Kondisi dunia saat ini dipengaruhi oleh persaingan dua raksasa, yakni Amerika Serikat dan China. Di sektor perdagangan, penerapan tarif oleh AS terhadap produk impor asal China, dan sebaliknya, membuat pertumbuhan global terdampak. Perubahan rantai suplai produksi yang memengaruhi perekonomian sejumlah negara juga terjadi sebagai akibat perang dagang AS-China tersebut.
Persaingan pengaruh AS dan China terlihat pula secara militer di kawasan Asia Pasifik. Kemampuan China membangun pulau-pulau di Laut China Selatan berhadapan dengan kekuatan militer AS. Beberapa kali kapal dan pesawat militer AS melintas di dekat pulau-pulau yang diklaim sebagai teritorial China.
Prinsip kebebasan navigasi di wilayah udara atau perairan internasional digunakan sebagai dasar oleh militer AS untuk melintasi wilayah tersebut.
Namun, bagi China, aksi oleh AS itu merupakan bentuk ”militerisasi” Laut China Selatan. Menghadapi kekuatan yang mengancam kedaulatan wilayahnya, tak ada pilihan bagi China selain mengerahkan kapal atau pesawat militer untuk merespons. Insiden beberapa waktu lalu saat kapal militer China dan AS melintas dalam jarak sangat berdekatan mengingatkan betapa tinggi risiko konflik di Laut China Selatan.
Dalam perjalanan menuju Singapura, Selasa silam, untuk menghadiri KTT ASEAN, pesawat terbang yang ditumpangi Wakil Presiden AS Mike Pence melintas hanya pada jarak 50 mil (80,5 kilometer) dari Kepulauan Spratly di Laut China Selatan yang diperebutkan oleh China dan Filipina. Menurut Pence, hal ini merupakan bagian dari operasi kebebasan navigasi.
”Kami tidak akan terintimidasi. Kami tidak akan mundur. Kami akan terus melakukan operasi kebebasan navigasi,” kata Pence kepada kolumnis The Washington Post yang ikut dalam penerbangan itu, seperti dikutip The New York Times edisi 16 November 2018.
Bagi AS, China memang merupakan ancaman. Ukuran dan dinamika penduduknya, nilai dan tingkat pertumbuhan ekonominya, pengaruhnya yang besar dalam perdagangan global, serta kekuatan militernya menempatkan China sebagai kekuatan besar.
Andrew J Nathan dan Andrew Scobell dalam ”How China Sees America: The Sum of Beijing Fears” (Foreign Affairs, September/Oktober 2012), menulis, China kini adalah satu-satunya negara yang dilihat sebagai ancaman bagi keunggulan AS.
Disebutkan pula dalam artikel itu, mantan Deputi Menlu AS James Steinberg pada 2009 secara halus telah meminta China agar meyakinkan dunia bahwa kebangkitannya tidak akan memberikan ancaman. Hal itu diungkapkannya dalam pidato pertama kebijakan luar negeri atas China oleh pemerintahan Presiden Barack Obama.
”Sama seperti kita dan sekutu kita telah memastikan bahwa kami melakukan persiapan untuk menyambut ’kehadiran’ China sebagai kekuatan yang sukses dan sejahtera, China juga harus meyakinkan seluruh dunia bahwa pembangunan dan peningkatan peran globalnya tidak berdampak pada keamanan serta kesejahteraan negara lainnya,” tutur Steinberg.
Artikel tersebut menulis pula, dari sudut pandang China, AS merupakan negara yang hadir dalam semua empat lingkaran konsentris yang digunakan Beijing untuk melihat dunia.
Lingkaran pertama berkaitan dengan kondisi dalam negeri, lingkaran kedua berkaitan dengan negara-negara tetangga China, lingkaran ketiga berhubungan dengan geopolitik China di kawasan, sementara lingkaran keempat berkaitan dengan wilayah yang lebih luas lagi, yang dapat memengaruhi China, seperti pasokan bahan bakar dari Timur Tengah.
Kekuatan AS hadir di semua lingkaran tersebut. Dalam urusan Taiwan, ada AS. Urusan di Laut China Selatan, ada pula AS. Bahkan, negara-negara tetangga China, seperti Jepang dan Korea Selatan, memiliki perjanjian keamanan dengan AS.
Dengan situasi itu, pertanyaannya adalah sampai kapan persaingan AS dan China berlangsung? Kita mungkin hanya bisa menunggu dan mengamatinya.