100 Tahun Setelah Perang
Presiden Perancis Emmanuel Macron menjadi tuan rumah peringatan 100 tahun berakhirnya Perang Dunia I pada Minggu (11/11/2018) malam. Ada sekitar 70 pemimpin dunia hadir dalam peringatan tersebut.
Berlangsung dari 28 Juli 1914 hingga 11 November 1918, Perang Dunia (PD) I berpusat di Eropa dengan melibatkan semua kekuatan besar. John Keegan dalam buku The First World War mengatakan, 70 juta tentara terlibat perang itu.
PD I adalah konflik paling berdarah dalam sejarah manusia. Rachel William dari Universitas Tennessee, AS, lewat karyanya Dual Threat: The Spanish Influenza dan World War I menyebutkan, total 16 juta tentara dan warga sipil terbunuh langsung oleh perang ini dan tak menghasilkan dunia yang lebih aman dan baik.
Peringatan seabad PD I berlangsung dengan dibayangi menguatnya destabilisasi keamanan di beberapa kawasan di dunia. Pengamat menilai, situasi itu bisa memicu Perang Dunia III, kecuali para pemimpin mengutamakan dialog atau diplomasi bagi dunia yang lebih damai dan stabil ( foreign policy).
Kehadiran Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di tengah para pemimpin Eropa menjadi sorotan karena kebijakan luar negeri mereka sering memicu ketegangan.
Keduanya kian berjarak setelah AS pada Kamis lalu menjatuhkan sanksi tambahan atas pejabat dan sembilan entitas Rusia terkait aneksasi Crimea, Februari-Maret 2014.
Eropa juga menolak sanksi baru oleh Trump atas Iran, yang berlaku sejak 5 November, karena dinilai bisa mengganggu kestabilan keamanan Eropa.
Rusia bersitegang pula dengan AS dan Eropa sejak awal September 2018 karena militer Rusia menguji coba tujuh rudal jelajah di Laut Okhotsk. Hubungan Moskwa dan NATO memanas saat itu.
Pembangunan kembali pangkalan Perang Dingin di Arktik turut membuat marah Eropa. Sebaliknya, Rusia berang karena NATO memperluas pengaruh ke Montenegro.
Hubungan keamanan dua sekutu dekat, AS dan Eropa, yang menjadi fondasi stabilitas benua itu selama beberapa dekade kini mengarah kepada ketegangan. Kondisi ini terjadi terutama sejak Trump menuntut negara-negara Eropa anggota NATO untuk meningkatkan belanja pertahanan.
Di tengah sikap Washington yang menarik diri dari kesepakatan iklim Paris, perjanjian nuklir Iran, dan melancarkan tarif atas produk impor dari Eropa, sikap sinis Trump terhadap NATO memperburuk hubungan AS dan Eropa.
Di tengah dominasi AS atas NATO, Eropa juga berupaya untuk meningkatkan keamanan wilayahnya. Upaya ini menguat setelah Trump menjatuhkan sanksi atas Iran serta meremehkan dialog damai atas konflik Suriah.
Kepentingan Eropa di Suriah dan Iran berhubungan dengan keamanan benua itu. Eropa tidak mau ada banjir baru pengungsi Suriah mengalir ke wilayahnya. Adapun Iran dinilai sebagai salah satu tempat kejahatan terorganisasi dan rute utama perdagangan obat bius antara Afghanistan dan Barat lewat Turki.
Kebijakan Eropa di Timur Tengah bertentangan dengan kebijakan AS. Itu sebabnya pada 27 Oktober 2018 Perancis dan Jerman bergabung dengan Rusia serta Turki, dua pemain utama di Suriah selain Iran, untuk mencari solusi atas konflik Suriah dengan Perjanjian Idlib dan menyerukan ”gencatan senjata abadi” (Middle East Eye).
Langkah pemain kunci Uni Eropa itu merupakan indikasi yang jelas bahwa mereka meninggalkan kebijakan AS, baik terkait solusi konflik Suriah maupun isu nuklir Iran. Pertimbangan mereka, AS masih bersikeras bahwa ”serangan” belum berakhir sampai tujuannya terpenuhi.
Upaya Eropa untuk menjauhi AS itu dipertegas lagi oleh Macron ketika pada 6 November, atau beberapa hari menjelang peringatan seabad PD I, ia menyerukan perlunya pembentukan ”tentara Eropa sejati” untuk menghadapi AS dan Rusia, bahkan China.
Sebenarnya Macron berulang kali memakai diksi perang dalam beberapa minggu menjelang peringatan PD I untuk mengingatkan bahwa destabilisasi keamanan dunia berpotensi memicu perang.
Dalam perang, pemenang dan pecundang sama-sama kehilangan populasi, sumber daya, dan infrastruktur. Pilihan terbaik adalah menyelesaikan konflik melalui dialog damai atau diplomasi.