bermasalah dengan pemerintah Israel dan zionis," ujar Shun dalam dikusi Hari Internasional Solidaritas Palestina diselenggarakan Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Kamis (29/11/2018), di Depok, Jawa Barat.
Banyak pemeluk Yahudi hidup berdampingan dengan warga Palestina selama ini. Warga Palestina juga beragam latar agamanya. "Kami bermasalah dengan perluasan permukiman secara paksa oleh Israel. Anda bisa bayangkan, negara Anda terus menerus dirampas oleh pemerintah negara lain," kata Shun seraya mengungkap separuh dari 12 juta warga Palestina kini berada di pengungsian.
Ia kembali mengajak pendukung Palestina di Indonesia untuk tidak membawa isu Palestina menjadi isu agama. Warga Palestina yang latar beragam itu membutuhkan dukungan untuk pendirian negara. Pesan serupa sudah berkali-kali disampaikan Shun dan para Duta Besar Palestina sebelumnya.
Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari mengatakan, keragaman latar orang Palestina antara lain tecermin di PLO. Sebagian pejabat PLO memeluk Kristen, sebagian lagi Muslim.
Ia juga mengingatkan, isu Palestina bisa tenggelam oleh dinamika geopolitik Timur Tengah yang diwarnai persaingan Arab Saudi-Iran. "Persaingan Iran dan Arab Saudi serta isu lain bisa membuat Palestina terlunta," ujarnya.
Kami tidak pernah bermasalah dengan Yahudi sebagai agama. Kami bermasalah dengan pemerintah Israel dan zionis.
Indonesia sudah bagus mengelola isu Palestina. Beberapa waktu terakhir, pemerintah cepat bersikap pada isu-isu Palestina. Hal itu membuat aspirasi masyarakat Indonesia yang banyak mendukung Palestina bisa disalurkan.
"Dukungan politis terhadap Palestina amat besar. Dukungan itu harus diterjemahkan menjadi dukungan teknokratis dengan cara menjadikan dukungan bagian dari perumusan kebijakan dan anggaran. Butuh dukungan anggaran," tuturnya.
Dana besar dibutuhkan untuk menopang aktivitas Indonesia di pentas internasional demi menyuarakan dukungan pada Palestina. Dibutuhkan pula dana untuk aneka program bantuan ke sana.
Direktur Timur Tengah pada Kementerian Luar Negeri Sunarko mengatakan, Indonesia amat serius mendukung Palestina. Sudah bertahun-tahun Indonesia melatih dan mendidik warga Palestina pada beragam keterampilan. "Salah satunya pelatihan pengelolaan kearsipan," ujarnya.
Indonesia juga membebaskan bea masuk untuk sejumlah produk Palestina. Pembebasan itu diharapkan bisa membuka pasar lebih besar bagi produk Palestina.
Masalah rumit
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional UI Broto Wardoyo mengatakan, masalah Palestina amat kompleks. Persaingan Fatah dan Hamas membuat lebih mudah mendorong solusi tiga negara dibandingkan solusi dua negara.
"Masing-masing satu negara untuk Hamas dan Fatah. Tentu saja hal itu tidak diinginkan Palestina," kata dia.
Secara kelembagaan, pemerintah Palestina amat lemah. Hal itu terutama karena otoritas Palestina amat tergantung pasokan dana dari luar, termasuk dari Israel. "Israel mengumpulkan pajak dari warga Palestina dan seharusnya menyalurkan ke lembaga di Palestina. Seringkali pajak itu tidak disalurkan," ujarnya.
Palestina juga bermasalah karena banyak warganya menganggur. Karena itu, Indonesia perlu mendorong agar investasi ke Palestina ditingkatkan sehingga tersedia kegiatan usaha yang membuka lapangan kerja.
Broto mengatakan, istilah orang Palestina tidak dikenal dalam literatur akademik sebelum dekade 1960-an. Literatur kala itu mencatatnya sebagai etnis Arab. Konfliknya pun dipandang sebagai persoalan dalam negeri antara etnis yahudi dan Arab. Sebab, dulu wilayah yang kini diperebutkan Palestina dan Israel masih dalam satu kesatuan yang menjadi protektorat Inggris sejak akhir perang dunia I.
Dosen Kajian Timur Tengah UI M Syauqillah mengatakan, salah satu masalah Palestina adalah kepemilikan lahan. Semasa Palestina masih menjadi wilayah kekuasaan kekhalifahan Utsmani, ada upaya pendaftaran kepemilikan tanah. "Orang Palestina waktu itu tidak mendaftar," ujarnya.
Akibatnya, banyak orang Palestina tidak terdata punya lahan ketika Palestina diambil Inggris dari Utsmani. Padahal, mereka sudah bermukim atau memiliki lahan dalam waktu amat panjang.
Direktur Said Aqil Siradj Institute Imdadun Rahmat menuturkan, tekanan pada Palestina terus bertambah. Bahkan, tekanan datang dari negara berpenduduk mayoritas Islam. Hal itu antara lain tercermin dari keputusan Arab Saudi yang menolak memberi visa umrah dan haji bagi pengungsi Palestina yang tidak punya kartu identitas negara pengungsian.
Menurut Rahmat, peraturan itu sama dengan meminta warga Palestina melepaskan status pengungsi dan warga negara Palestina untuk menjadi warga negara lain. Dengan melepaskan kedu status itu, mereka akan kehilangan hak untuk kembali ke Palestina.